Opini

Senjata Nuklir dan Tantangan Preliferasi

Oleh : Rikard Djegadut - Senin, 22/02/2021 21:15 WIB

Mantan Duta Besar RI untuk Belgia

Oleh: Yuri O. Thamrin, mantan Duta Besar RI untuk Belgia

Opini, INDONEWS.ID - Senjata nuklir adalah senjata pemusnah massal yang sangat berbahaya. Secara umum, jenisnya mencakup bom atom (A-bomb) dan bom hidrogen (H-bomb).

Sebagai info, bom hidrogen -- yang sering juga disebut bom thermonuklir -- bisa ratusan bahkan ribuan kali lebih besar kekuatannya dari pada bom atom (A-bomb).

Sebagai contoh, bom Tzar Bomba yang pernah diuji-coba Uni Soviet (Rusia) pada oktober 1961 berkekuatan sekitar 3000 kali A-bomb yang dijatuhkan AS di Kota Hiroshima pada 9 Agustus 1945. Sementara itu, bom buatan Amerika Castle Bravo berkekuatan sekitar 1000 kali bom atom Hiroshima.

Saat ini, berbagai disain senjata nuklir yang dimiliki AS dan Rusia semakin canggih, variatif dan menakutkan (the Economist, 30 Januari 2021).

Amerika Serikat pun mengumumkan akan membelanjakan 1,2 trilyun dollar dalam 30 tahun mendatang (2017-2046) untuk memodernisir persenjataan nuklirnya. Rusia, tidak mau ketinggalan, terus pula mempercanggih persenjataan-nya.

Selain tantangan proliferasi vertikal berupa pencanggihan desain dan kemampuan senjata-senjata nuklir yang ada, dunia juga menghadapi tantangan lain yakni proliferasi horizontal berupa penyebaran senjata nuklir ke lebih banyak negara.

Sejauh ini, ada 9 negara nuklir di dunia: AS, Rusia, Inggris, Perancis dan China yang merupakan 5 negara nuklir de jure berdasarkan Traktat Non-Proliferasi (NPT) 1968 dan 4 negara lainnya yakni Israel, India, Pakistan dan Korea Utara yang merupakan negara-negara nuklir de facto yang berhasil mengecoh dan menerabas rezim non-proliferasi internasional.

Tulisan ini akan membahas prospek penyebaran senjata nuklir secara horizontal. Asumsi dasarnya: keamanan dunia akan terancam jika makin banyak negara memiliki senjata nuklir. Sementara itu, kemungkinan bahan-bahan nuklir (fissile materials) jatuh ke tangan jaringan teroris pun sangat menakutkan.

Statistik Nuklir

Pada puncak Perang Dingin tahun 1980-an, jumlah senjata nuklir di dunia sekitar 70 ribu hulu ledak (warheads). Sebagian besar dimiliki oleh AS dan Uni Soviet/Rusia.

Sesuai laporan SIPRI (2019), jumlah persenjataan nuklir dunia saat ini sekitar 13.865 hulu ledak (atau turun 79% dari masa Perang Dingin), dengan kekuatan terpasang dan operasional (deployed) sebesar 3.750 hulu ledak. Berbagai sumber lain menyebutkan bahwa AS memiliki 6185 hulu ledak nuklir, Rusia 6800, China 320, Perancis 290, Inggris 215, Pakistan 160, India 150, Israel 90 dan Korea Utara 20 - 30 munisi nuklir.

Sesuai laporan the Telegraph (11 Oktober 2017), total arsenal nuklir yang dimiliki AS dan Rusia berkekuatan sekitar 6.600 megaton atau setara dengan kekuatan 4,6 juta kali Bom atom Hiroshima.

Jika terjadi perang nuklir total (all out nuclear war) antara AS dan Rusia, daya rusak kekuatan nuklir kedua negara dapat menewaskan milyaran manusia, menjadikan sebagian besar muka bumi uninhabitable (tidak dapat didiami), kehancuran sistim masyarakat, pemerintah dan perekonomian, kota-kota di dunia luluh lantak.

Sebagian besar teknologi modern lenyap, terjadi nuclear winter yg melumpuhkan sistim pertanian dan ketersediaan pangan, debu radioaktif pun memusnahkan para penyintas perang nuklir. Dengan kata lain, peradaban umat manusia mengalami kepunahan.

Tim ahli Universitas Colorado Boulder dan Universitas Rutgers di AS mengumumkan hasil penelitiannya tentang perkiraan dampak perang nuklir terbatas (limited regional nuclear war) jika terjadi antara India dan Pakistan (Science Daily, 2 Oktober 2019).

Apabila kedua negara saling serang dengan sekitar 100 senjata nuklir sekelas bom atom Hiroshima (atau 0,67 % dari total arsenal nuklir dunia), maka terdapat efek yang dahsyat: 50 - 125 juta manusia tewas (kurang dari seminggu perang berlangsung); 80 milyar kilogram debu dan gumpalan asap hitam naik ke stratosfer, menyebar keseluruh bola dunia, menghalangi sinar matahari selama beberapa tahun, dengan akibat terjadinya nuclear winter di seluruh dunia; terganggunya produksi pangan dunia dan kelaparan terutama di negara-negara Selatan; sekitar 1 milyar manusia pun pada akhirnya tewas akibat dari perang nuklir terbatas itu. Dengan kata lain, kerusakan hebat yang ditimbulkannya tidak hanya berdimensi lokal dan regional tetapi juga global.

Alasan proliferasi

Mengapa negara-negara ingin memiliki senjata nuklir? Umumnya didorong oleh rasa takut dan keinginan memperkuat keamanan nasionalnya dari ancaman asing, terutama ancaman nuklir. Ketika AS berhasil membuat senjata nuklir pada 1945, Uni Soviet (Rusia) tentu saja merasa kuatir. Karena itu, Stalin memerintahkan ilmuwan-ilmuwan Rusia untuk secepat mungkin mampu membuat senjata nuklir yang terlaksana pada 1949.

Pada gilirannya, setelah Rusia mengembangkan second strike capability --- artinya mampu membalas kemungkinan serangan awal (nuclear first strike) oleh AS --- giliran Inggris dan Perancis merasa ragu akan kredibilitas jaminan nuklir (nuclear guarantee) oleh Amerika dalam kerangka NATO.

Oleh karena itu, Inggris dan Perancis mengembangkan senjata nuklir mereka sendiri pada 1952 dan 1960 agar tidak tergantung pada AS. Sementara itu, Tiongkok melakukan uji coba nuklir pada 1964 demi mengamankan dirinya dari ancaman nuklir Amerika Serikat dan juga karena keretakan hubungannya dengan Uni Soviet pada awal 1960-an.

Selanjutnya, faktor national prestige dan grandeur juga berperan penting pada pilihan untuk go nuclear. Scott Sagan (1996) mengatakan bahwa Presiden Charles de Gaulle merasa Perancis tidak mungkin berstatus negara besar tanpa memiliki senjata nuklir sendiri, apalagi setelah kekalahannya di Vietnam (1954) dan setelah dipermalukan AS dan Uni Soviet pada Krisis Suez (1956).

Faktor lainnya adalah dinamika politik domestik. India, misalnya, pada Mei 1974 melakukan peaceful nuclear explotion (PNE) antara lain karena PM Indira Gandhi tengah terpuruk popularitasnya ingin memperkuat dukungan rakyat pada Partai Kongres dan kepemimpinannya.

Sementara itu, dalam kasus Brazil dan Argentina, perkembangan politik domestik justru mengarah pada non-proliferasi. Ketika kedua negara tidak lagi diperintah rezim militer (pada tahun 1980-an) dan menjadi negara demokrasi, Brazil dan Argentina justru meninggalkan keinginan untuk memiliki senjata nuklir.

Proliferasi di Timur Tengah

Salah satu kawasan rawan proliferasi (proliferation-prone region) adalah Timur Tengah. Sebagaimana dimaklumi Israel memiliki senjata nuklir sejak 1966. Hal ini membuat negara-negara Arab kuatir. Sebagai respons, negara-negara Arab (termasuk Suriah dan Irak) mengembangkan senjata kimia sebagai pengimbang Israel.

Irak dan Suriah pun memiliki program nuklir (walaupun relatif kurang berhasil) dan pada perkembangannya reaktor-reaktor nuklir kedua negara itu dihancurkan pesawat-pesawat Israel pada 1981 dan 2007 melalui Operasi Opera dan Operasi Orchard.

Selanjutnya, upaya diplomatik ditempuh pula di New York untuk menekan Israel. Dalam hubungan ini, Mesir telah menggulirkan resolusi tentang pembentukan Kawasan Bebas Senjata Nuklir Timur Tengah (Middle East Nuclear Weapon Free Zone) di PBB sejak 1974 dan mendapat dukungan luas masyarakat internasional.

Godaan proliferasi tetap kuat di Timur Tengah bahkan hingga saat ini. Sebagai contoh, Presiden Erdogan (Turki) pada 2019 mengatakan ingin miliki jaminan keamanan seperti Israel.

"Kalau Israel punya opsi nuklir -- sehingga untouchable -- kenapa Turki dilarang oleh negara-negara Barat untuk punya opsi serupa? Saya tidak terima pembedaan ini," ujar Presiden Erdogan (Reuters, 4 September 2019).

Lebih jauh, rangsangan proliferasi di kawasan juga disulut oleh program nuklir Iran. Kata pepatah, lain di mulut, lain di hati --- artinya walau mengklaim programmya entirely peaceful, motivasi Iran sesungguhnya adalah melakukan nuclear hedging untuk pastikan kemampuan nasional mereka membuat senjata nuklir dalam waktu singkat (Max Fischer, 2015).

Kemampuan ini penting sebagai deterrent terhadap kemungkinan serangan Amerika dan Israel terhadap Iran, untuk membuktikan kepiawaian teknologi Iran (walaupun negara itu mengalami embargo Barat), serta untuk meningkatkan pengaruh Iran di kawasan.

Sesuai the Economist (30 Januari 2021), Iran saat ini mulai melakukan uranium enrichment hingga 20% (artinya makin dekat dengan level weapon-grade material) dan mampu membuat uranium metal untuk digunakan sebagai core (inti) bom nuklir.

Sudah barang tentu, berbagai kemajuan program nuklir Iran ini dimonitor dengan kuatir oleh rival-rival regionalnya, terutama Saudi Arabia. Dalam kaitan ini, Saudi menegaskan bahwa pihaknya akan memiliki bom nuklir, jika Iran mengembangkan senjata itu.

Saat ini, Saudi membeli 16 nuclear power stations dari berbagai negara dan membangun fasilitas pembuatan mesin peluru kendali dengan bantuan Tiongkok.

Ke depan, bukan tidak mungkin Saudi akan memperoleh bantuan Pakistan, baik berupa transfer of nuclear know-how atau membuatkan bom nuklir siap pakai untuk Saudi (a complete nuclear device).

Kawasan Asia Timur

Sejatinya, kawasan Asia Timur pun merupakan hot spot untuk proliferasi nuklir. Di kawasan ini, Korea Selatan dan Taiwan diperkirakan mampu membuat senjata nuklir dalam masa 2 tahun dan Jepang mungkin kurang dari itu.

Proliferasi bersumber dari (i) provokasi korea utara (yang kerap melakukan uji coba nuklir dan rudal jarak menengah dan antar-benua); (ii) menurunnya kredibilitas payung nuklir Amerika di mata sekutu-sekutu AS di kawasan ini dan (iii) kemungkinan Tiongkok mengambil alih posisi AS sebagai kekuatan dominan di kawasan Asia Timur pada masa mendatang (Hugh White, 2017).

Dalam laporan the Economist (30 Januari 2021) besarnya sentimen publik di Korea Selatan untuk go nuclear terlihat jelas jika payung nuklir AS tidak lagi bisa diandalkan.

Sementara itu, wacana kepemilikan senjata nuklir juga bukan lagi sesuatu yang tabu di Jepang yang memiliki teknologi canggih dan fissile materials yang cukup untuk membuat senjata nuklir. Akan halnya Taiwan, negara ini pun pernah tergoda untuk memiliki senjata nuklir sebagai deterrent terhadap Tiongkok.

Pada akhirnya, posisi dominan AS di Asia Timur tidak akan permanen dan mungkin akan digantikan oleh Tiongkok yang akan menerapkan semacam "Monroe Doctrine" di kawasan ini.

Hugh White membayangkan banyak negara Asia Timur akan go nuclear agar tidak di-bully oleh China: Jepang akan memiliki senjata nuklir, Korsel juga, bahkan Australia sekali pun akan go nuclear dan menempatkan senjata nuklirnya di kapal selam (Submarine-launched ballistic missiles) meniru model Inggris.

Jika skenario ini terjadi, dimana posisi Indonesia? Diasumsikan Indonesia akan juga go nuclear sebagai reaksi terhadap Australia serta untuk memastikan strategic autonomy-nya di kawasan Asia Timur.

Terorisme Nuklir

Kata dirty bomb sangat menakutkan. Intinya: kelompok teroris berhasil mencuri bahan-bahan nuklir (fissile materials) dalam jumlah yang cukup dan kemudian merakit bom yang mampu menebarkan radioaktif dan menewaskan ratusan ribu orang. Dirty bomb adalah mimpi buruk bagi Amerika dan banyak negara lainnya.

Sebagai informasi, di dunia ini terdapat 2000 ton fissile materials dan dalam 20 tahun terakhir telah terjadi sekitar 2734 confirmed incidents terkait upaya pencurian bahan-bahan nuklir atau terjadinya unauthorized activities di berbagai fasilitas nuklir di banyak negara. Untuk meningkatkan keamanan bahan-bahan nuklir tersebut diperlukan langkah-langkah nasional yang kuat serta kerjasama internasional yang solid.

Penutup

Prospek proliferasi nuklir sangat nyata terutama di kawasan Timur Tengah dan Asia Timur. Dari segi penguasaan teknologi nuklir, Jepang dan Korsel jauh lebih tinggi dari pada kemampuan banyak calon proliferator di Timur Tengah.

Namun, dari segi ambisi, justru kebalikannya: ambisi para proliferator di Timur Tengah jauh lebih kuat dari pada mitranya di Asia Timur (George Perkovich dalam the Economist, 30 Januari 2021).

Di Asia Timur, kemungkinan situasi krisis antara AS dan Tiongkok bisa terjadi di masa depan dengan kemungkinan eskalasi nuklir. Hugh White (2017) memperkirakan AS akan mundur dan tidak akan meriskir perang nuklir dengan Tiongkok untuk mempertahankan hegemoni AS di Asia Timur.

Terjadinya strategic withdrawal AS dari kawasan Asia Timur pada gilirannya akan memicu tsunami "go nuclear" di kawasan ini khususnya untuk menciptakan strategic autonomy vis-a-vis Tiongkok.

Sementara itu, kemungkinan terorisme nuklir tetap nyata dan tidak dapat diabaikan. Karena itu, masyarakat internasional perlu terus mewaspadainya.*

Artikel Terkait