Nasional

Posisi Indonesia atas Situasi Ukraina: Pernyataan Resmi Kemlu Berbeda dengan Pernyataan Presiden

Oleh : very - Senin, 28/02/2022 07:31 WIB

Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional UI dan Rektor Universitas Jenderal A. Yani. (Foto: Pikiran Rakyat)

Jakarta, INDONEWS.ID --- Kementerian Luar Negeri (Kemlu) pada 25 Pebruari 2022, menyampaikan posisi pemerintah Indonesia atas situasi di Ukraina.

Pernyataan tersebut, menurut Guru Besar Hukum Internasional, Hikmahanto Juwana berpotensi bertentangan dengan pernyataan Presiden Jokowi melalui tweeter pada tanggal 24 Pebruari yaitu, "Setop Perang. Perang itu menyengsarakan umat manusia, dan membahayakan dunia."

Mengapa kedua pernyataan ini berpotensi bertentangan?

Rektor Universitas Jenderal A Yani ini mengatakan, bila mencermati pernyataan Presiden Jokowi dapat diargumentasikan sebagai basis digunakan Pasal 1 angka 3 Piagam PBB.

“Dalam pasal tersebut negara-negara diwajibkan untuk menyelesaikan sengketa diantara mereka melalui cara-cara damai (peaceful means) sehingga tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasional, dan keadilan,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Senin (28/2).

Menurut Hikmahanto, pernyataan Presiden untuk menyetop (menghentikan) perang dilakukan tanpa menyebut negara yang melakukan serangan, negara yang diserang bahkan jenis serangan, serangan untuk bela diri atau serangan agresi.

Sementara pernyataan Kemlu dapat diargumentasikan berdasarkan pada Pasal 1 angka 4 Piagam PBB.

Dalam pasal tersebut diminta agar negara-negara anggota "menahan diri dalam hubungan internasional dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah...".

Hikmahanto mengatakan, dalam pernyataan Kemlu disebutkan serangan militer terhadap Ukraina dianggap sebagai tidak dapat diterima (unacceptable) karena serangan tidak menghormati integritas wilayah dan kedaulatan.

“Ini berarti Indonesia dalam posisi sama dengan AS dan sejumlah negara Eropa Barat, Australia dan banyak negara yang mengecam serangan oleh Rusia,” katanya.

Dia mengatakan, meski ada kemiripan situasi, posisi Indonesia saat ini berbeda dengan posisi Indonesia saat AS melakukan serangan terhadap Irak pada tahun 2003.

Ketika itu Presiden Megawati mengecam tindakan AS dengan koalisinya yang menyerang Irak. Ini berbeda dengan Presiden Jokowi saat ini yang menyerukan penghentian atas perang.

Kemiripan situasi tidak harus mempertahankan konsistensi kebijakan oleh Presiden mengingat sejumlah faktor dan konteks yang mungkin berbeda.

“Oleh karenanya Kemlu tidak seharusnya menerjemahkan secara sama kebijakan Presiden Megawati untuk mengecam serangan AS saat menyerang Irak, dengan Presiden Jokowi untuk menyetop perang,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait