
Oleh: F. Reinhard MA*)
INDONEWS.ID -- Pada abad 21 ini, elite penguasa Jawa mengalami pembusukan moral dengan merebaknya mentalitas menerabas, tirakat semu dan keprihatinan palsu serta korupsi berselubung “revolusi mental”.
Mentalitas menerabas mencakup sistem nilai budaya dan sikap mental yang doyan menerabas aturan dan etika-moral.
Prof Koentjaraningrat, dalam Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (1974) membedakan tiga istilah, yaitu sistem nilai budaya, sikap mental, dan mentalitas. Suatu sistem nilai budaya terdiri konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang mereka anggap amat bernilai dalam hidupnya. Karena itu, suatu sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Ilmu antropologi memahami “mental” manusia dalam bingkai sistem nilai budayanya yang bersifat universal. Namun di era reformasi tahun tahun terakhir ini, semua nilai budaya dan etika moral itu dilanggar dan ditabrak jadi bau apek revolusi palsu “pisang dan martabak”.
Ketika bertemu dalam mimpiku semalam, Prof Koentjaraningrat dengan santun menyingkapkan pembusukan elite penguasa Jawa karena mereka tirakat dan prihatin demi ambisi kuasa dan harta benda yang mereka lama impikan dengan penuh dendam.
Kini elite kuasa Jawa ditengarai menjadi orang yang sangat bejat, munafik dan busuk perilakunya. Sebagai analis ekonomi-politik, saya terkaget dan bertanya apa maksud Pak Koentjaraingrat dengan fenomena di atas itu?
Menurut Koentjaringrat dalam dialog di mimpiku semalam, elite kuasa era Jokowi haus dan kemaruk korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), bermuka dasamuka di balik kesahajaan dan kepolosannya sebagai elite berwajah rakyat Jawa. Elite Penguasa Jawa di istana kini menjadikan negara seolah dirinya, terjadi personalisasi kekuasaan, state-qua-state yang justru mengkhianati demokrasi konstitusional dan amanat rakyat. Kalau dulu raja-raja Jawa seperti Sri Sultan HB IX menyumbangkan dana, harta benda dan SDM dan segalanya untuk Republik Indonesia yang diproklamasikan Soekarno-Hatta, kini jsutru elite penguasa Jawa di istana kemaruk KKN, sedangkan rakyat hidup susah dan miskin dan tak ada lapangan kerja, tak ada sarana/alat produksi.
Jokowi diingatkan bahwa dirinya berwajah janus, mendua, di satu sisi penampilannnya merakyat dan berjanji mau sejahterakan petani dan nelayan, tapi malah rezim Jokowi pakai system kuota untuk impor pangan/garam yang justru sengsarakan rakyat tani. Terjadi kebohongan publik dan kejahatan ekonomi serta kemunafikan dan paradox antara kata dan perbuatan oleh rezim Jokowi.
Jokowi gemakan sikap anti-KKN, berjanji mau menghilangkan ciri buruk manusia Indonesia itu, namun perbuatan Jokowi serupa. Konon banyak setoran pundi-pundi dari para aparat, pembantu/menterinya dan para taipan dan pihak –pihak yang punya kepentingan bercokol. Kelas menengah dan kaum terpelajar bahkan kalangan diplomat Barat/AS dan para jurnalis/intelijen AS/Barat telah mendengar konon ada setoran pundi-pundi dari proyek infrastruktur, dari taipan kepada Jokowi dan keluarganya di Solo. Kalau rumor itu salah, kita bersyukur, tapi kalau rumor itu benar, celaka Jokowi dan keluarga karena itu perbuatan sangat tidak baik dan munafik, hipokrit.
“Jika rumor itu benar, tentu kita ingin semua uang yang disetor ke Jokowi dan keluarganya di Solo atau dimanapun dikembalikan ke kas Negara, dan jadilah Jokowi pemimpin teladan, bukan pemimpin lembek bermental korup, masih ada waktu, marilah Pak Jokowi,” kata mendiang Koentjaringrat.
Namun beliau khawatir di tengah pandemi Corona, dugaan KKN Jokowi dan keluarganya mungkin sudah jadi rahasia umum. Ditabrak bunyi dering telepon, saya terjaga dari mimpiku. Ternyata, Prof Koen menyampaikan pesan itu dalam mimpi saya. Terimakasih.
*) F. Reinhard MA, analis ekonomi politik dari Indonesian Research Group dan alumnus UIN Jakarta/Islamic College of Advanced Studies.