Opini

Tanjung Bendera, Kuasa Esklusi dan Perburuan Keuntungan

Oleh : indonews - Sabtu, 20/11/2021 08:45 WIB

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta, Astra Tandang.(Foto:Dok.Pribadi)

Oleh: Astra Tandang

Jakarta, INDONEWS.ID - Membaca kenyataan pembangunan di Kabupaten Manggarai Timur (Matim), NTT saat ini, tidaklah begitu menggembirakan. Hampir setiap hari kita mendapati keluh kesah warga Matim di berbagai platform media sosial. Misalnya keluhan soal kondisi infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, irigasi, air minum bersih, akses listrik, fasilitas kesehatan dan pendidikan yang banyak belum terurus dengan baik. Ditambah angka pendapatan per kapita yang relatif masih lemah. Tidaklah mengherankan jika predikat kemiskinan ekstrim itu diterima Kabupaten Matim dengan jumlah penduduk miskin ekstrem sebanyak 44.630 jiwa.

Ditengah keadaan demikian, kita juga tidak bisa menghindari fakta bahwa konflik perebutan atas tanah, khusunya tanah ulayat di Matim terus berlangsung massif. Lebih ironisnya, Pemda Matim menjadi aktor utama dalam konflik perebutan tanah masyarakat pemilik ulayat. Misalnya, yang terjadi di Tanjung Bendera. Tanah seluas 100 hektare milik suku Motu dan beberapa suku lainnya menjadi korban untuk rencana pembangunan bandar udara di Matim.

Perebutan atas tanah ulayat ini berlangsung bukan tanpa protes bahkan memicu konflik hortizontal dan vertikal di kemudian hari jika tidak dikeola dengan pendekatan yang benar. Karena memang rencana pembangunan bandara ini, bukanlah proses yang acak, namun distrukturasi oleh relasi kekuasaan yang timpang yang menyebabkan ada pihak yang harus tereksklusi, sementara pihak lain punya kontrol penuh atas tanah. Lebih dari itu, problem yang terjadi adalah gambaran nyata dari asimetris infromasi yang menyebabkan imbalance power.

Tanjung Bendera dan Kuasa Esklusi

Mengikuti penjelasan Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Li (2011), dalam buku Powers of Exclusion: Land dilemmas in Southeast Asia, kuasa ekslusi itu beroperasi melalui empat mekanisme.

Pertama, mekanisme regulasi, terutama berhubungan dengan aneka keputusan dan peraturan yang sah dari negara. Dalam kasus Tanjung Bendera, hal ini terlihat dalam Perda No.6 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah yang mencatut tanah Tanjung Bendera sebagai kawasan rencana pengembangan bandara baru. Kemudian diiukuti rangkaian keputusan lain, seperti melakukan sosialisasi AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) tahun 2014, hingga keputusan DPRD Kabupaten Matim No: 9/DPRD/Tahun 2021 yang meminta Pemda Matim untuk segera melakukan pengamanan tanah Tanjung Bendera untuk kemudian disertifikasi.

Tampak jelas terlihat bahwa kuasa regulasi itu juga beroperasi lewat aktor ngara yang membuat dan menegakan aturan. Lembaga-lembaga negara, baik di eksekutif dan legislatif bekerja memastikan kontrol pemerintah sepenuhnya atas tanah tersebut. Mereka berdalih lewat janji kesejahteraan dan jargon “the will to Improve”, atau kehendak untuk memberdayakan. Misalnya, kehadiran bandara akan meningkatkan perekonomian warga sekitar, membuka lapangan kerja dan berbagai mitos kesejahteraan lainnya.

Kedua, mekanisme koersif dengan kekerasan. Pemda melalaui aparat kemanan seperti polisi, tantara, pamong praja maupun pelaku-pelaku non pemerintah seperti preman, para mafia tanah, kerap melakukan intimidasi, persekusi dan kriminalisasi terhadap beberapa warga suku Motu yang berani menggugat keputusan Pemda.
Cara seperti ini sesugguhnya menunjukan kegagalan dan krisis kapasitas Pemda dalam menempuh pendekatan-pendekatan yang harmonis, humanis, dialogis dan dipolomatis dalam mengelola pembangunan.

Ketiga, mekanisme pasar. Rencana pembangunan bandara tidak lebih sebagai hasrat untuk melayani investasi. Tanpa memikirkan bahwa model-model ekonomi yang telah lama hidup dan tumbuh di atas basis material warga pemilik ulayat selama ini adalah peternakan dan petanian.

Karenanya penting untuk digugat dan dijelaskan secara terbuka ke publik. Apakah pembangunan bandara tidak berakhir dengan marginaslisasi penduduk setempat dan menjadi orang asing ditanahnya sendiri nantinya.
Keempat, mekanisme legitimasi. Mekanisme ini erat berakaitan dengan aneka bentuk justifikasi moral, seperti klaim hak turun-temurun dan rasionalitas ekonomi. Hal ini terlihat jelas, ketika Pemda Matim secara gegabah membangun basis legitimasi pembuatan kesepakatan dengan menjadikan beberapa orang dari suku Motu secara tiba-tiba menjadi tokoh adat atau kepala suku. Semestinya, penelusuran sejarah secara serius itu harus dilakukan. Hal ini penting agar menghindari apa yang disebut Derek Hall, dkk sebagai intimate exclusion, yaitu untuk menghindari pertikaian horizontal antar warga karena perebutan legitimasi atas tanah adat Tanjung Bendera.

Perburuan Keuntungan

Tanjung Bandera telah menjadi arena kontestasi kepentingan ekonomi-politik yang melibatkan kekuasaan dan pemilik modal. Akibatnya, warga pemilik ulayat semakin kehilangan daya tawar. Membaca kenyataan ini, tidak begitu sulit. Prahara semacam ini, oleh Joseph Eugene Stiglitz, A Michael Spance dan George A Kerlof disebut sebagai akibat dari asimetris informasi. Bahwa ada informasi yang tidak sejajar yang diterima pelaku pasar, akibat pasar didominasi oleh persaingan yang tidak sempurna.

Dalam konteks ini, ada segelintir orang kuat lokal dan nasional, baik yang berada di kekusaan atau pun diluar, menempati posisi puncak dalam rantai informasi yang ada. Mereka memproduksi kesepakatan untuk membangun bandara dan hasil akhirnya adalah sosialisasi yang harus diterima oleh masyarakat pemilik ulayat. Tidaklah mengherankan, sekarang hanya tersisa protes yang tersok-seok dan berbagai mimpi buruk untuk hari esok. Karena memang warga pemilik ulayat tidak pernah tahu proses awal saat mengabil keputusan pembagunan bandra.
Pola relasi informasi yang timpang ini, sesungguhnya hanya menggambarkan sedang belangsungnya praktik-praktik rent seeking (perburuan rente/keuntungan) yang beroperasi melalui lobby, negosiasi, korupsi dan pemufakatan busuk penguasa, pengusaha dan para mafia tanah.

Kombinasi kuasa pasar bebas tanpa batas (neoliberalisme) dan pola-pola relasi kekuasaan yang predatoris ini, hanya membuat Manggarai Timur terus teresklusi dan terimposisi dari perkembangan-perkembangan nasional dan global.
Untuk Manggarai Timur, mengelola dilema yang ada, kita membutuhkan leadership style yang berani, mampu memproduksi kebijakan yang pro masyarakat adat, dan berkomitmen penuh terhadap kemanusiaan. Bukan orang yang pragmatis dan tidak dialogis dalam mengelola pembangunan. Harus menjadi kesadaran utama para pengambil kebijakan, bahwa rakyatlah yang membentuk pemerintahan melalui Pilkada, memahami dan memuliakan kehidupan mereka adalah tujuan dari beroperasinya pemerintahan.

*Penulis adalah Putra Suku Motu Pumbu Waenggiring/Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta.

Artikel Terkait