Nasional

Dukungan RI terhadap Resolusi MU PBB terkait Ukraina Disayangkan

Oleh : very - Kamis, 03/03/2022 08:16 WIB

Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional UI dan Rektor Universitas Jenderal A. Yani. (Foto: Pikiran Rakyat)

Jakarta, INDONEWS.ID --- Resolusi Majelis Umum PBB terkait situasi di Ukraina telah selesai divoting dengan komposisi 141 mendukung, 5 menentang dan 35 abstain.

Resolusi dengan judul “Agresi Rusia terhadap Ukraina” tersebut menentukan tindakan Rusia untuk menyerang Ukraina itu patut "disayangkan” (deplore). Penggunaan kata deplore lebih lunak dari mengutuk (condemn).

Posisi Indonesia dalam voting resolusi tersebut adalah mendukung.

Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (3/3) menyatakan patut menyayangkan posisi Indonesia tersebut. Setidaknya, ada empat (4) alasan untuk hal ini.

Pertama, seolah Indonesia berada dalam posisi sebagai hakim terkait serangan Rusia dan menentukan tindakan tersebut sebagai salah.

“Padahal dua negara yang berseteru pasti memiliki justifikasi berdasarkan Piagam PBB dan hukum internasional. Satu hal yang pasti Rusia tidak akan menyatakan dirinya melakukan perang agresi atau serangan terhadap integritas wilayah negara lain,” ujarnya.

Hal tersebut, kata Rektor Universitas Jenderal A Yani ini, karena perang agresi pasca Perang Dunia II telah disepakati untuk dilarang. Sehingga perang hanya boleh untuk dua hal saja yaitu dimandatkan oleh PBB atau dalam rangka membela diri (self defence).

Kedua, dengan posisi mendukung berarti Indoneaia hanya mengekor AS dan kawan-kawan (dkk). “Sebagai negara yang menjalankan kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif seharusnya Indonesia menjaga jarak yang sama dalam perseteruan antara Ukraina dan Rusia,” kata Hikmahanto.

Karena itu, Indonesia tidak perlu melibatkan diri dalam pertikaian dua negara layaknya AS dkk, yang cenderung berpihak pada Ukraina.

Ketiga, Indonesia seolah melupakan sejarah yang pernah dialami di masa lalu.

Di masa lalu Indonesia pernah pada posisi seperti Rusia terkait status Timor Timur (Timtim).

Ketika itu narasi yang digunakan oleh Indonesia adalah rakyat Timtim berkeinginan untuk bergabung ke Indonesia (integrasi). Namun oleh AS dkk dihakimi sebagai tindakan aneksasi.

Terakhir, posisi yang diambil oleh Perwakilan Indonesia di PBB tidak sesuai dengan arahan dari Presiden.

Presiden dalam tweet-nya tanggal 24 Pebruari 2022 menghendaki "Setop Perang".

Maknanya Presiden tidak merujuk pada ketentuan Pasal 2 ayat 4 Piagam PBB yang mewajibkan negara agar menahan diri dari penggunaan kekerasan (perang) dalam melakukan hubungan internasional terhadap integritas wilayah negara lain.

Presiden lebih merujuk pada ketentuan Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB yang mewajibkan negara untuk menyelesaikan sengketa mereka secara damai sehingga tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasional.

Namun, apa hendak dikata nasi telah menjadi bubur. “Indonesia tdak lagi bisa secara maksimal dalam posisi sebagai `bagian dari solusi` dalam pertikaian Rusia dengan Ukraina, tetapi telah berposisi sebagai `bagian dari masalah`,” katanya.

Ke depan Kemlu dalam membuat kebijakan untuk menyikapi pertikaian antar negara harus hati-hati dan cermat. “Kemlu tidak seharusnya sekadar mengekor perspektif kebanyakan negara, apalagi negara-negara besar yang memiliki pengaruh,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait