Opini

Catatan Tengah Pemred Indonews Atas DR (HC) Doni Monardo

Oleh : Rikard Djegadut - Sabtu, 27/03/2021 11:53 WIB

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Dr. (HC.). Doni Monardo dan Pemimpin Redaksi Indonews.id, Drs. Asri Hadi, MA

Opini, INDONEWS.ID - Menyimak pidato Orasi Doktor HC DONI MONARDO di IPB, saya yang aktif di dunia pendidikan sebagai dosen dan jurnalis yang aktif sebagai Bendahara Asosiasi Media Digital Indonesia termasuk kagum dengan tentara yang satu ini. Doni Monardo memang urang awak yang berintegritas.

Saat Doni tak kuasa menahan air mata haru, menyampaikan komitmennya dan ucapan terima kasih diberi kepercayaan dan akan siap mempertanggung jawabkan atas gelar kehormatan Doktor HC ini. 

Kami yang menonton lewat Live: SUPER TV juga ikut senang, juga terharu adalah ketua Asosiasi Media Digital Indonesia (S.S Budi Raharjo) serta beberapa jurnalis lainnya.  Kami nonton bareng!

Doni  sudah lama kita kenal.  Ia tantara yang berdedikasi. Ada yang bilang ia pantas jadi Panglima TNI, stigma orangnnya JK, Orang SBY, eh sekarang disebut orangnya Jokowi. Sebelumnya disebut kesayangan ibu Megawati.

Yang jelas. Doni ya Doni Monardo. Sosok yang independent, berintegritas. Pasukan khusus yang mungkin hidupnya berada dalam tugas-tugas khusus.

Doni terbukti berhasil dalam menghentikan tambang illegal dan penegakan hukum lain di setiap ia ditugaskan. Program Citarum hanyalah salah satunya saja. Bahwa ia selalu terdepan mendukung lingkungan. Itu memang iya.

Jadi, memang layaklah Doni dianugerahi doktor Kehormatan di Bidang Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.

Pengalaman bertahun-tahun berlatih di hutan dan penugasan operasi militer di beberapa daerah membuatnya mengenali banyak jenis tanaman.

Dimulai dengan menanam pohon di Asrama Brigif Para Raider III/Tri Budi Sakti Kostrad yang tandus, di Kariango, Sulawesi Selatan, yang merupakan sumbangan dari alm. Andi Tendri Onigapa, pimpinan Panin Peduli Makassar.

Dilanjutkan dengan pembibitan Trembesi, serta menanamnya di banyak tempat di Sulawesi Selatan termasuk di Lapangan Karebosi dan Bandara Sultan Hasanuddin.

Berkomitmen untuk melanjutkan program ini dengan mencanangkan slogan yang terpampang di kebun Bibit Brigif Para Raider III/Tri Budi Sakti Kostrad Kariango pada tahun 2008 “Dari Kariango Ikut Hijaukan Indonesia”.

Setelah pindah ke Paspampres di Jakarta, komitmennya ia buktikan dengan membuat kebun bibit trembesi di Cikeas akhir November 2008, dan pada peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 2009, bibit trembesi dibagikan di Istana Merdeka.

Selanjutnya, tahun 2010 jenderal ini mengembangkan kebun bibit di Rancamaya. 100.000 bibit trembesi ditanam di wilayah Bogor, Cianjur dan Sukabumi, dan DKI Jakarta termasuk di sepanjang Kota Kudus, Jawa Tengah.

Kemudian 100.000 bibit Sengon dibagikan secara gratis kepada masyarakat termasuk warga terdampak erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Setahun kemudian, Doni mendirikan Paguyuban Budiasi di Sentul di lahan pinjaman milik alm. Ketut Masagung.  Budiasi kependekan dari Budidaya Trembesi, nama pemberian Bapak SBY, Presiden Republik Indonesia saat itu.

Paguyuban Budiasi telah memproduksi lebih dari 20 juta pohon, terdiri dari 150 jenis pohon termasuk tanaman langka, yang dibagikan ke berbagai daerah termasuk Timor Leste.

Beberapa pejabat tinggi negara dan kepala daerah sempat berkunjung ke kebun bibit Budiasi, termasuk Bapak Jokowi, saat menjabat Gubernur DKI Jakarta pada Januari 2014.

Tahun 2017, ketika Presiden Jokowi berkunjung ke Maluku, Beliau sempat menyinggung soal kebun bibit itu.

Doni menggaris bawahi mengapa tertarik dengan trembesi. Ketika bertugas di Paspampres mulai tahun 2001 dari era kepemimpinan Presiden Gus Dur, Ibu Megawati, hingga Bapak SBY.

Tentara ini banyak berkunjung ke berbagai daerah. Ia amati, di sekitar bangunan pemerintah peninggalan Belanda, setidaknya ada tiga jenis pohon yaitu: Trembesi, Asam, dan Beringin.

Diperkuat dengan hasil penelitian Dr. Endes N. Dahlan, Dosen Fakultas Kehutanan IPB, yang mengatakan bahwa pohon Trembesi adalah penyerap polutan terbaik. Satu pohon Trembesi yang lebar kanopinya telah mencapai 15 m, mampu menyerap polutan atau gas CO2 sebanyak 28,5 ton per tahun.

Pohon ini termasuk jenis tanaman “die hard”. Dapat tumbuh di tempat yang tandus dan di tempat yang lembab atau basah, di daerah tropis yang tumbuh hingga ketinggian 600 meter di atas permukaan laut. Oleh sebab itu sangat cocok untuk penghijauan kota.

Selain Trembesi, Doni juga membudidayakan pohon endemik langka Indonesia lainnya seperti Ulin, Eboni, Torem, Palaka, Rao, Cendana, dan Pule yang sudah sulit ditemukan. 

Pohon Palaka juga menginspirasi saat Doni di Maluku. Usia pohonnya diperkirakan 400 tahun, dengan keliling banir sekitar 30 rentang tangan orang dewasa, dan ketinggiannya mencapai 40 meter.

Ada pohon pule di Markas Lantamal Ambon. Diameter batangnya lebih dari 3 meter. Dengan ketinggian sekitar 30 meter. Pohon ini mungkin menjadi salah satu saksi sejarah kejadian gempa dan tsunami yang melanda Ambon pada tahun 1674 sesuai dengan tulisan Rumphius.

Di penugasan Kepala BNPB, Doni me-mitigasi daerah longsor dengan kemiringan lereng diatas 30 derajat, bisa menanam beberapa jenis pohon berakar kuat seperti Sukun, Aren, Alpukat, dan Kopi.

Untuk lahan rawan longsor dengan kemiringan yang lebih curam, bisa ditanam. Vetiver atau akar wangi. Untuk menghindari kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan, bisa menanam pohon Laban, Sagu, dan Aren.

Untuk mereduksi dampak tsunami, bisa menanam pohon Palaka, Beringin, Butun, Nyamplung, Bakau, Waru, Jabon, Ketapang dan Cemara Udang yang memiliki akar kuat.

Artinya, ada banyak jenis vegetasi di tanah air, bila dimanfaatkan secara maksimal, dapat mengurangi risiko timbulnya korban jiwa ketika terjadi bencana.

Mitigasi berbasis ekosistem harus menjadi strategi utama kita dalam menghadapi potensi bencana, mengingat Bank Dunia menyebutkan bahwa Indonesia adalah salah satu dari 35 negara dengan tingkat risiko ancaman bencana tertinggi di dunia. 

Doni juga konsen dengan ikan dan biota laut di Teluk Kayaeli, Pulau Buru. Hasilnya, pada beberapa sampel ditemukan kadar merkuri dan sianida yang melebihi ambang batas.

Ia meminta dilakukan pemeriksaan darah terhadap warga di sekitar Gunung Botak dan di lokasi pengolahan tambang Merkuri di Negeri Iha dan Negeri Luhu, Seram bagian barat. Hasilnya, sebagian besar penduduk yang diambil darahnya juga memiliki kadar merkuri melebihi ambang batas.

Di sekitar Gunung Botak, sejumlah ternak mati, seperti kambing, kerbau, sapi, bahkan hewan peliharaan seperti anjing. Termasuk laporan ditemukannya buaya mati di sungai dan pantai.

Doni sangat konsen dengan limbah merkuri bermuara ke laut. Ikan dan biota laut lainnya akan tercemar dan tentunya mengakibatkan mereka yang mengkonsumsi akan terganggu kesehatannya dalam jangka panjang. 

Ada catatan di Minamata Convention on Mercury. Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut menandatangani Konvensi Minamata pada 10 Oktober 2013 di Jepang bersama 128 negara lainnya.

Doni  satu-satunya perwira militer aktif, dan memberikan masukan dengan menyampaikan hasil penelitian yang kami lakukan dan dampak penggunaan merkuri di masyarakat.

Akhirnya pada tanggal 13 September 2017, Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Minamata melalui UU No. 11 tahun 2017 Tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury.

Dilantik sebagai Pangdam III/Siliwangi, tanggal 16 November 2017.

Doni menerima banyak laporan tentang Citarum, sebagai sungai terkotor di dunia. Atas persoalan yang ada di depan mata, yaitu Citarum sebagai sungai terkotor di dunia. Sebagai pimpinan Maung Siliwangi, ia menyemangati anak buahnya untuk tidak berubah menjadi Meong Siliwangi.

Inilah yang membuat prajurit terbakar dan mendidih darahnya untuk bisa memberikan darma bakti terbaik dalam rangka membantu masyarakat di Jawa Barat.

Kodam III Siliwangi bersama dengan tim Kemenko Marvest dan Pemprov Jabar, serta Polda Jabar di bawah bimbingan Menko Marvest, Bapak Luhut Binsar Pandjaitan berkumpul menghimpun masukan-masukan dari segenap komponen masyarakat, tokoh agama, budayawan, relawan, pegiat lingkungan, bahkan media. Doni tak libur. Setiap hari kami memikirkan strategi menuntaskan masalah kerusakan ekosistem Citarum.

Nama Citarum Harum dan strategi penanganannya diusulkan kepada Gubernur Jabar Bapak Ahmad Heriawan dalam perjalanan dari pendopo gubernur menuju Waduk Jatigede pada tanggal 28 November 2017.

Ia juga melaporkan kepada Presiden Jokowi tentang Citarum pada tanggal 4 Desember 2017. Presiden bertanya, “Apa yang dibutuhkan?” Doni menjawab perlunya payung hukum agar TNI bisa tetap ikut membantu memulihkan Citarum.

Akhirnya konsep regulasi yang dimotori oleh Dr. Dini Dewi yang didukung penuh oleh tim hukum Sekretariat Negara terbit melalui Perpres No 15 Tahun 2018, tanggal 15 Maret 2018.

Kurang dari sebulan setelah Presiden Jokowi mendeklarasikan program Citarum Harum pada tanggal 22 Februari 2018 di Situ Cisanti, salah satu mata air purba di Jabar.

Proses penuntasan Citarum diawali dengan pemeriksaan sampel air yang dipimpin oleh Kakesdam III Siliwangi, Kolonel dr. Is Priyadi, yang hasilnya air Citarum mengandung logam berat seperti Timbal, Cadmium, serta bakteri Salmonella, Ecoli, dan Pseudomonas Areogonosa. Sayang, dr. Is Priyadi telah wafat tahun lalu, meninggalkan jasa abadi bagi pemulihan Sungai Citarum.

Doni menugaskan 20 orang Kolonel, untuk mendata permasalahan dari hulu hingga hilir Citarum, sekaligus meminta masukan dari masyarakat bagaimana solusinya. Doni terinspirasi oleh Lao Tse.

 Seorang filsuf Cina yang hidup semasa era Sun Tzu 500 tahun sebelum Masehi. Salah satu kutipan yang diingat Doni hingga kini:

"Temuilah rakyatmu. Hiduplah dan tinggalah bersama mereka. Berkaryalah dengan mereka. Mulailah dari apa yang mereka miliki. Sampai akhirnya mereka akan berkata `kami telah mengerjakannya’ "

Selaras dengan ciri prajurit Siliwangi yang dekat dengan rakyat. Ada istilah Pastur, atau Tepas Batur. Istilah ini menjadi modal Doni untuk menyampaikan kepada prajurit, kalau kita mau benahi Citarum.

Maka yang pertama dilakukan Doni adalah mendekati masyarakat, untuk mengubah perilaku. Sehingga para prajurit menginap dan tinggal di rumah-rumah penduduk. Kembalikan budaya luhur urang Sunda yang peduli sumber air, sehingga nama sungai diberi awalan Ci, yang berarti air.

Termasuk penghargaan terhadap pohon – pohon besar dengan memberi awalan nama Ki. Seperti Ki Hujan, Ki Gelia, Ki Sereh, Ki Mani’I, dan Ki Tambleg (Baobab).  Air sumber kehidupan, sungai adalah peradaban bangsa. Bagaimana kita bisa dianggap sebagai bangsa yang beradab, ketika mata air kita musnahkan dan sungai kita cemari.

Doni berhasil mendapat kunjungan dan dukungan dari mantan menteri lingkungan hidup dan kehutanan, bapak Sarwono Kusumaatmadja dan Ibu Erna Witoelar, dan juga tokoh nasional bapak Koentoro Mangkusuboroto yang pernah ditugaskan untuk pemulihan Citarum oleh ITB.

Ia menjumpai Menristek Dikti, Bapak Muhammad Nasir untuk memberikan masukan tentang pentingnya perguruan tinggi di Jabar melakukan KKN di DAS Citarum, sehingga Menristekdikti mencanangkan program KKN tematik di Citarum.

 Doni Juga Mendapat Honoris Causa di STPDN. Bahkan, Doni berkesempatan bertemu dengan Ibu Megawati, Presiden RI yang ke lima, sebelum Beliau menerima penghargaan Doktor Honoris Causa di STPDN.

Doni melaporkan tentang pemulihan Citarum. Sungai Citarum yang berasal dari nama pohon Tarum, akan tetapi pohon Tarum sudah tidak ada lagi di sepanjang Sungai Citarum. Sampai akhirnya, Paguyuban Budiasi menemukan pembibitan Pohon Tarum di Banyumas.

Ibu Megawati mendukung tentang pentingnya pendekatan budaya dalam menyelesaikan masalah lingkungan. Berkat kolaborasi para pihak inilah, kualitas air Citarum terus membaik. Doni pun berhasil mengedepankan prinsip Ecocracy (Kedaulatan Lingkungan).

Kami segenap Pimpinan Media Digital Indonesia (yakni para owner media digital) dan Asosiasi Media Digital, mengucap sekali lagi selamat. Kiranya akan banyak Doni lain di seluruh Indonesia, yang terus bekerja yang yang terbaik untuk bangsa ini.*

Artikel Terkait