Opini

Apakah Mungkin Langit Biru Tanpa Garuda

Oleh : luska - Kamis, 02/12/2021 14:30 WIB

Penulis : Yona Mardiona (Pemerhati manajemen Penerbangan dan Pariwisata)

Ketika Moehammad Soeparno menjabat sebagai Direktur Utama Garuda Indonesia pada 1988 – 1992, diterapkan kewajiban bagi seluruh karyawan memakai pakaian formal business attire dan diwajibkan pula memasang papan nama didada sebelah kanan serta ID Card disebelah kiri, dan -ini yang paling khas- diwajibkan memasang pin bulat berdiameter 2 cm, berwarna biru khas Garuda dan tulisan “Saya Bangga Sebagai Anggota Keluarga Besar Garuda Indonesia” didada sebelah kiri tepat diatas jantung kita. Sedangkan bagi awak pesawat pin itu bertuliskan “We Are Proud to Welcome You Aboard” 

Latar belakang pemasangan pin itu, karena kurangnya antusias pegawai terhadap pekerjaannya, terkesan berjalan apa adanya, kurang solid serta kurang rasa kebanggaan terhadap perusahaan tempat mereka mencari nafkah. Padahal rasa bangga itu sangat diperlukan sebagai cermin loyalitas dan rasa syukur serta memberi pengaruh pada hasil yang baik, terutama dalam persaingan pelayanan kepada pelanggan. 

Pemasangan pin itu sejatinya adalah dalam rangka penerapan Budaya Perusahaan. Agar setiap individu di Garuda mempunyai kebanggaan akan pekerjaannya. Bahwa setiap individu di Garuda mempunyai peranan penting, tidak sektoral. Mengapa demikian? Karena di Garuda terdapat banyak unit kerja yang berbeda keahlian dan latar belakang pendidikannya. Bagaimana agar para pilot, awak kabin, teknisi pesawat, staf pelayanan darat (ground handling), staf pemasaran, penjualan, akuntansi dan kepegawaian dapat berinteraksi berkoordinasi dan berkomunikasi dengan baik. Itulah makanya kemudian diterapkan Corporate Solidarity. 

Budaya perusahaan ini terus digaungkan dan ditanamkan kepada seluruh karyawan, termasuk yang harus dihafal oleh setiap karyawan adalah “10 Citra Manusia Garuda”. Lagi-lagi ada yang unik disini butir 1 sampai 9 adalah sudah normatif menjadi hafalan semua Budaya Perusahaan dimanapun. Namun yang menarik di Garuda -dan jarang ada ditempat lain- adalah  Citra nomor 10, yaitu “Memiliki Daya Tahan.” 

Yang ingin saya garis bawahi bahwa pada periode itu, sejatinya Garuda Indonesia tidak punya masalah keuangan, karena dibawah kepemimpinan Wiweko Soepono kemudian RAJ Lumenta sebelumnya, tidak mewariskan hutang bahkan mereka mewariskan kekayaan yang melimpah, mulai dari kepemilikan pesawat modern yang menjadi andalan seluruh perusahaan penerbangan dunia ketika itu, seperti Boeing 747, DC-10, Airbus-300, kemudian beberapa Hotel Bintang 5 di Bali dan di Lombok serta tanah dan bangunan diberbagai daerah dihampir semua kota yang disinggahi Garuda Indonesia. Namun sekarang, pesawat-pesawat itu sudah dijual karena sudah out of date, peremajaan melalui pengadaan leasing. Sedangkan hotel-hotel serta tanah dan bangunan sebahagian besar sudah dijual. Termasuk tanah dan bangunan di jalan Merdeka Selatan yang kini menjadi kantor Kementerian BUMN itu sebelumnya milik Garuda Indonesia ditempati sebagai kantor pusatnya. Setelah tidak berkantor disitu, kemudian kantor pusat Garuda pindah ke lokasi Bandara Soekarno Hatta dengan cara sewa kepada Angkasa Pura II, hingga saat ini. 

Ketahuilah bahwa Garuda sejak berdiri tidak pernah monopoli, karena Garuda terbang pada jalur International harus bersaing dengan penerbangan asing dan semua pembiayaan dilakukan oleh Garuda sendiri tanpa penyertaan Pemerintah. Namun sejak krisis moneter 1998 hingga saat ini, Garuda sering terdengar kesulitan keuangan, dan berulangkali pula para Menteri Keuangan yang menjabat selalu menolak membantunya. Namun akhirnya dibantu juga. 

Mengapa Garuda harus selalu dibantu. Karena Garuda Indonesia adalah  Flag Carrier. Semua Flag Carrier dunia tidak ada yang terlepas dari campur tangan kebijakan pemerintah. Emirates, Singapore Airlines, British Airways dan banyak lagi selalu mendapat kekhususan dari pemerintahnya, mulai pembebasan biaya avtur, pembebasan pajak impor, pembebasan biaya Airport dan sebagainya. 

Garuda memang tidak mendapatkan perlakukan khusus sebagaimana airlines asing diatas. Namun patut dicatat bahwa pemerintah berulangkali sering memberikan suntikan dana, sebagai penyertaan modal atau sebagai dana talangan atau juga meminta BUMN lain seperti Pertamina untuk memberi keringanan pembayaran Avtur. 

Bisnis Penerbangan itu memiliki karakteristik : terbang tinggi, berteknologi tinggi, berkeahlian tinggi, berbiaya tinggi, persaingan tinggi, berisiko tinggi sangat dipengaruhi oleh demografi ekonomi, politik, pertahanan kemanan serta kesehatan dunia dan yang rendah hanya satu yaitu margin-nya. 

Persoalan pokok semua penerbangan dunia adalah hal tersebut diatas. Persoalan rendahnya margin akibat ketatnya persaingan pada rute International. Terutama rute jarak jauh antar benua yang harus dilayani pesawat berbadan besar, agar menjadi direct flight alias nonstop flight sesuai permintaan pasar. Namun risikonya adalah biaya tinggi disatu sisi dan seat optimalization disisi lain. Kuncinya adalah pada penerapan harga. Karena itu semua penerbangan menerapkan Revenue Management System (RMS). Penerbangan yang menerapkan RMS akan memiliki banyak ragam harga, terutama pada kelas Ekonomi. Harga berjenjang dengan berbagai ketentuan. Semakin mahal harga semakin fleksibel, semakin murah semakin banyak restriksinya. Tujuannya agar dua kepentingan terpenuhi. Kepentingan penumpang disatu sisi ada yang membutuhkan fleksibilitas ada pula yang membutuhkan harga murah sekalipun banyak restriksi. Kepentingan penerbangan adalah pesawat terisi penuh dan terpenting melewati garis break event point. 

Misi Penyelamatan Garuda Indonesia 

Krisis moneter 1998 berdampak serius pada bisnis penerbangan. Kenaikan kurs US dollar yang naik tajam dari 2.500 rupiah menjadi 16.000 rupiah berpengaruh sangat besar, karena biaya produksi penerbangan, seperti sewa pesawat, pemeliharaan pesawat, bahan bakar semuanya dibayarkan dalam US Dollar. Sementara penjualan sebagian besar dilakukan dalam mata uang rupiah. 

Langkah strategis yang diambil Pemerintah untuk menyelamatkan Garuda Indonesia pada masa itu dianggap sangat berani dan out of the box dengan menempatkan seorang Banker yang tidak berlatar belakang airlines business untuk menduduki tampuk pimpinan Garuda Indonesia. Yaitu Robby Djohan. Yang menunjuk Robby duduk di kursi panas Dirut Garuda Indonesia ketika itu adalah Menteri Negara BUMN yang pertama, Tanri Abeng. 

Sebagian orang memang mengernyitkan dahi ketika Robby ditunjuk. Namun Robby dengan gayannya yang casual dapat membungkam kekhawatiran mereka. Robby membuat berbagai gebrakan dan membawa angin segar bagi karyawan, bagi industry maupun bagi komunitas pariwisata. Dia melakukan beberapa terobosan, diantaranya pengurangan pegawai dengan pola golden shake hand, restrukturisasi rute, restrurisasi armada, restrukturisasi organisasi menjadi lebih ramping dan restrukturisasi keuangan. Dalam proses rekstrukturisasi keuangan makin jelas, alasan Tanri Abeng menunjuk Robby, dia sangat piawai melakukan lobby dan negosiasi dengan para kreditor. Sebagian mereka bilang, bersedia melakukan restrukturisasi karena faktor Dirutnya. Dikatakan bahwa saat itu Personal Value Dirut Garuda lebih tinggi daripada Corporate Value Garuda Indonesia. 

Robby di Garuda, tidak lama, sangat singkat, hanya 6 bulan, yaitu sejak Juni hingga November 1998. Selanjutnya dia mendapat tugas mendirikan Bank Mandiri. Penggantinya di Garuda dilanjutkan oleh rekan Banker nya, yaitu Abdulgani. Abdulgani sebelumnya adalah Sekretaris Kementerian BUMN. Dengan penunjukan ini bahwa tugas utama Dirut Garuda Indonesia adalah melanjutnya program rekstrukturisasi. 

Waktu terus berjalan persoalan keuangan Garuda memang tidak pernah berhenti. Namun sempat surut dan mereda, yaitu ketika Garuda Indonesia berhasil listing di Bursa Saham pada Februari 2012. Bisa dikatakan proses Initiative Public Offering saat itu adalah puncak kejayaan Garuda, puncak kepercayaan masyarakat. Namun sayang harga saham sejak ditawarkan hingga sekarang fluktuatif naik turun dan turun terus, sayang memang. 

Secara teori hukum bisnis itu sederhana, yaitu mengeluarkan biaya sekecil mungkin dan menghasilkan pendapatan sebanyak mungkin sehingga ada selisih sebagai keuntungan. Namun dalam kenyataannya pengendalian biaya dan peningkatan pendapatan bukan hal yang mudah. Dunia penerbangan di zaman sekarang berada pada tingkat kompetisi yang tinggi. Beberapa perusahaan penerbangan baru di domestic maupun international menerapkan gaya baru dengan no frill service atau dikenal juga dengan low cost carrier (LCC) sebagai solusi pengendalian biaya. Untuk penerbangan jarak pendek LCC ini bisa efektif namun untuk jarak jauh, agak sulit. Sedangkan Garuda ada masuk kategori full service carrier. 

  

Membenahi Kembali 

Dalam bulan terakhir ini berita Garuda kembali menyeruak kemuka publik. Yang paling keras adalah bahwa Garuda akan ditutup karena terlilit hutang yang tidak sedikit. Timbulnya hutang itupun beragam pendapat, selain akibat pandemi covid 19, juga disebabkan hutang-hutang dimasa lalu yang belum terselesaikan, ditambah lagi berita yang di sampaikan mantan Komisaris Garuda, Peter F Gontha yang mengatakan bahwa harga sewa pesawat Garuda diatas rata-rata harga pasar, terjadi penggelembungan harga alias mark up. Nah lho kerjaan siapa tuh? Pemerintah, melalui BPKP atau bahkan KPK harus terjun melakukan penyelidikan yang mendalam, agar borok ini segera ditemukan dan diobati, agar tidak menjadi racun di Garuda. 

Bahwa pada Neraca Keuangan Garuda bulan September 2021 mengalami defisit USD 2,8 miliar. Posisi utang mencapai USD 9,8 miliar, sebagian besar utang kepada lessor untuk tunggakan pembayaran sewa pesawat senilai USD 6,3 Miliar. Kondisi ini dinyatakan lebih parah daripada Jiwasraya! 

Dalam kondisi seperti ini apakah Garuda bisa diselamatkan? Jawabannya adalah bisa. Karena bagaimanapun Indonesia harus punya flag carrier dan tak satupun penerbangan lain bisa menggantikan posisi Garuda. Kemudian dari segi keuangan. Pilihan bangkrut atau ditutup akan lebih merugikan baik bagi kreditor, vendor, lessor maupun ekosistem Garuda. 

Langkah penyelamatan pertama yang dilakukan Garuda – dan semoga ini sudah ditempuh - adalah melakukan negosiasi ulang dengan para lessor pesawat. Karena Garuda harus mengurangi rute penerbangan yang harus ditutup karena rugi, seperti rute ke Eropa dan konsekwensinya adalah mengurangi armada pesawat. Termasuk pesawat yang tidak layak komersial seperti Bombardier CRJ1000. 

Walaupun pemerintah menyatakan bahwa Garuda fokus pada penerbangan Domestik. Tidak berarti Garuda tidak lagi terbang pada jalur luar negeri, karena masih banyak rute International yang masih potensial dan menguntungkan, seperti rute ke Jeddah, Saudi Arabia untuk mengangkut Jamaah Umrah. Rute ke Tokyo, Jepang juga banyak peminatnya baik penumpang maupun kargo. Rute ke Australia, rute ke Singapore dan rute ke China. Pesawat yang digunakan Boeing-777, Airbus-A300 maupun Boeing-737-300NG, dihitung kebutuhannya tentua akan banyak mengurangi jumlah armada. 

Untuk rute Domestik, sebaiknya hanya menggunakan jenis pesawat Boeing-737 sedangkan penggunaan pesawat wide body disesuaikan dengan permintaan pasar saat peak season. Karena itu idealnya jenis pesawat Bombardier CRJ1000 dikembalikan kepada lessor dan ATR diserahkan kepada Citilink. Dan kemudia Garuda hanya punya pesawat dari 2 pabrikan saja, yaitu Boeing dan Airbus. 

Konsekwensi pengurangan rute dan armada adalah kemudian pengurangan jumlah crew. Baik crew udara mauun crew darat. Dalam menangani ini Direksi harus berani untuk melakukan pengurangan sesuai kebutuhan. Karena percuma saja armadanya berkurang kalau crew nya tidak berkurang. 

Selanjutnya adalah program efisiensi disegala bidang. Mulai dari perampingan organisasi. Jumlah Direksi dikurangi, diantarnya dengan menggabungkan Direktorat Teknik dan Direktorat Operasi menjadi Direktorat Produksi. Kemudian jumlah pejabat lain pada level VP dan GM dapat dikurangi. Penghematan lainnya pada inflight catering, inflight entertainment dan banyak lagi. 

Disamping melakukan restrukturisasi diatas, hal yang urgent dilakukan pemerintah adalah membongkar sinyalemen korupsi di tubuh BUMN ini. Pemerintah melalui bantuan BPKP dan KPK dapat melakukan penyelidikan mendalam, menelisik hingga menjadi jelas bagi masyarakat siapa biang keroknya, agar borok ini segera ditemukan dan diobati, supaya tidak menjadi racun di Garuda. 

Jakarta, 2 Desember 2021 

 

 

TAGS : Yona mardiona

Artikel Terkait