Nasional

Hikmahanto: Ini Dua Upaya Hukum Terkait Proses Hukum Satelit Kemhan

Oleh : very - Senin, 17/01/2022 16:28 WIB

Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional UI dan Rektor Universitas Jenderal A. Yani. (Foto: Pikiran Rakyat)

Jakarta, INDONEWS.ID --- Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan, meski disebut sebagai pengadaan Satelit untuk Slot Orbit 123 namun bila dipelajari secara seksama sebenarnya ada dua kasus yang berbeda.

Pertama adalah kasus pengadaan Satelit yang bersifat sementara dengan tujuan Indonesia tidak kehilangan Slot Orbit 123 pasca tidak berfungsinya Satelit Garuda-1. Disini yang menjadi pihak penyedia Satelit adalah Avanti Communication Limited.

Dalam kasus pertama ini Kemhan digugat atas dasar kekurangan pembayaran sewa di Arbitrase yang berkedudukan di London.

Kasus kedua, katanya, adalah pengadaan satelit yang sebenarnya untuk mengisi Slot Orbit 123 secara permanen dengan penyedia Satelit adalah Navayo, Airbus, Detente, Hogan, Lovel dan Telesa.

Dalam kasus kedua ini Kemhan digugat karena wanprestasi atas kontrak di arbitrase yang berkedudukan di Singapura.

“Untuk dua kasus yang sama-sama telah diputus baik di London maupun Singapura maka ada dua upaya hukum yang bisa dilakukan,” ujar Rektor Universitas Jenderal A. Yani itu melalui siaran pers di Jakarta, Senin (17/1).

Untuk kasus pertama, katanya, adalah dengan proses pembatalan putusan arbitrase. Inti dari proses hukum ini bukanlah banding sehingga tidak memasalahkan substansi yang diperkarakan. Proses hukum ini terkait dengan prosedural dalam berarbitrase.

“Upaya hukum ini harus dilakukan di Pengadilan dimana putusan arbitrase diputus. Jika arbitrase diputus di London maka harus diajukan ke Pengadilan London. Alasan untuk membatalkan pun harus berdasarkan hukum Inggris,” katanya.

Namun karena putusan telah dijatuhkan di tahun 2018 menjadi permasalahan apakah hukum Inggris memungkinkan untuk melakukan proses pembatalan saat ini.

Demikian pula bila putusan arbitrase dijatuhkan di Singapura. Hal ini masih memungkinkan mengingat putusan dijatuhkan pada bulan Mei 2021.

Bila Pengadilan memutus bahwa putusan arbitrase dibatalkan maka, kata Hikmahanto, konsekuensinya adalah proses arbitrase harus diulang.

“Terhadap putusan arbitrase yang telah dibuat maka konsekuensinya tidak dapat diminta untuk dipaksakan oleh Pengadilan negara manapun,” tuturnya.

Selanjutnya, kata Hikmahanto, upaya hukum kedua adalah terkait penolakan untuk melaksanakan putusan arbitrase yang dibuat. Penolakan ini dilakukan oleh Pengadilan dimana aset pihak yang kalah berada.

Untuk diketahui dalam perkara perdata, baik di pengadilan maupun arbitrase, sebuah putusan hanya memiliki makna menang di atas kertas.

Dalam perkara Pengadaan Satelit untuk Slot Orbit 123 bila Kemhan tidak mau melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela maka pihak penyedia Satelit akan meminta Pengadilan dimana Kemhan memiliki aset untuk melakukan eksekusi.

Secara logika pihak-pihak yang menang perkara akan membawa putusan arbitrase tersebut ke Pengadilan Indonesia. Dalam konteks ini mungkin proses tindak pidana korupsi di Indonesia dimulai.

Strateginya, katanya, adalah Pengadilan Indonesia akan menolak putusan arbitrase yang diminta untuk dilaksanakan karena terindikasi korupsi.

Strategi seperti ini bisa saja berhasil atas dasar putusan yang hendak dieksekusi melanggar ketertiban umum di Indonesia.

Hanya saja, menurut Hikmahanto, tindak pidana korupsi yang harus dibuktikan adalah adanya delik korupsi yang dilakukan oleh penyedia Satelit atau kontrak pengadaan Satelit terindikasi ada delik korupsinya.

Bila delik korupsi yang hendak dibuktikan lebih ke masalah pengadaan internal di Kemhan maka upaya ini tidak terlalu banyak membantu.

“Strategi untuk melakukan penolakan bisa gagal karena pihak penyedia Satelit tidak pergi ke Pengadilan di Indonesia untuk melakukan eksekusi atas putusan arbitrase yang mereka menangkan,” ujarnya.

Penyedia Satelit, kata Hikmahanto, bisa saja pergi ke pengadilan-pengadilan di luar negeri dimana pemerintah Indonesia memiliki aset sepanjang bukan aset milik kantor perwakilan Indonesian di luar negeri, seperti Kedutaan Besar atau Konsulat Jenderal.

Penyedia Satelit akan membangun argumentasi bahwa Kemhan merupakan bagian dari pemerintah Indonesia dan pemerintah Indonesia adalah pemegang saham dari sejumlah Badan Usaha Milik Negara.

Saat ini, katanya, ada sejumlah BUMN yang memiliki aset berupa tanah dan bangunan serta uang dalam rekening koran di bank-bank luar negeri.

Dalam konteks demikian bukannya tidak mungkin aset-aset BUMN yang akan diminta untuk dieksekusi oleh pengadilan setempat sebagai upaya pelaksanaan putusan arbitrase.

Oleh karenanya upaya memunculkan proses hukum yang berkaitan dengan pidana tidak akan bermanfaat.

“Disinilah pentingnya pemerintah harus lebih fokus dalam mengambil langkah agar putusan arbitrase tidak dilaksanakan atau dibatalkan. Pemerintah jangan justru melebar kemana-mana,” katanya.

Kalaupun ada indikasi tindak pidana korupsi maka hal tersebut perlu untuk terus diproses namun tidak seharusnya digunakan sebagai strategi untuk menghindari eksekusi atas putusan arbitrase.

“Pemerintah perlu mengundang ahli bahkan pengacara berkaliber internasional yang memahami seluk beluk tentang upaya pembatalan putusan baik di London maupun Singapura dan pengacara yang memahami upaya penolakan putusan arbitrase di luar Indonesia,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait