Opini

Upaya Keberatan Pajak Pasca UUHPP

Oleh : luska - Kamis, 06/01/2022 17:19 WIB

Oleh :Dr. Wirawan B. Ilyas, Ak, SH., MSi., MH., CPA., BKP, Senior Partner TIMES LAW FIRM

Pengantar 
Dengan telah diundangkannya Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), maka otomatis berlaku sebagai Undang-undang. Terkait 
dengan kluster ketentuan umum dan tata cara perpajakan efektif berlaku sejak tanggal diundangkannya dan mengikat Wajib Pajak (WP) serta Otoritas Pajak dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dimata akademisi, pengamat dan praktisi pajak, UU HPP masih menyisakan berbagai hal yang penting, antara lain terkait upaya keberatan pada kluster KUP.

Sebelum membahasnya lebih lanjut penulis mengingatkan kembali makna pidato Prof. Isa Sindian, Guru Besar Ilmu Hukum Fiskal pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1965:21) yang mengatakan kita semua khususnya pembuat Undang-undang untuk berfikir filosofis dalam merumuskan norma pungutan pajak “Pemungutan pajak adalah suatu kekuasaan yang demikian 
besarnya yang berada ditangan negara, bahkan “hukumnya” dapat diciptakan oleh negara sendiri. Oleh karena itulah harus disertai dengan pengabdian kepada rakyat, kepada kesejahteraan umum, sehingga menjelma menjadi keadilan”.
Sindian telah mengingatkan bahwa pajak berjalan beriringan dengan kekuasaan. Bahkan pungutan pajak disamaratakan dengan kekuasaan yang 
tercermin dari norma yang mengaturnya. Jika itu yang terjadi, kekuasaan yang ada bukan merupakan kekuasaan untuk pengabdian melainkan kekuasaan tanpa pengabdian yang akan merupakan kebuasan. 

Untuk itu dalam kehidupan bernegara yang terkait dengan pajak harus diatur sebaik-baiknya dalam Undang-undang yang memenuhi rasa keadilan, 
kepastian dan kemanfaatan sesuai dengan amanat konstitusi Pasal 23A Undang-undang Dasar 1945. Penulis hanya fokus menyorot upaya keberatan yang diatur pada Pasal 25 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang terdapat sedikit perubahan norma hukum pada ayat 9 “Dalam hal 
keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari 
jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Tidak adanya perubahan
yang signifikan dari Undang-undang KUP yang lama, tampaknya oleh pembuat Undang-undang belum begitu mendesak. Padahal data empiris  menunjukkan bahwa menumpuknya sengketa pajak yang terjadi menurut amatan penulis justru karena tidak efektifnya lembaga keberatan yang ada 
selama ini.

Keseimbangan Hukum Upaya Keberatan Ketika pajak dibicarakan, hakikinya yang dibicarakan adalah negara beserta alat kelengkapannya. Ajaran Montesquieu (1689-1755) menjadi rujukan utama 
memahami alat kelengkapan negara supaya pengelolaan negara memberi keseimbangan hukum bagi masyarakat dalam bernegara, dengan mengingatkan adanya 3 cabang kekuasaan guna menjaga keseimbangan hukum dalam bernegara, yang dikenal dengan trias politica (legislatif, eksekutif dan yudikatif). 

Tiga cabang kekuasaan menjadi ‘bandul’ hukum menata keseimbangan hidup terjaga dengan baik.
Munculnya lembaga ‘keberatan’ dalam undang-undang pajak yang dianggap sebagai cerminan lembaga ‘yudikatif’, telah menuai kritik tajam menilai keberadaannya yang tidak tepat termasuk mekanisme penegakan hukumnya. 

Literatur pajak pun seakan memberi pembenaran dengan menyatakan keberatan merupakan peradilan doleansi (semu), padahal dari sisi filosofis keberadaannya sulit diterima akal sehat. 
Semakin sulit diterima akal sehat jika ditilik dari sisi keperdataan. Oleh karena bagaimana mungkin dua pihak sedang bersengketa, lalu putusannya dilakukan salah satu pihak dari dua pihak yang bersengketa dan bersifat mengikat.

Dari sisi filosofi hukum sulit dipahami akal sehat. Itu sebabnya, Montesquieu sudah mengingatkan penyelenggara negara supaya memaknai ajarannya. Paling tidak terdapat dua hal yang krusial dalam upaya keberatan, yaitu :
Pertama, Kedudukan Hukum. Ketika pajak dinyatakan kewajiban warga negara, tidak seorangpun dapat mengingkarinya. Tetapi, ketika ada norma hukum sebagaimana di atur dalam Pasal 25 ayat (1) KUP hal sengketa antara otoritas DJP 
dengan WP, lalu diputus oleh DJP sebagai salah satu dari pihak yang bersengketa, sangat nyata kedudukan hukum WP tidak sama dengan DJP. Bisa dikatakan kedudukan hukum WP berada dibawah kedudukan DJP. Padahal WP mempunyai peran strategis dalam pembangunan ekonomi nasional, termasuk penerimaan pajak.

Hampir 4 dasawarsa sejak UU KUP berlaku tahun 1984, lembaga keberatan tetap berada di bawah DJP, dengan alasan hukum (termasuk diskusi dalam seminar) yang tidak pernah jelas secara filosofis. Dengan kata lain, DJP yang berfungsi eksekutif (pelaksana UU) memiliki tugas rangkap dengan fungsi yudikatif (Hakim/Pengawas UU). Mengapa demikian?
Sejak pajak dinyatakan sebagai kewajiban memaksa, maknanya hanya terfokus pada makna yuridis belaka. Praktisi, akademisi dan masyarakat lainnya hanya berpijak pada norma UU semata. Padahal, hukum mengajarkan norma dapat diterima dan dipatuhi jika terkandung sisi filosofis dan sosiologis. Hal ini dapat kita baca lebih dalam pada berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang ada selama ini. Putusan MK No. 91/2020 yang baru keluar telah memberi pelajaran sangat berharga bagi kita semua bahwa pentingnya aspek sosiologis dan filosofis dalam merumuskan norma dalam Undang-undang.

Dalam hal norma Pasal 25 ayat (1) KUP menyatakan ‘Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak’, sangat nyata secara yuridis norma tersebut mengikat, akan tetapi norma dimaksud menjadi tidak sejalan (tidak mengakui) ajaran Montesquieu sebagaimana dijelaskan diatas. Artinya, rumusan norma Pasal 25 ayat (1) tidak mempedulikan sisi filosofis yang 
menjadi dasar berfikir hukum yang ditujukan guna terwujudnya keseimbangan hukum dalam penyelenggaraan hidup dalam bernegara sebagaimana diajarkan Montesquieu.
Kedudukan lembaga keberatan sebagai peradilan doleansi (semu), memberi makna pembenaran hukum yang terkesan dipaksakan sehingga sulit dipahami. 

Dalam konteks itu, penulis berpendapat terminologi ‘peradilan semu’ harus dihapus dalam kamus pajak. Kita patut mengadopsi ajaran Montesquieu sebagai 
cara berfikir filosofis yang benar menurut hukum. Begitulah seharusnya kita berhukum dalam negara hukum.Bagaimana mungkin memperoleh keadilan jika DJP (tanpa melihat kedudukan fiskus sebagai petugas keberatan berbeda posisi dengan petugas 
pemeriksa) sebagai pihak yang bersengketa diberi wewenang memutus sengketa, sehingga tidak terdapat keseimbangan hukum. DJP sebagai lembaga eksekutif bertugas melakukan pengawasan dengan jalan melakukan pemeriksaan. Jika diketahui ada sengketa pajak, penuntasan hukumnya mesti dijalankan pihak independen. Jika tidak, akal sehat kita bertanya, dimana keseimbangan hukumnya? 

Lembaga keberatan harus independen, agar dapat menilai dengan jernih dan objektif hasil pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh tim pemeriksa pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sesuai dengan roh reformasi birokrasi yang sering 
didengungkan oleh Menteri Keuangan selama ini.
Oleh karenanya sangat tidak adil dan tidak masuk akal jika keadilan dalam pajak hanya semata dimaknai keadilan legalis (iustitia legalis), dengan 
mengatakan ‘sudah diatur begitu dalam UU-nya’, akan tetapi mesti berfikir pada tataran keadilan hukum (legal justice), dengan tolok ukur penyelesaian sengketa oleh pihak/hakim independen (Dewa Gede Atmadja, 2019-44).

Kedua, Kebijakan (Rumusan) Hukum. Persoalan keberatan adalah persoalan kebijakan (rumusan) hukum ke arah mana isi hukum dibentuk dalam 
UU yang akan berlaku kedepan (ius constituendum) supaya berkeadilan dan berkepastian hukum. Boleh jadi, realisme keberadaan lembaga keberatan saat ini menimbulkan gejolak hukum dan berpengaruh pada kepatuhan WP dalam pemenuhan pajaknya
Posisi hukum ‘bagaimana seharusnya’ menjadi pemikiran bersama yang mesti dirumuskan ulang oleh pembentuk UU sambil mengingat ajaran Montesquie sebagai ajaran murni menciptakan keadilan dalam bernegara, khususnya berkaitan dengan pungutan pajak. Rumusan baru ini sangat diharapkan oleh publik, Wajib Pajak dalam UU HPP, tetapi kenyataannya UU HPP tidak mengakomodirnya.

Simpulan
Kedepan diharapkan peraturan turunan dari UU HPP dapat mengakomodir hal-hal yang hidup di masyarakat, Wajib Pajak, dunia usaha sehingga keberadaan lembaga keberatan benar-benar sebagai penelaah yang independen, sehingga 
penyelesaian sengketa pajak lebih cepat, efisien dan lebih berkeadilan sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri. Disamping itu lembaga keberatan dapat 
berfungsi mengevaluasi hasil kerja tim pemeriksa dibawahnya. Kinerja pemeriksa harus di uji, di evaluasi sebagai salah satu pertimbangan dalam penentuan tunjangan atau promosi secara profesional bahkan kinerja lembaga keberatan pun 
dapat dievaluasi melalui putusan di Pengadilan Pajak dan Mahkamah Agung. Jika hal tersebut dapat diwujudkan sungguh indahnya penerapan hukum (pajak), maka penumpukan perkara banding pada Pengadilan Pajak dapat berkurang dan begitu pula perkara Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung. Dengan demikian public trust, kepuasan Wajib Pajak atas pelayanan DJP dapat dirasakan,
sekaligus tingkat efisiensi bisnis di Indonesia menjadi membaik ditengah-tengah persaingan global yang amat tajam. Dengan demikian UU HPP benar-benar membawa perubahan yang berarti bagi kita semua dalam mewujudkan Indonesia 
maju. #Semoga#

Dr. Wirawan B Ilyas, Ak, SH, M.Si, M.H. CPA
Lulusan S1 Akuntansi FEUI, 1984. S2 Administrasi Pajak FEUI, 1998. Juga memiliki S1 Hukum, S2 Hukum UNPAD dan S3 Akuntansi dari UNPAD. 

Selain praktisi bidang perpajakan, hukum dan akuntansi juga Dosen Hukum Pajak dan Perpajakan di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta dan perguruan tinggi lainnya. Aktif menulis buku Perpajakan, Hukum Pajak dan Hukum Bisnis.

Artikel Terkait