Opini

Skandal Selingkuh Pak Menteri AH, Pejabat Kok Takut dengan "Tetangga"?

Oleh : indonews - Rabu, 29/12/2021 21:26 WIB

Aktivis Pergerakan, Yos Nggarang.(Foto:Dok.Pribadi)

Oleh: Aktivis Pergerakan, Yos Nggarang

Jakarta, INDONEWS.ID - Di penghujung tahun 2021 ini kita dikejutkan oleh cerita Rifa Handayani dan suaminya yang melaporkan seorang Menteri di Kabinet Presiden Jakowi yang juga seorang Ketua Umum Partai Politik berinisial AH. Rifa Handayani melaporkan AH ke Polda Metro Jaya karena diduga Rifa mendapat ancaman dibunuh oleh “tetangga”AH,sebagaimana keterangan Rifa dalam video wawancara  dengan  wartawan senior Hersubeno Arief.

Publik pun bertanya,bagaimana awal mula sampai  terjadi ancaman “membunuh” dan hubungan seperti apa antara Rifa dengan AH? Siapa ‘tetangga” yang dimaksud AH yang berani mengancam membunuh Rifa? Dan apakah “tetangga” itu hanya sebuah istilah yang digunkan oleh AH? Lalu,kok bisa AH sebagai pejabat publik,ketua umum partai Golkar handpone nya digunakan oleh “tetangga”,bagaimana kita mekmanainya? 

Pertanyaan-pertanyaan diatas–sebagaian kita bisa temukan jawaban dalam keterangan wawancara versi Rifa Handayani. Bahwa Rifa pernah menjalani hubungan asmara/perselingkuh dengan seorang Menteri Kabinet Jokowi yang berinisial AH tahun 2012 silam. Soal siapa “tetangga” itu,diduga kuat tak lain adalah istri AH. Lantas,mengapa hubungan suami istri di istilahkan “tetangga”oleh AH? Sebagai pejabat tinggi mestinya harus lebih gantleman/berani terbuka agar menjadi teladan bagi publik. 

Terkait handphone nya digunakan oleh “tetangga”? Singkatnya,ini menjelaskan bahwa pejabat publik tersebut tidak punya privacy sama sekali,tentu ini sangat memalukan. Dengan demikian publik menilai; masa barang seperti handphone saja tidak bisa kendalikan, bagaimana mengurus,mengendalikan partai dan negara?

Kepantasan,Teladan dan Moralitas Pejabat

Skandal asmara/perselingkuhan antara Rifa Handayani dengan AH ketua umum Partai Golkar yang diduga kuat inisial AH itu adalah Airlangga Hartanto.Dugaan ini karena ada tuntutan dari kader senior Golkar Erwin Riakrdo Silalahi meminta sang ketua dia harus mundur,sebagaimana pemberitaan media online Law-Justice (Jumat 24/12/2021). Yang menjadi ramai dibicarakan publik atas skandal ini adalah soal kepantasan dia sebagai pejabat tinggi,ketua umum partai Golkar yang publik nilai sebagai partai modern, karena itu mestinya harus memberi keteladanan. Bila tidak memberi keteladanan,maka otoritas moral dia sebagai pejabat publik,pemimpin partai akan hilang. Konsekwensinya seluruh kebijakan ataupun keputusan politik yang dia ambil tidak kredibel, karena legitimasi moral politik sudah hilang.

Dampak ke partai jika pemimpin partai seperti ini terus dipertahankan, suara pemilih perempuan akan hilang, sebab perempuan paling tidak suka dengan laki-laki yang tidak bertanggung jawab dan sebagian yang konservatif tidak suka perselingkuhan. Tentu ini mereduksi citra partai Golkar sebagai partai moderen di negeri ini dan sangat berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan publik dalam pemilu 2024 nanti.

Publik sebelumnya (medio Febuari 2021) menyimpan jejak digital pernyataan ketua Dewan Pakar Partai Golkar  Agung Laksono terkait wakil ketua DPRD Sulut yang merupakan kader Golkar selingkuh.Hendaknya Agung dan para pengurus DPP meliahat kasus Sulut menjadi sebuah preseden,  tidak membedakan apalagi mengabaikan skandal perselingkuhan  yang berkaitan dengan AH. Disini,lagi-lagi diuji dan harus ditunjukkan bahwa standar Moralitas untuk menjadi standar partai lain yang di “agungkan” oleh sang dewan pakar Agung Laksono berlaku untuk semuanya, tidak hanya untuk  segelintir kader saja. Contoh kongkrit,bagaimana Standar Moral menjadi pegangan dasar untuk seorang politisi  atau pejabat: DPP PDIP memecat kader yang merupakan anggota DPRD Kabupaten Lembata karena kedapatan selingkuh dengan istri orang (Kompas.com 27 Desember 2021). 

Peristiwa ini juga memberi pesan kepada kita soal bagaimana cara menangani,mengatasi dan mengelola masalah baik sebagai kepala rumah tangga,pemimpin partai politik dan pejabat tinggi. Disini harus bisa menunjukkan bagaimana respons terhadap masalah,mengambil tanggung jawab,gantleman/tidak kamu? Bila tidak,peristiwa tersebut mengingatkan saya pada nasehat Hanah Arendt, bahwa ketiadaan refleksi dan gagasan dalam politik adalah sebuah kejahatan. Karena partai politik tidak mungkinlah bisa membawa perubahan signifikan jika tidak mengandalkan keberadaan konstituen dan simpatisannya. Cita-cita sebuah partai politik haruslah bisa menjadi imajinasi kolektif dari konstiuen dan simpatisannya, bisa menjadi frame of reference atau bingkai dalam menginterpretasi realitas kebangsaan yang terus mengalir dan berkembang. Hal inilah yang akan membentuk identitas bersama diantara konstituen dan simpatisan partai politik.

Para Founding Fathers Indonesia sangat memahami relasi sosial antara pemimpin dan masyarakatnya sehingga dengan sangat bijaksana menempatkan hak masyarakat sangat tinggi dalam konstitusi kita yaitu ‘kedaulatan ada di tangan rakyat’. UUD 1945 Bab I Bentuk dan Kedaulatan, Pasal 1 (2) menyatakan, bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Dengan ketentuan itu dapat diartikan, bahwa pemilik kedaulatan dalam negara Indonesia adalah rakyat. Pelaksanaan kedaulatan ditentukan menurut Undang– Undang Dasar.
Pelaksana Kedaulatan negara Indonesia menurut UUD 1945 adalah rakyat dan semua lembaga negara termasuk Presiden dan partai Politik berfungsi menjalankan tugas-tugas kenegaraan sebagai representasi kedaulatan rakyat. Pasal 1 UU No.2 Tahun 2008 tentang partai politik, menyatakan bahwa yang disebut partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Oleh karenanya Ki Hajar Dewantara sangat sempurna membantu pemahaman kita tentang relasi pemimpin dengan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Dengan 3 kalimat syarat makna yaitu ing ngarso sun tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani. Salah satu nilai yang diharapkan muncul dari setiap pemimpin politik adalah keteladanan. Sebuah nilai universal yang sangat dirindukan oleh siapapun di dunia ini. Seorang pemimpin adalah panutan. Sebagai panutan, orang lain yang ada disekitarnya akan manut (bahasa jawa, yang artinya mengikuti, meniru).

Disini bisa dilihat betapa besarnya tanggungjawab moral seorang pemimpin, karena tindak-tanduknya, tingkah lakunya, cara berfikirnya, bahkan kebiasaannya akan cenderung diikuti orang lain. Untuk itulah maka saat berada di depan, pemimpin harus memberikan teladan, memberikan contoh. Inilah yang dimaksud Ki Hajar dengan “ing ngarso sun tulodho”, saat di depan seorang pemimpin harus memberi teladan. Bila para pemimpin memiliki sikap keteladanan, maka tatanan kehidupan di dalam pemerintahan akan lebih baik dan permasalahan yang mungkin timbul dapat ditekan sekecil mungkin. Maka jika pemimpin, tidak lagi memiliki contoh untuk ditiru karena perilaku moral yang tak pantas sudah sepantasnya disingkirkan agar perilakunya tidak menjadi contoh yang menyesatkan masyarakat. Pada titik ini baik Presiden Jakowi maupun para pengurus partai Golkar harus mengambil sikap yang tegas sebagai bentuk pertangggungjawabannya terhadap tatanan sosial dan kemajuan moral publik.

Kembali ke persoalan keteladanan, maka kisah menghebohkan di akhir tahun oleh Rifa Handayani dan suaminya dengan seorang Menteri di Kabinet Presiden Jakowi dan seorang Ketua Umum Partai Politik berinisial AH menarik untuk direfleksikan khusunya oleh Bapak Presiden Jokowi maupun oleh para pengurus partai Golkar pada semua tingkatan. Oleh karena itu sepanjang Ketua Umum partai Golkar (Airlangga Hartarto) tidak melakukan klarifikasi ke public atas isu moral yang menerpa dirinya maka publik berhak melakukan pembenaran sepihak atas informasi yang disampaikan oleh Rifa Handayani. Dengan demikian Presiden Jakowi sesungguhnya memiliki cukup alasan untuk memberhentikan Menteri AH sedekat apapun relasi pribadi antara Presiden dan AH.

Kepentingan negara dan keselamatan moral generasi muda menjadi hal yang jauh lebih penting diatas segalanya kepentingan lainnya. Karena baik Presiden Jakowi maupun seluruh kader partai Golkar tidak akan bersedia dan sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Hanah Arendt (ilmuwan dan politik Amerika kelahiran Jerman yang dikenal karena hal kritisnya tentang urusan Yahudi dan studinya tentang totalitarianisme), bahwa ketiadaan refleksi dan gagasan dalam politik adalah sebuah kejahatan. Reflkesi dalam urusan politik sangatlah penting agar kekeliruan tidak menjadi sebuah kesadaran yang terlambat untuk disesali. Peristiwa ini mengajarkan kepada kita tentang sikap kritis, reflektif dan selalu belajar dari sejarah.*

Artikel Terkait