Nasional

Cenderung Jadi Narasi Populis, ICJR Tolak Ancaman Pidana Mati dalam Kasus Mensos Juliari

Oleh : very - Minggu, 06/12/2020 19:22 WIB

Mensos Juliari Peter Batubara. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) sangat menentang keras wacana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ataupun aktor Pemerintah lainnya untuk menjatuhkan hukuman mati sebagai solusi pemberantasan korupsi terlebih pada masa pandemi ini.

“ICJR merekomendasikan langkah lebih tepat yang harus dilakukan Pemerintah yaitu fokus pada visi pemberantasan korupsi dengan memperbaiki sistem pengawasan pada kerja-kerja pemerintahan khususnya dalam penyaluran dana bansos dan kebijakan penanganan pandemi lainnya. Pengguna pidana mati tidak pernah sebagai solusi akar masalah korupsi,” ujar Direktur Eksekutif ICJR Erasmus A. T. Napitupulu melalui pernyataan pers di Jakarta, Minggu (6/12).

Sebagaimana diketahui, Menteri Sosial Juliari Batubara ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos) pada 6 Desember 2020 dini hari. Kejadian ini cukup menyita perhatian publik saat ini dan akhirnya mencuat kembali pernyataan Ketua KPK Firli Bahuri yang meminta penjatuhan bahkan eksekusi hukuman mati terhadap pelaku kasus-kasus korupsi dalam masa pandemi.

ICJR, kata Erasmus, dalam laporan kebijakan hukuman mati 2020 “Mencabut Nyawa di Masa Pandemi” yang dikeluarkan pada Oktober 2020 telah memprediksi bahwa wacana pidana mati di tengah pandemi ini akan digunakan seolah-olah sebagai solusi atas permasalahan korupsi di pemerintahan. 

Dalam laporan tersebut ICJR telah menekankan bagaimana penjatuhan hukuman mati sama sekali tidak mempunyai dampak positif terhadap pemberantasan korupsi di suatu negara.

Hal ini terbukti berdasarkan data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2019, negara-negara yang menduduki peringkat puncak atas keberhasilannya menekan angka korupsi nyatanya tidak sama sekali memberilakukan pidana mati sebagai pemidanaan bagi tindak pidana korupsi seperti Denmark, Selandia Baru, dan Finlandia.

Kemudian Singapura yang juga tidak menerapkan hukuman mati untuk kasus korupsi berhasil menjadi negara dengan ranking IPK tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Sebaliknya, negara-negara yang masih menerapkan pidana mati termasuk untuk kasus korupsi malah memiliki nilai IPK yang rendah dan berada di ranking bawah termasuk Indonesia (peringkat 85), Cina (peringkat 80), dan Iran (peringkat 146).

“Selama ini hukuman mati di Indonesia lebih cenderung digunakan sebagai narasi populis, seolah-olah negara telah bekerja efektif dalam menanggulangi kejahatan, termasuk korupsi. Padahal faktanya tidak ada satu pun permasalahan kejahatan yang dapat diselesaikan dengan menjatuhkan pidana mati,” ujarnya.

Contoh paling konkrit misalnya dari praktik kebijakan narkotika dengan mengusung slogan perang terhadap nakotika sejak 2015 yang secara agresif menerapkan hukuman mati, terbukti sama sekali tidak berimbas pada penurunan angka peredaran gelap narkotika sampai saat ini.

Erasmus mengatakan, sektor narkotika yang selalu menggunakan narasi hukuman mati merupakan salah satu sektor penegakan hukum dan perlindungan warga negara paling bermasalah menurut banyak penelitian di Indonesia.

Begitu pula dengan kebijakan pemberantasan korupsi, ICJR sangat menentang keras rencana Pemerintah untuk menjatuhkan hukuman mati sebagai solusi pemberantasan korupsi terlebih pada masa pandemi ini.

“ICJR merekomendasikan langkah yang lebih tepat diambil oleh Pemerintah yaitu fokus pada visi pemberantasan korupsi dengan memperbaiki sistem pengawasan pada kerja-kerja pemerintahan khususnya dalam penyaluran dana bansos dan kebijakan penanganan pandemi lainnya,” ujar Erasmus.

Pembenahan sistem pengawasan di pemerintahan untuk mencegah korupsi, kata Erasmus, belum berjalan dengan baik. Hal ini terbukti dengan terus bermunculannya kasus-kasus korupsi khususnya yang ada di lingkungan Kementerian Sosial.

Menteri Sosial periode sebelumnya yakni Idrus Marham baru pada 2019 lalu terjerat kasus korupsi pembanguan PLTU Riau. Kemudian jauh sebelumnya pada 2011, Menteri Sosial periode 2001-2009, Bachtiar Chamsyah, juga sempat tersandung kasus korupsi pengadaan sarung, sapi, dan mesin jahit. Fokusnya harus pada pembaruan sistem, tidak hanya berfokus pada hukuman.

Karena itu, kata Erasmus, narasi pidana mati menandakan bahwa pemerintah berpikir pendek atas penanganan korupsi di Indonesia. Pemberlakuan pidana mati untuk tindak pidana korupsi juga akan mempersulit kerja-kerja pemerinrah dalam penanganan korupsi, sebab banyak negara yang jelas akan menolak kerja sama investigasi korupsi jika Indonesia memberlakukan pidana mati.

“Pembaruan sistem pengawasan yang harus dirombak ketimbang bersikap reaktif dengan menjatuhkan hukuman mati terhadap kasus-kasus individual,” pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait