Opini

Peran Strategis Hakim Agung Bidang Pajak Pasca UU HPP

Oleh : luska - Selasa, 07/06/2022 20:01 WIB

Oleh : Dr. Wirawan B. Ilyas, Ak, SH, MH, MSi, CPA., BKP. (Akuntan Publik, Praktisi Pajak, Advokat, Senior Partner TIMES LAW FIRM)


Pengantar 

    Fungsi pajak sebagai fungsi budgeter dapat dilihat pada postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dimana pada APBN tahun 2022 pendapatan pajak sebesar Rp 1.510 triliun dari total pendapatan negara Rp 1846.1 triliun atau sekitar 81.79%. Mengingat pentingnya peran pajak dalam APBN maka diperlukan upaya serius pihak fiskus dalam manajemen pemungutan pajak seperti yang dinyatakan oleh Jean Baptiste Colbert (1619-1683)  “The art of taxation is the art of plucking the goose so as to get the largest possible amount of feathers with the least possible squealling” (Seni menghimpun pajak seperti seni mencabut bulu angsa sebanyak-banyaknya dengan teriakan angsa sekecil-kecilnya). Makna filosofis yang disampaikan oleh Colbert amat dalam, terlebih lagi dalam situasi ekonomi saat ini sebagai imbas pandemi covid 19 yang panjang dan lingkungan ekonomi global yang penuh ketidakpastian dalam situasi geopolitik yang sangat dinamis.
    Disamping itu citra negatif dari oknum pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang terkait dengan berbagai kasus sejak dari kasus Gayus Tambunan hingga Angin Prayitno Aji memberi dampak turunnya kepercayaan masyarakat Wajib Pajak terhadap sistem pemungutan pajak yang ada. Ketidakseimbangan posisi wajib pajak dengan pemeriksa dan atau penelaah keberatan berpotensi mengakibatkan terjadinya berbagai ekses negatif tersebut yang tidak kita kehendaki bersama. 
Untuk itu kedepan harus segera diadakan perubahan berdasarkan konsep filosofis yang jelas, karena fungsi pajak merupakan fungsi yang sangat strategis dalam kelangsungan bangsa dan negara. 
Ketika pajak dibicarakan, yang dibicarakan adalah negara beserta alat kelengkapannya. Ajaran Montesquieu (1689-1755) tentu menjadi rujukan utama memahami alat kelengkapan negara supaya pengelolaan negara memberi keseimbangan hukum bagi masyarakat dalam hidup bernegara. 
Ajaran Montesquieu sudah mengingatkan adanya tiga cabang kekuasaan guna menjaga keseimbangan hukum dalam bernegara yang dikenal dengan trias politica (legislatif, eksekutif dan yudikatif). Tiga cabang kekuasaan menjadi ‘bandul’ hukum menata keseimbangan hidup tetap terjaga dengan baik.
Kesadaran itu sebenarnya sudah muncul ketika lembaga keberatan pajak yang diatur dalam UU pajak terus menuai polemik dalam praktek penegakan hukumnya. Sekalipun literatur memberi penjelasan lembaga keberatan merupakan peradilan doleansi (semu), dari sisi filosofis sulit diterima akal sehat dalam bernegara hukum. 

Kedudukan Hukum 
Ketika pajak dinyatakan sebagai kewajiban warga negara, tidak seorangpun dapat mengingkarinya. Tetapi, ketika ada norma (aturan) UU pajak tidak memperoleh persetujuan dari sebagian pihak, hukum memberi ruang bagi pihak yang tidak setuju melakukan langkah hukum mencari solusi lebih baik.
Hampir empat dasawarsa sejak berlakunya UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Nomor 6 tahun1983 (UUKUP), kedudukan lembaga keberatan tidak pernah berubah alias tetap berada di bawah naungan otoritas pajak (Ditjen Pajak/DJP). Artinya, fungsi eksekutif (pelaksana UU) dan fungsi yudikatif (hakim/pengawas UU) ada di tangan otoritas pajak.
Bagaimana mungkin memperoleh keadilan dan keseimbangan jika penyelesaian sengketa pajak dijalankan otorits pajak. Keseimbangan diartikan sebagai hal yang dilandaskan pada upaya mencapai suatu keadaan seimbang sebagai akibat dari pemeriksaan pajak oleh otoritas pajak.  
Otoritas pajak sebagai lembaga eksekutif tugasnya melakukan pemeriksaan pajak. Jika masih ada sengketa, penuntasannya harus oleh pihak independen. Keadilan dalam pajak bukan semata keadilan legalis (iustitia legalis), dengan tolok ukur atas aturan UU, tetapi mesti keadilan hukum (legal justice), dengan tolok ukur penyelesaian sengketa oleh hakim independen (Dewa Gede Atmadja, 2019-44).
Tidak mungkin diperoleh keadilan sampai kapanpun jika otoritas pajak yang menetapkan utang pajak sekaligus juga yang memutus sengketa pajak. Akal sehat kita mengatakan dimana keseimbangan hukumnya? Itu sebabnya, hukum harus memberi keseimbangan bagi para pihak yang bersengketa. 
Sehingga apa yang disampaikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui kajiannya (Kompas, 5 maret 2021), bahwa hampir 90% keberatan Wajib Pajak ditolak oleh Ditjen Pajak (DJP) dan lanjut ke tahap banding di Pengadilan Pajak yang hampir 60% permohonan banding Wajib Pajak dikabulkan oleh Pengadilan Pajak. Hal ini memberi konfirmasi secara jelas atas kualitas pemeriksaan pajak dan proses keberatan yang terjadi selama ini, tetapi belum ada upaya yang maksimal serius untuk memperbaikinya. Untuk itu diperlukan pembenahan yang  amat segera secara terukur.

Peran Strategis Hakim Agung (Pajak)
Sesuai Pasal 13 Undang-undang No. 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang salah satu kewenangannya adalah mengusulkan pengangkatan Hakim Agung di Mahkamah Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendapatkan persetujuan. Pada tanggal 10 Mei 2022 yang lalu Komisi Yudisial telah mengirim para Calon Hakim Agung (CHA) termasuk 2 (dua) orang CHA bidang pajak.
    Kecenderungan meningkatnya sengketa pajak (pajak pusat, pajak daerah, bea & cukai) dimasa datang, maka peran Pengadilan Pajak dan Mahkamah Agung dalam penyelesaian sengketa pajak amatlah penting. Dari pengalaman penulis dilapangan sejak proses pemeriksaan pajak di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sampai dengan tahap Putusan Banding atau gugatan pada Pengadilan Pajak menyita waktu kurang lebih sekitar 3 (tiga) tahun bahkan sampai 4 (empat) tahun. Sesuai dengan Pasal 77 ayat 3 UU No.  14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU PP) menyebutkan pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas Putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.
    Adapun persyaratan pengajuan PK diatur pada Pasal 91 UU PP harus memenuhi alasan-alasan yang diatur secara tegas. Pasca Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dalam hal Putusan Banding menolak atau mengabulkan sebagian, begitu juga pada tahap Putusan PK di Mahkamah Agung. Dengan demikian Wajib Pajak perlu melakukan review hukum yang mendalam sebelum mengajukan upaya PK ke Mahkamah Agung. Pemeriksa PK dilakukan oleh Majelis Hakim Agung pada Kamar Tata Usaha Negara yang diantaranya terdapat Hakim Agung bidang pajak.
    Begitu strategis peran Hakim Agung Pajak bersangkutan maka kualitas Hakim Agung bidang pajak tersebut harus benar-benar agung sehingga putusannya mempunyai nilai keadilan bagi pihak yang bersengketa dan sekaligus dapat memberi pencerahan publik termasuk pencerahan pada para Hakim Banding/Gugatan di Pengadilan Pajak. Paradigma berfikir Hakim Agung Pajak sangat penting dalam menentukan isi putusan yang berkeadilan.
    Perilaku hakim adalah perilaku yang menunjukkan kemampuan hakim dihadapkan dengan suatu dilema, antara harapan dan kenyataan. Terlebih di era globalisasi ini yang sangat dinamis. Karenanya, hakim ‘diharapkan’ dapat menyesuaikan hukum dengan peristiwa konkrit, sehingga dapat mengambil putusan atas dasar hukum yang ditemukan sendiri, disitulah nilai keagungan hakim pajak khususnya.
Pelajaran dari putusan Mahkamah Agung No. 3137/B/PK/Pj/2020 terkait gas yang bukan merupakan objek PPN, menjadi perilaku hakim yang terus dibaca dan dianalisis banyak pihak. Putusan di atas menimbulkan pandangan perilaku hakim melekat pada pendekatan kaum positivist, yang memisahkan hukum dari moral. Moral baru menjadi bagian dari hukum, kalau ia sudah masuk dalam UU yang dibuat pihak berwenang.
Perlu disadari bahwa permasalahan pajak berkaitan erat dengan bisnis sehingga paling tidak terdapat berbagai persinggungan hukum antara lain, dengan hukum perdata termasuk perdata internasional, hukum administrasi negara, hukum pidana, dan hukum bisnis lainnya.
Putusan hakim di Pengadilan Pajak dan hakim agung pajak di Mahkamah Agung menjadi sentral dalam penegakan hukum pajak. Korelasi Putusan Pengadilan Pajak bisa menjadi acuan bagi DPR sebagai bahan uji kelayakan dan kepatutan. Analisis gagasan atau pertimbangan hukum putusan merupakan perilaku hakim sekaligus menunjukkan ada tidaknya nilai keagungan hakim. 
Pengalaman penulis selama ini mengamati dan mempelajari PK berbagai putusan atas sengketa pajak belum menggambarkan nilai keagungannya. Narasi putusan yang sangat singkat, umumnya berbunyi setelah membaca Memori PK dan Kontra Memori PK dan memutuskan dan seterusnya tanpa argumentasi hukum dari Majelis Hakim Agung yang kaya dengan nilai-nilai filosofis hukum yang tepat.
Kalau begitu, pundak DPR melakukan uji kepatutan dan kelayakan bagi calon hakim agung pajak, sangat berat dan amat strategis. Informasi publik serta kinerja personal adalah alat lain yang tidak bisa diabaikan. Hasil uji bisa saja lulus atau tidak lulus. Itu merupakan hal yang biasa, karena Hakim Agung Pajak yang dicari yang benar-benar memenuhi nilai keagungannya dan mempunyai kemampuan intelektual hukum yang mumpuni sesuai dengan tuntutan lingkungan bisnis yang sangat dinamis dan variatif.

Simpulan 
    Uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan DPR merupakan tahapan proses akhir yang amat penting untuk mendapatkan Hakim Agung Pajak yang mumpuni sebagai “Wakil Tuhan” di dunia dalam penyelesaian sengketa pajak berupa Peninjauan Kembali, sebagai upaya hukum luar biasa. Sehingga kualitas Hakim Agung yang dibutuhkan juga harus memenuhi kualitas yang luar biasa pula, bukan yang biasa-biasa.
    Kualitas keagungan hakim diharapkan benar-benar terwujud sehingga putusan dapat memberikan keadilan yang didambakan oleh para pencari keadilan. Narasi argumentasi hukum yang mendalam, mengandung muatan nilai filosofi yang sekaligus dapat digunakan sebagai pembelajaran bagi para hakim di lingkungan Pengadilan Pajak, Wajib Pajak, Fiskus dan masyarakat dunia usaha dan sekaligus memberi kepastian hukum yang berkeadilan. 
    Dengan demikian efisiensi doing in business di Indonesia semakin baik yang akan meningkatkan daya saing Indonesia di tataran persaingan global. Perlu diingat bahwa penerimaan pajak dari Wajib Pajak yang masih dalam proses sengketa, pada hakekatnya secara filosofi akuntansi statusnya masih bersifat contingent, baik bagi Wajib Pajak maupun oleh pemerintah.
    Semoga DPR berhasil mendapatkan sosok Hakim Agung Bidang Pajak yang benar-benar mempunyai nilai keagungan yang diharapkan publik.#

-------------------------

Dr. Wirawan B. Ilyas
Akuntan lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 
Mengenyam pendidikan Strata 1, Strata 2, Strata 3 bidang akuntansi dan perpajakan. Disamping itu juga berpendidikan bidang hukum Strata 1 dan Strata 2

Berprofesi/Jabatan

Akuntan Publik    : Managing Partner Kantor Akuntan Publik
 Dr. Wirawan & Rekan
Advokat        : Senior Partner TIMES LAW FIRM
Praktisi Pajak    : Direktur PT Wirawan Ilyas Tax Consulting

Sebagai Sekjen Perkumpulan Kuasa Hukum Pajak Pro Justitia (PKHP2J)
Aktif sebagai Penulis Buku Text, jurnal dan mass media bidang hukum bisnis, pajak dan akuntansi, keuangan 
Aktif sebagai Dosen, Pembicara/Narasumber Seminar/Webinar dibidang akuntansi, pajak dan hukum bisnis
Aktif sebagai Ahli khususnya terkait hukum bisnis dan hukum pajak baik pada tahap Penyidikan maupun pada Pengadilan.

Artikel Terkait