Nasional

Cegah Intoleransi di Dunia Pendidikan, Harus Ciptakan Program Pendekatan yang Baru

Oleh : very - Sabtu, 21/11/2020 19:50 WIB

Dosen sosiologi Universitas Gajah Mada (UGM) M Najib Azca, PhD. (Foto: Ist)

Yogyakarta, INDONEWS.ID -- Kasus intoleransi di lingkungan pendidikan akhir-akhir sudah sangat meresahkan. Kondisi sangat mengkhawatirkan, apalagi masalah intoleransi adalah momok yang bisa mengancam perdamaian dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itu dibutuhkan program pendekatan baru dalam mencegah berkembangnya intoleransi di lingkungan pendidikan.

“Saya kira sudah cukup banyak riset menemukan bahwa ada tren meningkatnya intoleransi atau radikalisme di sekolah atau kampus. Ini suatu warning bagi kita semua, baik pendidik, pemerintah, masyarakat untuk mewaspadai atau hati-hati terhadap tren seperti ini,” ujar dosen sosiologi Universitas Gajah Mada (UGM) M Najib Azca, PhD, di Yogyakarta, Sabtu (21/11/2020).

Najib mengatakan harus segera dilakukan program untuk mengikis penyebaran intoleransi di lingkungan sekolah tersebut. Salah satunya bergerak dengan pelibatan komunitas kaum muda seperti siswa SMP, SMA, dan mahasiswa.

“Karena mereka sendiri yang harus mampu mengenali, mengidentifikasi gejala-gejala misalnya menguatkan intoleransi di lingkungannya. Dan itu bisa dilakukan bila mereka terlibat langsung dan proaktif untuk melakukan aktivitas ini. Misalnya terjadinya gejala radikalisasi di lingkungan teman sebayanya,” ungkap Najib.

Saat ini, lanjutnya, pihaknya tengah mengembangkan program pendekatan dengan membangun sekolah damai berbasis siswa sebaya. Dengan program itu, mereka (siswa dan mahasiswa) sendiri yang melihat dan mengamati, lalu mencoba mengembangkan upaya-upaya untuk membina damai di lingkungannya.

Ia juga menyarankan agar upaya mengikis intoleransi di sekolah itu jangan terkesan top down atau dari atas ke atas.

“Kita harus mampu menyemai teman-teman muda untuk proaktif merawat toleransi, perdamaian di lingkungannya dengan cara-cara yang sesuai dengan kemudaan mereka. Soalnya kalau menggunakan cara orang tua, kadang-kadang gak cocok,” tutur Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM ini.

Misalnya, kata Najib, dengan menggunakan platform TikTok atau Podcast. Menurutnya, penggunaan media baru dalam membangun toleransi di kalangan muda ini sangat penting ketika sasarannya adalah anak muda. Sementara cara-cara lama atau cara ala orang tua dinilainya tidak akan menyambung karena frekuensinya beda.

“Kita harus belajar juga dari anak-anak muda terutama dalam mengemas pesan-pesan damai, pesan-pesan kontra ekstremisme dengan cara-cara anak muda. Itu akan lebih muda cepat diterima dengan melalui proses dialog dan diskusi dengan mereka. Kita perlu mendengar juga dari anak muda sendiri apa yang mereka rasakan, mereka pikirkan, dan mereka inginkan. Dari situ kita rumuskan agenda kolaboratifnya,” paparnya.

Najib menegaskan perlu adanya kombinasi untuk mengatasi masalah ini. Artinya, kalau dari level sekolah, pendidik memang sangat penting karena pada dasarnya sekolah masih menghargai senioritas dan secara hirarkis ada guru sebagai pendidik yang memiliki otoritas. Tapi itu tidak cukup, sehingga siswa harus dilibatkan secara langsung, baru setelah itu pemerintah yang wajib terlibat.

Selain itu, ia melihat pelibatan tokoh agama dan organisasi masyarakat juga penting seperti dengan NU, Muhammadiyah, Al Washliyah, dan lain-lain, sehingga dari titik ini program itu juga dianggap sebagai agenda komunitas agama juga. Dengan begitu, ia yakin efek dari program itu akan sangat kuat dibandingkan seolah-olah agenda ini hanya program pemerintah saja.

Ia sendiri pesimis bila agenda ini hanya dari pemerintah saja. Pasalnya kalau itu yang terjadi, ia menilai program itu belum berhasil untuk mendiseminasi, me-mainstream-kan, dan memperluas pencegahan dan pendekatan kontra ekstremisme dan radikalisme di lingkungan sekolah.

Penting lagi, imbuh Najib, adalah dilakukannya penguatan wawasan kebangsaan di lingkungan sekolah. Menurutnya, penguatan wawasan kebangsaan itu merupakan suatu paket yang lengkap dalam upaya meningkatkan pendekatan keagamaan moderat. Seperti cara pendekatan yang dilakukan NU dengan Islam Nusantara-nya yaitu pendekatan agama berbasis kebudayaan dan adat.

“Itu sekaligus untuk mengokohkan identitas kebangsaan kita, karena agama dan budaya adalah bagian kolektif kita sebagai bangsa. Kalau itu bisa kita solidkan, maka sebagian persoalan bangsa yang sekarang ini terjadi akan terkikis,” pungkas Najib Azca. (Very)   

 

Artikel Terkait