Nasional

Membangun Sikap Toleransi, Bangsa Ini Hidup dalam Desain Politik yang Salah

Oleh : very - Senin, 18/04/2022 22:12 WIB

Diskusi Twitter Space Universitas Paramadina dengan tema “Intoleransi, Musuh Bangsa, Musuh Bersama, Membangun Kesalehan Sosial”, pada Senin (18/4). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID --- Kebhinekaan Indonesia harus dilihat sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Kesatuan dan persatuan Indonesia bukan transaksional tetapi lebih diikat pada cia-cita dan kesamaan yang luhur dan rasa cinta tanah air Indonesia. Itulah yang sering disebut oleh alm Nurcholish Madjid sebagai menyatunya Islam dan Kebangsaan. Keagamaan dan Kebangsaan menyatu oleh rasa cinta tanah air.

Karena itu, metode penyelesaian masalah intoleransi dan radikalisme dengan model symptomatic therapy Wether dengan pendekatan kekuasaan, atau pendekatan transaksional tidak akan menyelesaikan masalah.

“Api dalam sekam tetap ada. Justru semua perbedaan harus dibangun dengan pendekatan-pendekatan batiniah yaitu dengan saling asah, asuh dan saling asih. Itulah filosofi bangsa yang semestinya terus diterapkan oleh bangsa Indonesia”.

Demikian dikatakan Ketua Pelaksana Badan Pembina Yayasan Paramadina, Dr Ahmad Ganis, dalam diskusi Twitter Space Universitas Paramadina dengan tema “Intoleransi, Musuh Bangsa, Musuh Bersama, Membangun Kesalehan Sosial”, pada Senin (18/4).

Dia mengungkapkan bahwa watak toleransi harus dimulai dari diri kita sendiri dan diterapkan pada lingkungan. Karena itu, kaum cendekiawan harus terjun ke desa-desa dan pelosok untuk memerangi kebodohan, kemiskinan dan memajukan pendidikan rakyat di pelosok Indonesia.

Pendekatan yang pernah dilakukan oleh program “Indonesia Mengajar” yang pernah dipelopori oleh Universitas Paramadina dengan menerjunkan kaum terdidik untuk mengajar di pelosok-pelosok Indonesia tanpa dibayar, adalah hal yang harus terus dilakukan. “Karena hal itulah yang akan secara abadi menyatukan bangsa Indonesia,” ujarnya.

Ahmad mengatakan, kaum usahawan dari berbagai etnis di Indonesia harus bergabung dan bukan sekadar memberikan sumbangan, tetapi melakukan affirmative action untuk memajukan pendidikan rakyat kecil agar lebih terdidik, produktif dan lebih bisa mandiri secara ekonomi dan dapat mendidik anak-anaknya untuk lebih berprestasi di masa depan.

Demikian pun, para pemuka agama, da’i dan rohaniwan harus menjadi teladan dan bukan malah memprovokasi perbedaan tapi menaburkan rasa persatuan dan kesatuan di antara bangsa dengan semangat ‘one for all and all for one’.

“Sebuah persatuan secara batiniah. Hal itu diharapkan akan sedikit banyak mengatasi masalah perbedaan dan intoleransi,” ujarnya. 

Untuk itu, katanya, sikap pesimistik dan membiarkan segala permasalahan radikalisme dan intoleransi kepada pemeritah merupakan sikap berbahaya untuk kesatuan bangsa. Upaya bersama untuk mengikis sikap intoleransi adalah hal strategis untuk diamankan bersama.

“Toleransi bukanlah kata-kata yang bersifat resiprokal, tetapi sering dimaknai sebagai dari ‘mayoritas dalam jumlah, kepada minoritas yang jumlahnya kecil’, tetapi intinya adalah dari yang kuat kepada yang lemah atau dhuafa. Toleransi juga berarti mengangkat derajat semua anak bangsa terlebih di pelosok yang masih tertinggal,” katanya.

Sikap intoleransi atau tindakan radikalisme adalah sikap yang bukan terjadi begitu saja di akar rumput. Namun yang menciptakan intoleransi tersebut justru terjadi pada tingkat-tingkat influencer masyarakat yang sering disebut sebagai provokator, yang memprovokasi situasi.

Diakuinya, memang ada masalah-masalah mendasar yang masih terjadi pada bangsa Indonesia. Misalnya perbedaan sosial ekonomi atau gap yang menganga lebar. Juga pengentalan-pengentalan pemahaman agama, baik agama Islam maupun agama lainnya yang menganggap dengan pengertian sempit bahwa sumber kebenaran adalah pihaknya, dan menafikan kebenaran yang mungkin muncul dari pihak lain.

Selain itu, adanya perbedaan-perbedaan pandangan politik yang picik, misalnya atas isu-isu lokal sederhana saja dapat menyebabkan konflik horizontal. Baik antar desa, suku dan antar agama. Itu terjadi misalnya di Ambon, Poso dan tempat-tempat lain.

“Semuanya adalah ‘route of the problem’ yang sebetulnya bisa diselesaikan dengan cara-cara damai dan bijak, di mana para intelektual dan semua pihak mengatasi bersama-sama dengan cara-cara damai,” ujarnya.

Ahmad mengatakan, jangankan di grassroot, di tingkat masyarakat menengah atas dan cendekiawan juga sering terjadi perbedaan-perbedaan, baik agama, suku bangsa, atau berbeda karakter atau alur karir yang berbeda, apalagi dengan pilhan politik masing-masing.

Yang jadi pertanyaan, katanya, mengapa pada tingkat midle class ke atas dan juga cendekiawan menghadapi segala perbedaan dengan tidak ada masalah dan masih bisa bercengkerama. Apalagi ketika di luar negeri dan kita mendengar lagu kebangsaan Indonesia Raya maka hati nurani akan tergerak dan berdetak kencang. “Hal itu tidak lain karena dari mendengar lagu itu tumbuh sikap nasionalis dan rasa cinta tanah air yang mempu meredam segala perbedaan,” ujarnya.

 

Dua Cara Agar Toleransi Bisa Dijalankan

Dosen Univesitas Paramadina/Direktur PUSAD Paramadina, Ihsan Ali Fauzi mengatakan sikap toleransi atau intoleransi bisa diukur dari sikap menerima perbedaan yang dimiliki orang lain. Karena itu, jika terdapat perbedaan tetapi sulit mencari irisan maka keberadaan orang lain akan menjadi beban. Tetapi jika perbedaan bisa bisa dinegosiasikan maka akan sangat bagus.

“Harus dihindari sikap ketidakseimbangan atau ketidakadilan sosial yang terjadi karena dibungkus dengan agama. Biasanya hal itu terjadi jika agama yang ada membawa klaim-klaim yang mendorong orang melakukan tindakan tidak adil,” ujarnya.

Menurutnya, ada dua cara agar toleransi bisa dijalankan. Pertama, adanya kesediaan untuk memberi izin (pemission) kepada orang lain. Hal ini terjadi terutama kepada kelompok lemah yang bisa ditoleransi keberadaannya.

Kesediaan memberi izin kepada pihak yang berbeda biasanya bersyarat karena ada power relation yang tidak seimbang, antara satu kelompok besar kepada kelompok kecil baik dari segi jumlah, asset, tidak hanya agama tapi juga etnis dan bisa juga usaha. Pemberian izin bisa terjadi tetapi disertai beberapa syarat tertentu. 

Kedua, saat ini sudah ada payung dari segi kehidupan sebagai kewarganegaraan modern. Dengan perlindungan sebagai warga negara, maka seseorang meski lemah tetap mendapatkan toleransi karena berkedudukan sejajar sebagai sesama warga negara. Posisi sesama warga negara menjadi saling menghormati sebagai sesama warga negara meskipun memiliki perbedaan.

Dia mengatakan bahwa variable yang dianggap paling kuat untuk menjadikan seseorang toleran atau tidak, adalah pada sisi ‘perception of trap’. Aspek psikologis menjadi salah satu sikap prediktor paling kuat.

Perception of trap, katanya, tidak berubah ketika merasa terancam atau ada infomasi baru terlebih di era medsos misalnya. “Buzzer menjadi bermain pada wilayah itu. Ketika terdapat masalah yang sebetunya sedang-sedang sjaa, tetapi oleh buzzer diesktrimkan sedemikian rupa sehingga penerima informasi menjadi terdorong mengambil sikap negatif. Bahkan bukan hanya mengambil sikap, tetapi karena buzzer seseorang dapat mengambil langkah tindakan yang keliru,” katanya.

 

Desain Politik yang Salah

Guru Besar Universitas Paramadina, Prof Abdul Hadi WM mengatakan Indonesia beruntung memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Ini adalah sebuah pengakuan bahwa masyarakat kita berbhinneka secara etnis, budaya dan agama. Semua dipersatukan oleh kebhinekaan.

Dia mengatakan, sebagian besar bangsa Indonesia punya ras Autronasia yang berbeda dengan masyarakat di Amerika atau Malaysia. Indonesia punya rumpun yang sama meski terdiri dari berbagai etnis. Kemerdekaan Indonesia juga diikat tali persatuan, diikat juga oleh Bahasa Nasional yang sama, yang berhasil mempersatukan masyarakat.

Indonesia juga diikat oleh persamaan nasib, agama dan sejarah. Pernah dijajah Belanda 100 tahunan, berbeda dengan Malaysia. Malaysia tidak merasa bersatu maka ada politik multicultural.

Selain itu, agama di Indonesia juga menjadi alat mempersatukan dan bukan alat pemecah belah. Pesan-pesan dalam Al Quran juga mempersatukan.

Namun, pertanyaannya, mengapa saat ini seolah persatuan begitu rapuh? Salah satu penyebabnya, menurutnya, adalah karena Bahasa Indonesia sudah dirusak. “Padahal bangsa Jepang berhasil menjaga kekukuhan Bahasa Jepang sehingga tidak mudah dipecah belah,” ujarnya. 

Masalah lain juga muncul akibat dikotomi politik yang diciptakan elit. “Karena itu, bangsa ini hidup dalam desain politik salah. Islam dan nasionalisme terus saja dipertentangkan. Seolah jika Islam maka tidak nasionalis dan seorang nasionalis bukan Islam,” katanya.

Pada era Nasakom, katanya, kita dipaksa untuk berbicara dalam bahasa politik. Padahal pandangan agama juga faktor yang amat kaya mempersatukan etnis-etnis yang ada. “Politik dikotomi juga terus merambah ke bidang etnis Jawa dan non Jawa, juga militer dan sipil,” ujarnya.

Menurutnya, gagasan alm. Nurcholish Madjid tentang Keislaman, KeIndonesiaan dan Kebangsaan, tidak berhasil karena diprovokasi secara terus menerus. “Islam dianggap tidak nasionalis. Padahal Indonesia mempunyai ciri KeIslaman kental. Pluralisme Nurcholish bukan dalam pengertian liberalis atau multikulturalis. Tetapi ajaran dalam Al Quran telah menerangkan tentang makna : Lakum Diinukum Waliyadiin sebagai ajaran toleransi tertinggi,” pungkasnya. ***

 

Artikel Terkait