Penulis: Astra Tandang S.IP., M.A., Pengurus Pusat PMKRI Periode 2022-2024.
Jakarta, INDONEWS.ID - Beberapa minggu terakhir, netizen ramai membincangkan masalah di Papua. Setidaknya, dari penelusuran saya, di instagram, ramai membagikan flayer yang bertuliskan “All Eyes on Papua”.
Flayer ini dibagikan sebagai bentuk solidaritas dan perjuangan atas kondisi yang sedang dihadapi oleh masyarakat adat suku Awyu di Boven Digoel dan suku Moi di Sorong, Papua terkait rencana pembukaan perkebunan kelapa sawit di wilayah hutan adat milik mereka.
Sebelumnya, dalam video yang beredar luas, masyarakat adat Papua dari suku Awyu melakukan aksi di depan Mahkamah Agung (MA). Mereka menuntut agar izin yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi terkait izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT. IAL yang mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektar dibatalkan oleh MA (Kompas.id; 07/06/2024).
Sementara itu, suku Moi Sigin juga tengah berjuang melawan PT SAS yang akan membabat 18.160 hektar hutan untuk perkebunan kelapa sawit dengan konsesi seluas 40.000 hektar (Kompas.id; 07/06/2024). Masyarakat adat Papua merasa sangat dirugikan akan adanya rencana pembabatan hutan mereka. Selain merusak ekosistem alam, rencana tersebut juga mengancam kelangsungan hidup masyarakat adat Papua.
Tulisan ini mengajak kita melihat lebih jauh dari sekedar konflik masyarakat adat Papua dengan korporasi skala besar. Lebih dari konflik semata, persoalan yang tengah dihadapai masyarakat adat Papua, bisa dilihat dari dua hal yang beririsan secara langsung yakni kedaulatan hidup mereka dan kelangsungan ekosistem alam yang mesti dijaga.
Penghancuran Masyarakat Adat
Konflik agraria yang dialami suku Awyu dan suku Moi di Papua, tentu tak semata konflik biasa. Seperti juga dialami masyarakat adat di banyak tempat di Indonesia, seperti di Kalimantan, Sumatera, Maluku, NTT - konflik agraria di Papua berkait-kelindan dengan dimensi perampasan lahan (land grabbing) dan penguasaan sumber daya alam lewat izin konsesi yang royal diberikan oleh negara.
Dengan izin konsesi itu, negara memfasilitasi ruang perampasan bagi kepentingan korporasi. Sementara di pihak korporasi, izin konsesi itu melegitimasi mereka untuk menguasai kekayaan alam di atas kedaulatan yang bukan milik mereka. Karena diberi ruang lewat izin konsesi, membentuk pula relasi politik-bisnis yang mengitarinya.
Apa yang berisiko dari relasi politik-bisnis semacam itu? Tentu, dalam konteks ini, masyarakat adat dari suku Awyu dan suku Moi menerima secara langsung akibat yang ditimbulkan dari izin konsesi itu. Hak-hak mereka untuk mencari makan di wilayah itu, dan hak-hak mereka untuk bertahan sebagai masyarakat adat, disingkirkan.
Konflik itu, tak semata soal klaim ‘menjaga hutan adat’, tetapi merupakan perjuangan yang menegaskan hak-hak sebagai masyarakat adat yang dilindungi oleh negara. Artinya, ada ‘penegasan hak’ yang memungkinkan masyarakat adat (suku Awyu dan suku Moi) mengambil sikap ‘kebertahanan diri’ dari upaya negara (bersama korporasi) untuk menghancurkan masa depan komunitas adat mereka.
Karena dibentuk lewat relasi politik-bisnis, maka tak heran, upaya penghancuran makin mendekati pembenaran. Apalagi, seperti kebanyakan pembangunan yang dijalankan negara dan korporasi, klaim kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi, lantas menjadi alat pembenar untuk melegitimasi berbagai praktik penyingkiran.
Seperti kata Tania Murray Li dan Pujo Semedi (2022), “kehadiran perusahaan dilindungi baik oleh hukum maupun oleh kolusi pengusaha-pejabat-politisi yang berniat mengekstraksi kekayaan. Apa pun kerusakan yang ditimbulkan perusahaan perkebunan, selama mereka terus menyalurkan dana kepada orang-orang yang berkuasa, kecil kemungkinan mereka akan ditinggalkan oleh para kroninya ini”.
Negara (pejabat pemerintah) di berbagai level, memberi ruang lewat izin konsesi. Ini merupakan hak istimewa sekaligus monopoli di pihak perusahaan kelapa sawit untuk menjalankan roda bisnis. Dengan hak istimewa dan monopoli inilah, perusahaan itu mampu mengekstraksi kekayaan alam, karena ditopang oleh apa yang disebut Hannah Appel sebagai ‘dimensi kapitalisme yang sah’ yang didukung oleh undang-undang, kontrak, dan laporan perusahaan (dalam Tania Li dan Pujo Semedi, 2022).
Semua proses yang berkaitan dengan masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi di Papua, telah turut membentuk posisi kelas mereka di dalam struktur negara Indonesia. Masyarakat adat yang seharusnya dilindungi keberadaannya, justru makin tak berdaya di hadapan kuasa negara yang memberi ruang bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit. Posisi kelas yang makin rentan ini, sebetulnya, sedang menuju dimensi lain yakni, politik penghancuran oleh negara hari demi hari.
Solidaritas Perjuangan
Gerakan membagikan flayer ‘All Eyes on Papua’ melalui berbagai kanal media sosial, adalah bagian dari solidaritas perjuangan. Bahwa, gerakan itu merupakan simpul-simpul yang dibentuk oleh ‘keprihatinan bersama’ untuk membangun suatu tata kehidupan yang di dalamnya melindungi dan menjaga kedaulatan hak hidup. Atas dasar itu, solidaritas perjuangan All Eyes on Papua, sebetulnya membuka ruang percakapan baru bagi masa depan masyarakat adat di Indonesia.
Rencana pembabatan hutan adat milik suku Awyu dan suku Moi di Papua, tidak hanya bagian dari ‘rencana pengrusakan’ alam dan habitat serta ekosistem alam. Tetapi, sebetulnya, juga dibangun di atas landasan corak ‘kerakusan ekonomi’ baik di kalangan pejabat pemerintah yang memberi izin konsesi, maupun di pihak perusahaan terkait untuk mengekstraksi keuntungan ekonomi, yang beban kerusakan (ekologi, sosial, budaya) ditimpakan pada masyarakat adat Papua.
Pada titik semacam itu, penolakan dan suara kritis menentang izin konsesi dan rencana pembabatan hutan adat Papua oleh berbagai pihak menemukan relevansinya. Bahwa, bukan kemajuan dan tata ekonomi baru yang mau ditolak oleh masyarakat adat di Papua. Melainkan, apa yang oleh Tania Murray Li (2021) sebut sebagai ‘daya rusak hebat’ yang dapat menghancurkan seluruh bangunan hidup masyarakat adat karena ulah-ulah perkebunan sawit. Salam!