Nasional

Prof Djohermansyah Ajak Pemda Jaga Kewenangan dari Resentralisasi

Oleh : Rikard Djegadut - Rabu, 21/10/2020 12:30 WIB

Presiden i-Otda (institut Otonomi Daerah), Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA bersama Walikota Bogor, Bima Arya (foto: Ist)

Bogor, INDONEWS.ID - Pemerintah daerah (Pemda) menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 18 ayat (5). 

"Saya salah seorang anggota Tim Tujuh yang membuat UU Parpol, UU Pemilu dan UU Susduk MPR/DPR/DPRD pada awal reformasi," ujar Presiden i-Otda (institut Otonomi Daerah), Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA, dalam paparannya bertema "UU Omnibus Law Cipta Kerja Dilihat Dari Sudut Pandang Otonomi Daerah" saat menjadi pembicara pada acara Virtual Focus Group Discussion (FGD) UU tersebut dan Briefing Staf pemkot Bogor di Taman Ekspressi Bogor, Selasa (20/10/2020).

Selain Prof Djo, dalam Tim Tujuh ada Ryaas Rasyid, Ramlan Surbakti, Andi Malarangeng, Afan Gaffar, Luthfi Mutty, dan Anas Urbaningrum. Tim Tujuh lalu ditugaskan juga dalam waktu tiga bulan untuk merancang UU Pemda yang baru pengganti UU No 5/1974.

Hari itu sepekan setelah Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden, 21 Mei 1998, Presiden B.J. Habibie yang baru sepekan menjabat menggantikan Soeharto sudah didorong untuk menyelenggarakan pemilihan umum (Pemilu). Pemerintahan Habibie juga mulai memberikan otonomi kepada daerah-daerah.

"Pada tahun 1998 MPR bersidang ada dua agenda yang saling tarik menarik. Satu, orang pusat minta pemilu dipercepat jadi tahun 1999, seharusnya 2002. Lalu suara daerah lewat utusan daerah minta diterapkan otonomi daerah, alasannya selama ini daerah hanya jadi penonton yang membangun orang pusat, mereka yang berkuasa di daerah. Akhirnya, diputuskan pusat dapat pemilu dipercepat dan daerah dapat otonomi seluas-luasnya," papar Guru Besar IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) ini.

Setelah itu, sambungnya, Presiden Habibie minta kepada Tim Tujuh membuat UU Pemda yang baru pengganti UU No 5 /1974. Sentralisasi yang menjadi ciri khas Orde Baru dihapuskan. UU No. 5/1974 tentang pemerintahan daerah diganti dengan UU No 22/ 1999 dan UU No. 25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Baca juga : Kendali Kebijakan

"Kedua undang-undang ini mewakili semangat yang sangat desentralistik dan akibatnya kita rasakan hingga saat ini. Otonomi daerah mendapat apresiasi," kata Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri periode 2010-2014 ini.

Otonomi daerah dijalankan seluas-luasnya, kemudian setelah 5 tahun terjadi distorsi, berbagai macam penyimpangan. "Kawan-kawan di pemda paham bagaimana sulitnya jamannya UU No 22/1999, di mana DPRD amat kuat, bila LPJ kepala daerah dua kali ditolak, dia bisa diberhentikan. Belum lagi adanya politik uang dalam pilkada di dewan," tutur Prof Djo.

Lahirnya UU Pemda No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang gantikan UU 22/1999 membuka ruang pilkada langsung. Ada pergeseran lagi setelah itu, bagaimana supaya ada pembagian wewenang yang seimbang atau proporsional antara pusat, provinsi dan kabupaten. Jadi, kata Prof Djo, jangan diambil pusat semua wewenang Jangan pula diserahkan semua ke daerah, karena bisa repot kalau daerah tidak punya kapasitas mengurusnya.

Desentralisasi oleh Presiden SBY lebih diletakkan di tingkat provinsi ketimbang di kabupaten/kota. Kewenangan yang semula berada di kabupaten/kota seperti pertambangan, kehutanan, perkebunan, kelautan dan perikanan, serta pendidikan menengah ditarik ke provinsi sebagaimana diatur dalam UU Pemda No 23/2014.

"Politik desentralisasi ala presiden SBY lewat UU no 23/2014 lalu kemudian direvisi menjadi UU Cipta Kerja. Dampaknya pembuat UU ini bisa tidak happy. Pada UU 23/2014 sebetulnya berusaha meletakkan kewenangan pemda di setiap daerah otonom secara proporsional terutama masalah izin pertambangan kehutanan perkebunan kelautan perikanan. Yang jadi masalah ternyata tidak diurus dengan baik amanah ini," kata Pakar Otonomi Daerah ini.

Prof Djo menerangkan, UU Omnibus Law Cipta Kerja, adanya penajaman dengan menggunakan proses kontrol terkendali. Sehingga dengan demikian pemerintah daerah merasa kehilangan kewenangan dalam hal tertentu. Kalau kita melihat konteks itu maka sebetulnya dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja kewenangan pemda pada dasarnya tetap, tidak ditarik. Pemda masih memiliki kewenangan.

Hanya dalam hal tertentu pusat menegakkan NSPK (Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria). selama ini pada UU No 23/2014 tidak dibuat. Sekarang dipasang NSPK supaya daerah itu mengikuti petunjuk yang diarahkan oleh pusat dalam menjalankan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada nya.

"NSPK ini menjadi pegangan. Kalau keluar dari track NSPK maka pusat mengambil alih kewenangan. Tidak serta merta langsung diambil. Tetapi kewenangan dijalankan dahulu oleh daerah sesuai NSPK dibuat kriteria dengan PP, perpres, permen," ujarnya.

Dia mencontohkan, soal perizinan berusaha, bika daerah tidak mengikuti itu, NSPK tidak dipedomani, maka kewenangan daerah itu diambil alih pusat, tentu melalui prosedur administrasi. Ada teguran yang mengingatkan, kalau tidak juga ditaati, baru diambil alih. Yang tanda tangan izin itu pemerintah pusat. Penarikan itu bukan permanen kalau daerah sudahi taat, wewenang dikembalikan lagi.

"Selama ini tidak ada standar baku di kabupaten dan kota sehingga tidak pasti orang untuk mendapatkan penyelesaian izin. Kemudian tatacara nya juga rumit setengah mati. Ada yang diatur dengan perwali ada juga dengan perda, Yang paling parah praktek jual beli izin itu menjadi hambatan utama, orang menjadi malas mengurus izin yang punya efek melemahkan investasi dan pembukaaan lapangan kerja", jelasnya.

Kewenangan yang diserahkan kepada daerah sesungguhnya berasal dari kekuasaan presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan sesuai pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Tanggung jawab akhir pemerintahan ini sebetulnya bukan di tangan kepala daerah walaupun sama-sama dipilih secara langsung, tetapi secara konstitusional ada di tangan presiden.

Presiden kemudian mentransfer wewenang kepada daerah lewat UU Pemda dan UU Cipta Kerja. Kemudian pusat membuat NSPK yang selama ini harus dibuat tapi tidak dikerjakan oleh pusat. "Bagaimana kita kasih urusan pemerintahan tapi kita tidak siapkan pedomannya. Daerah jangan disalahkan bila menjalankan otonomi sesuka hatinya," cetus Pj Gubernur Riau 2013-2014 ini.

"Jika daerah tetap mau menjalankan otda yang seluas luasnya. Maka, sekarang kalau Pak Wali (Walikota Bogor Arya Bima) dan asosiasi pemkot berjuang untuk tetap kewenangannya seluas luasnya, maka pembuatan NSPK harus dijaga ikut serta kasih saran masukan. Kalau kota bogor hilang PAD nya, karena izin memakai sistim OSS (Online Single Submission) itu, gratis. Lalu ada income kita menjadi hilang. Dalam UU Cipta Kerja dinyatakan bahwa daerah bisa mendapatkan dukungan insentif dari pemerintah pusat," sambung Prof Djo.

Sebagaimana diketahui, OSS atau perizinan online terpadu merupakan program layanan perizinan yang diluncurkan oleh pemerintahan Joko Widodo. Perizinan online berbasis website ini ditujukan untuk membantu pengaduan dan perizinan yang selanjutnya dilakukan proses penindakan oleh pemerintah..

Prof Djo menyarankan, kalau UU Cipta Kerja mau dilawan seperti pembatalan lewat MK, sebagaimana banyak orang yang mengkaji kayaknya tidak mungkin menang. Apalagi pembatalan secara formil. "Yang jadi pertanyaan bisakah MK memutuskan pasal-pasal tertentu. Ini juga wallahu alam," ujarnya.

"Kita bermain dipersoalan ini baiknya dahulu. Kapasitas kelembagaan kita, SDM yang jago IT, lalu digitalisasi yang terkait pelayanan publik yang mau ditarik oleh pusat harus dicegah, yaitu sejak sekarang menyiapkan lembaga, SDM dan IT yang baik. Tentu akan difasilitasi pusat karena nanti nereka akan menyediakan alat dan orang-orangnya untuk berkolaborasi dengan daerah, sehingga daerah tetap survive," tidak dengan gampang wewenangnya diresentralisasi, pungkas penerima penghargaan Bintang Jasa Utama dari Presiden RI (1999) itu.*

Artikel Terkait