Opini

Pertanian Berbasis Aneka Ubi Menuju Kemandirian Pangan dan Energi di Kabupaten Kepulauan Bintan

Oleh : Rikard Djegadut - Jum'at, 12/03/2021 10:30 WIB

Oleh: Yudi Widodo, Ahli Peneliti Utama bidang budidaya tanaman pangan di Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi) Malang


Opini, INDONEWS.ID - Peluang dan tantangan perubahan iklim dalam pembangunan pertanian pamah lingkungan berbasis kepulauan untuk mewujudkan kedaulatan pangan menjadi tema yang diusung oleh pemerintah dalam rapat koordinasi bersama Presiden tanggal 22 Februari 2021.

Sementara itu, di global UNFCC 28 Februari – 28 Mei 2021 sedang pula membahas masalah serta perubahan iklim pada bidang pertanian dan kehutanan aspek yang terkait. Gayut dengan tema tersebut, tampaknya semua pihak harus diperlihatkan fakta dan permasalahan riil bahwa hal tersebut sungguh tidak mudah layaknya membalikkan tangan.

Miniatur Indonesia dapat direpresentasikan dari gambaran umum berikut masalah yang menyertai Kabupaten Bintan yang terdiri atas kepulauan (sekitar 240 pulau) dengan jumlah penduduk sekitar 163.000 jiwa. Dari 240 pulau yang ada hanya 39 pulau yang sudah dihuni, dan 201 pulau belum berpenghuni. Luas daratan 19.461.300 ha, sedangkan luas wilayah lautnya 860.924.100 ha artinya luas daratan hanya 2,26% dari luas lautnya.

Selain harus mencukupi keperluan pangan bagi penduduk Kabupaten Bintan sejumlah 163.000 jiwa, terdapat juga beban tambahan untuk menyediakan pangan bagi penduduk tetap kota Tanjung Pinang yang berjumlah sekitar 230.000 jiwa maupun para wisatawan yang berkunjung ke kawasan wisata Bintan Lagoi dan Resort yang sangat intensif diiklankan oleh para pengusaha Singapore (sekitar 300.000 wisatawan/tahun).

Kecukupan pangan

Luasnya kawasan laut yang dimiliki Kabupaten Bintan mencerminkan bahwa sumber pangan nabati dari laut dapat menjadi penopang ekonomi penduduk. Kecukupan protein hewani dari laut perlu diimbangi kecukupan kalori dari pangan nabati, khususnya karbohidrat. Dengan demikian gejala dan bencana kekurangan kalori dan protein (KKP) tidak akan pernah terjadi di Kabupaten Bintan.

Persoalan utama dalam penyediaan karbohidrat di Kabupaten Bintan terkait dengan ketersediaan lahan yang sudah dikelola semi intensif hanya seluas 40 ha berupa lahan sawah, serta sekitar 515 ha berupa lahan kering. Namun sebenarnya terdapat potensi pengembangan sawah hingga 1100 ha dan lahan kering 5200 ha (Bintan dalam Angka, 2017).

Selain itu, terdapat lahan bekas tambang bauxit dengan luas sekitar >6000 ha yang masih terlantar dan belum diperhatikan secara memadai. Guna meningkatkan daya dukung lahan khususnya bagi penyediaan produksi pertanian untuk mencapai ketahanan pangan yang berdaulat, maka lahan bekas tambang perlu segera dipulihkan melalui reklamasi dan rehabilitasi.

Hingga saat ini, untuk menutupi keperluan pangan penduduk terutama beras terpaksa didatangkan dari Sumatra maupun Jawa, atau mungkin juga beras dari Vietnam dan Thailand melalui perdagangan legal dan ilegal. Oleh karena itu untuk melacak angka pasti relatif sulit.

Kabupaten Bintan maupun wilayah Kepulauan Riau lainnya merupakan pintu masuk bagi barang-barang import ilegal, termasuk pangan dan hasil pertanian lainnya. Hal ini sangat disadari oleh pihak berwajib, namun mengingat keterbatasan pemantauan dan pemeriksaan maka hal tersebut masih terjadi, meskipun kini fungsi pengawasan mulai lebih ketat.

Justru itulah seyogyanya peningkatan produksi dan produktivitas pertanian tanaman pangan dan lainnya segera dilakukan seiring dengan pengetatan terhadap produk impor. Dengan demikian pasokan guna memenuhi permintaan masyarakat tetap dapat terjamin dan terpenuhi.

Hal ini merupakan peluang bagi daerah setempat untuk segera menyimak secara cermat potensi wilayahnya dan sekaligus memberdayakan masyarakat guna menggerakkan dan memacu pertumbuhan ekonomi daerah seiring dengan pertumbuhan nasional dan global.

Tambang bauxit

Pulau Bintan sebagai wilayah dominan Kabupaten Bintan merupakan pulau terbesar kedua di Kepulauan Riau setelah Pulau Natuna Besar. Bahkan ukuran Bintan 180% lebih besar dibanding Singapore. Periode sebelum Desember 2013, ketika pertambangan bauxit masih menjadi urat nadi ekonomi yang utama di Kabupaten Bintan, juga telah terjadi perluasan kawasan garis pantai di Singapore hingga menjorok sekitar 10 mil.

Pertumbuhan ekonomi Singapore yang sangat pesat, sangat timpang dengan kondisi Bintan, sehingga memungkinkan bagi Singapore untuk membeli dan melakukan penggerogotan tanah-air yang secara geopolitik merugikan NKRI, akibat lemahnya sistem pengawasan dan maraknya pertambangan termasuk yang ilegal.

Dalam proses penambangan bauxit, memang terjadi perusakan tanah dan lingkungan yang parah. Namun sebenarnya masalah tersebut dapat diminimalisasi, sehingga pasca tambang tidak menimbulkan kerusakan lingkungan dan pertanian serta menyisakan kemiskinan dan memusnahkan masa depan.

Dari awal sebelum proses penambangan (exploitation), seharusnya pengelupasan tanah lapisan olah bagian atas (top soil) diperlakukan secara hati-hati, dan dikumpulkan agar setelah proses penambangan selesai dapat dikembalikan lagi melalui reklamasi dan rehabilitasi. Tambang bauxit tersebut umumnya diaktifkan kembali ketika sebelum tahun 2015, tetapi tampaknya pemerintah menyadari akhirnya sejak 2015 sudah tidak lagi.

Dengan demikian taraf kesuburan tanah meskipun menurun, tetapi tidak drastis seperti saat ini. Sebab, lapisan tanah atas dikeruk dan dikumpulkan untuk dijual dan diangkut guna memperluas daratan atau garis pantai di Singapore. Sebagai akibatnya, kini kehilangan lapis olah menjadikan kawasan bekas tambang bauxit sulit untuk dihijaukan kembali, sebab tidak ada lapisan tanah yang dapat ditanami, karena hanya tersisa batuan induk (raw material) yang keras sulit ditembus perakaran tanaman.

Namun sebenarnya masalah ini bukan mustahil untuk ditangani, dengan pengelolaan yang tepat dalam proses reklamasi dan rehabilitasi serta pemilihan komoditas yang sesuai maka kawasan bekas tambang bauxit yang seluas > 6000 ha akan menjadi produktif dan menghijau kembali. Mereka pemilik tambang bauxit tinggal di Singapore atau Jakarta menikmati kenyamanan sesaat, tetapi meninggalkan cekungan derita bagi generasi berikut. Dengan demikian ketika naik pesawat melihat ke bawah dari angkasa, tidak lagi tampak lahan luas dengan warna dominan coklat tanpa vegetasi hijau.

Kawasan wisata terpadu

Posisi Kabupaten Bintan dengan 240 pulaunya juga sangat strategis untuk lebih ditingkatkan dalam kancah pariwisata termasuk bidang pertanian dalam arti luas (agritourism). Khususnya beberapa pulau kecil di sekitar Pulau Bintan yang belum berpenghuni yang jumlahnya mencapai 201 pulau. Pulau-pulau tersebut dapat dikembangkan sebagai wahana wisata yang menginspirasi kecedekiawanan (scholar-eldery program), misalnya para ilmuwan dan cendekiawan untuk menulis buku dan mengunggah inspirasi untuk dibagi-rasakan melalui mass media maya, elektronik dan cetak, meskipun saat pandemi covid19.

Dengan demikian dari program ini akan memberikan sumbangsih yang manfaatnya dapat dinikmati oleh banyak pihak. Manfaat ekonomi jelas dengan seketika dapat dilacak setelah program ini berjalan. Sedangkan manfaat lain yang tidak dapat dikerto-aji (intangible benefit) juga akan diperoleh oleh banyak pihak yang haus terhadap ilmu dan kearifan.

Orientasi pemanfaatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengedepankan aspek ramah lingkungan (ecologically friendly) serta kearifan lokal dan global (local & global wisdom) dalam memenuhi hajat dan hasrat hidup masyarakat di kepulauan kecil akan dirancang secara cermat. Pada eldery program ini disarankan agar kemandirian pangan dan energi dapat ditumbuhkan di masing-masing kawasan (pulau).

Dengan demikian para penghuni tidak harus tergantung pasokan pangan dan energi dari luar kawasan. Budidaya rumput laut yang dipanen setiap 35 hari, budidaya jamur dapat dikembangkan sebagai penyedia pangan nabati, sedangkan penggunaan keramba di laut juga layak dikembangkan untuk penyediaan protein hewani.

Letak Kabupaten Bintan yang sangat berdekatan dengan Singapore menjadi daya tarik tersendiri untuk dikunjungi dalam waktu pendek maupun untuk tinggal hingga 6-12 bulan. Dalam program ini juga dapat diselaraskan dengan bioindustri pangan yang berbasis aneka ubi pada lahan reklamasi bekas tambang maupun kebun masyarakat.

Persoalan energi terkait listrik dapat mempertimbangkan tawaran dari Kelompok Ashra Consultant & Investment, yang dalam hal ini berminat untuk berinvestasi pembangunan Wind Turbine. Hal ini didasarkan atas kecepatan angin rata-rata di Bintan mencapai 7 m/detik.

Kekurangan energi khususnya listrik perlu dipikirkan agar memanfaatkan selain angin, juga energi terbarukan (renewable energy) lain seperti biomasa limbah pertanian maupun peternakan. Dengan demikian pengembangan dan pembangunan yang berkelanjutan menjadi prinsip yang mendasari kinerja Bintan.

Agar semua ide positif tersebut tidak hanya wacana dan retorika rencana, maka dalam menuju Bintan sebagai kawasan perdagangan (Trade Zone) perlu segera mengawali untuk menggali berbagai potensi sumber daya alam khususnya dengan pertanian dalam arti luas guna menggantikan usaha pertambangan yang cenderung merusak dan tidak ramah lingkungan.

Oleh karena itu, dalam menyikapi masalah tersebut di atas BALITKABI bekerja sama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bintan serta Badan Pengkajian & Penerapan Teknologi (BPPT) dapat mengajukan usulan kegiatan yang difokuskan pada pengembangan terpadu tanaman ubi kayu, porang dan gayong pada lahan bekas tambang dan lahan kering yang masih terlantar, agar kedua jenis lahan tersebut produktif.

Pengembangan akan menyangkut aspek mulai dari perbanyakan bibit, budidaya hingga panen serta pengelolaan pasca panen dan pengolahan menjadi produk antara maupun produk akhir siap saji. Mengingat usulan ini merupakan pekerjaan besar, maka PT. Bintan Inti Sukses sebagai pelaksana utama akan seiring dengan pelaksanaan program Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) Kabupaten Bintan seperti BAPPEDA, Dinas Pertanian, Pertambangan, lingkungan hidup dan Dinas lain yang terkait.

Dengan demikian semua langkah dan tahapan kegiatan selalu berkoordinasi agar sinkron dan tidak terjadi benturan serta duplikasi penganggaran yang menimbulkan inefisiensi dan pemborosan. Selain itu, dalam usulan kegiatan ini juga akan melibatkan fihak swasta yang terkait dalam pemasaran hasil, sehingga menjadi penjamin sustainabilitas dan suksesnya program ini.*

Artikel Terkait