Nasional

Ada 48 Negara yang Sudah Membuang Sistem Presidential Threshold

Oleh : very - Selasa, 18/01/2022 12:23 WIB

Presidential Threshold. (Foto: Ilustrasi)

Jakarta, INDONEWS.ID --- Jurnalis senior, Arief Gunawan mengatakan, elit kekuasaan Indonesia hari ini menjadikan Indonesia ketinggalan zaman dan memalukan. Pasalnya, para elit tersebut tidak punya kapasitas mengelola negara sesuai amanat konstitusi.

Dahulu, katanya, Van Mook menyeret mundur Indonesia yang mau merdeka dengan membuat negara boneka-federal.

“Sawer duit kepada elit kekuasaan khianat dan para menak yang memusuhi rakyat. Omnibus Law sama dengan Ordonansi Kuli di era kolonial kini disahkan DPR. Hak-hak buruh disamakan dengan perbudakan. Terikat Poenale Sanctie alias sanksi-sanksi yang memberatkan. Praktik Presidential Threshold yang dikuasai oligarki dan para cukong juga bikin Indonesia ketinggalan zaman dan memalukan. Very disgusting behavior...,” tulisnya dalam artikel berjudul “Sudah Dibuang 48 Negara, Presidential Threshold Bikin Indonesia Ketinggalan Zaman Dan Memalukan!”  yang ditayangkan rmol.id/.

Arief mengatakan, di dunia ini ada 48 negara yang sudah membuang sistem presidential threshold tersebut. Negara tersebut menjalankan pemilihan presiden secara demokratis dengan dua putaran.

Di negara tersebut, Pilpres menjadi alat menghasilkan pemimpin terbaik, dengan kriteria mencakup integritas, track record, keberpihakan kepada rakyat, dan kemampuan problem solver.

Sementara Presidential Threshold di Indonesia hanya menghasilkan pemimpin boneka. “Tanpa kapasitas dan keberpihakan kepada rakyat. Menghasilkan ceceran kerusakan dimana-mana. Presidential Threshold yang disiasati oligarki dan para cukong dalam UU Pemilu menjadikan Indonesia selamanya terbelakang, karena tidak berkorelasi dengan kepentingan rakyat selain kepentingan sempit dan picik oligarki dan para cukong itu sendiri,” ujarnya.

Aktivis pergerakan Dr Rizal Ramli merupakan tokoh yang pernah mengalami kerugian hak konstitusi akibat pemberlakukan Presidential Threshold.

“Pada Pilpres 2009 lalu, Rizal Ramli telah dapat dukungan 12 partai  peserta pemilu untuk jadi capres. Partai-partai Blok Perubahan ini memiliki jumlah suara lebih dari 20 persen, dengan kader-kader yang menempati ribuan kursi DPRD Provinsi/Kabupaten. Tapi partai-partai yang telah lulus verifikasi ini terkendala tak memiliki kursi di DPR RI,” katanya.

Namun, ironis, suara mereka hilang begitu saja, terganjal Presidential Threshold yang memuat ketentuan untuk mengajukan pasangan capres dan cawapres gabungan partai harus punya 25% kursi di DPR atau 20% suara sah nasional dalam pemilu legislatif.

Menjelang Pilpres 2019 partai-partai besar kembali menawarkan Rizal Ramli untuk jadi capres. Dukungan juga diberikan oleh puluhan ormas dan komunitas masyarakat dari berbagai daerah, termasuk lembaga survei, serta sejumlah tokoh terkemuka.

Bukti dukungan terhadap Rizal Ramli tersebut, kata Arief, dapat dilihat melalui pemberitaan media massa (jejak digital) yang bisa diakses secara luas oleh masyarakat. Termasuk bukti pemberitaan 48 negara yang telah membuang sistem Presidential Threshold.

Karena itu, dari fakta-fakta berupa dukungan yang sangat luas tersebut secara esensi Rizal Ramli memenuhi legal standing untuk mengajukan judicial review terhadap Presidential Threshold di Mahkamah Konstitusi.

Hal lainnya, menurutnya, partai-partai besar yang menawarkan Rizal Ramli untuk menjadi Calon Presiden RI bersikap sangat transaksional, yaitu minta biaya finansial yang sangat besar (Uang Mahar) sebagai ongkos dukungan.

Permintaan tersebut tentu tidak sanggup direalisasikan oleh Rizal Ramli. “Selain tidak memiliki finansial yang demikian besar, selama kariernya memegang berbagai jabatan Rizal Ramli tidak pernah korupsi. Sebagai cendekiawan dan profesional sejak muda Rizal Ramli selalu menjaga integritas pribadi, serta memiliki keberpihakan yang tinggi kepada kepentingan rakyat,” katanya.

Pernah ada yang bertanya apakah Rizal Ramli dapat membuktikan praktik transaksional yang dilakukan oleh partai-partai politik besar, seperti yang dialaminya dalam Pilpres 2014 dan Pilpres 2019.

“Pertanyaan seperti ini pada dasarnya sangat naif, karena proses tawar menawar dalam politik atau dalam Pilpres sangat mustahil ada buktinya,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait