Opini

Berhari Raya Tanpa Orang Tua

Oleh : luska - Sabtu, 30/04/2022 17:30 WIB

SKEMA
[Sketsa Ramadhan]

Penulis : Akmal Nasery Basral (Sosiolog, Penulis)

SALAH satu kebahagiaan terbesar saat lebaran adalah berkumpul dengan orang tua. Baik yang selama ini serumah dengan mereka, apalagi bagi yang tinggal berbeda rumah, kota, pulau, sampai beda negara, yang tak bisa bersua akibat cengkeraman wabah Covid-19 dua tahun terakhir yang menegangkan. Idul Fitri kali ini adalah momen terbaik pelepas rindu—bagi yang orang tuanya masih hidup. Alangkah senangnya.

Namun tak semua kita punya kesempatan luar biasa itu. Ada yang orang tuanya sudah wafat bertahun-tahun lalu, ada yang baru dalam hitungan hari, pekan, dan bulan. Lebaran tahun kemarin masih bersama, lebaran kali ini sudah tak bisa berjumpa. Belum lindap sedih di hati dan jiwa yang lara nestapa.

Untuk topik SKEMA hari ini—H-2 Idul Fitri—saya keluar dari pola topik-topik sebelumnya yang meneroka peristiwa sosial di dalam dan luar negeri. Kali ini saya mewawancarai empat orang yang untuk pertama kalinya akan berlebaran tanpa kebersamaan dengan orang tua masing-masing. Selain untuk mengetahui perasaan mereka, juga untuk pembaca yang mengalami hal serupa agar lebih tegar karena Anda tak sendiri.

Kita mulai dari kisah *Moehammad Hervansjah*. Saya kenal Hervan sejak awal 90-an ketika kami terpilih sebagai peserta Program Pengembangan Pemasaran Majalah _Tempo_ yang dijalankan Manajer Promosi Abrar Din Ilyas di bawah naungan Direktur Pemasaran H. Mahtum Mastoem. Syahdan ada 300-an _fresh graduate_ dari seluruh Indonesia yang melamar program ini namun yang lulus seleksi hanya 25 orang. Hervan lulusan UGM. Kami lalu mengikuti kelas berhari-hari dengan berbagai materi di Wisma Tempo Sirnagalih, Megamendung, yang berudara dingin dan kerap dipeluk hujan. Saat _Tempo_ dibredel pada 1994, saya pindah jalur menjadi reporter majalah _Gatra_, Hervan pindah kuadran ke sektor keuangan.

Komunikasi kami menjadi tak seintens sebelumnya, bahkan pernah cukup lama tak saling berkabar. Jum’at lalu (22/4)—20 Ramadhan—kami bertemu lagi. Salah satu hal yang disampaikan Hervan adalah, “Lebaran tahun ini untuk pertama kali saya jalani tanpa ayah-ibu. Mereka wafat bulan Juli tahun lalu. Hanya berselang tiga hari,” katanya tercekat. “Biasanya jelang lebaran ibu selalu bertanya apakah mau dibuatkan tape ketan hitam? Kalau mau kirim saja bahan bakunya nanti ibu yang buatkan,” kenang pria berdarah Bukittinggi ini.

Tape ketan hitam--waktu pembuatan 3-4 hari karena ada proses fermentasi dari ragi--adalah salah satu penganan khas etnis Minang di saat lebaran. Biasanya dimakan bersama _lamang_ (lemang) sehingga disebut _lamang tapai_. Selain itu sang ibu, Ermanelly Iljas, selalu menyiapkan rendang daging, rendang ati, dan rendang paru, untuk peneman makan ketupat. Tak lupa dilengkapi dengan _maco_, sambal petai, kacang dan teri. “Lebaran tahun lalu ibu masih melakukannya untuk saya dan cucu-cucu beliau,” lanjut Hervan. “Kini semua itu tak akan ada lagi. Kami semua sangat kehilangan.”

Kisah sedih ini dimulai dari musibah yang dialami sang ayah, Sjawir Rasjid, yang wafat pada 5 Juli 2021 setelah pekan sebelumnya jatuh di kamar mandi. “Papa seminggu nggak bisa jalan, panas badannya turun naik, kakinya selalu kesakitan,” ujar Hervan. “Tiga hari setelah Papa wafat, ibu yang mengidap GERD juga terjatuh di kamar mandi dan meninggal dunia menyusul Papa.”

Kehilangan kedua orang tua berturutan begitu memukul Hervan. Kini setelah 9 bulan berjalan, rasa gerowong di hati muncul lagi karena ada tradisi tahunan keluarga yang tak bisa dilakukan lagi. “Kebiasaan Papa mendata kebutuhan sarung untuk orang-orang di sekitarnya. Satpam, tukang sampah, pemulung, marbot masjid, dan handai tolan yang membutuhkan. Setelah data lengkap, seminggu sebelum lebaran Papa ke Tanah Abang untuk membeli sarung sekaligus silaturahmi dengan para pedagang Minang di sana. Kadang-kadang saya ikut menemani,” ungkapnya. “Akibat kebiasaannya itu banyak pedagang Tanah Abang yang kenal Papa.”

Kesedihan Hervan juga dialami *Rahmatullah Sjamsudin* yang tahun ini merasakan hal serupa, tak lagi bisa berlebaran dengan ibunda tercinta. Saya mengenal Rahmat pertama kali sekitar 10-11 tahun silam. Saat itu kami bertemu hampir setiap Ahad pagi sampai zuhur menemani anak-anak kami—masing-masing tiga orang--yang berlatih (kungfu) Jeet Kune Do di kawasan Cibubur.

“Ibu saya Hj. Dra. Ratna Wilis wafat di hari pertama Ramadhan. Usia beliau 96 tahun 3 bulan saat meninggal dunia,” ujar Rahmat memulai cerita. “Ibu pernah menjadi murid Diniyah Putri Padangpanjang, diajar langsung oleh (Syaikhah) Rahmah El Yunusiyah—pendiri Diniyah Putri--yang dipanggil ibu sebagai _Tek_ (Tante) Ama.”

Awal 1968, ibunda hijrah ke Jakarta, mengajar di SMP 6 Cikini, Jakarta Pusat. Pada bulan Oktober tahun itu, Rahmat lahir. Empat tahun kemudian mereka kembali ke Bukittinggi. Sang ibu mengajar di ST dan MAN Bukittinggi seraya kuliah lagi di Fakultas Ushuluddin IAIN Imam Bonjol, Padang, lulus pada 1978. Setelah itu sang ibu berkiprah sebagai dosen ilmu tafsir sampai pensiun. Selain berkhidmat sebagai dosen juga aktif berdakwah di Padang, Jakarta, sampai New York, Amerika Serikat, tempat Rahmat pernah bertugas.  

“Sebagai anak tunggal, saya sangat dekat dengan ibu. Apalagi sejak saya kecil ibu _single parent_ sehingga kami hanya berdua. Ibu merupakan cahaya dan motivasi hidup saya,” ungkap Rahmat.  Dia ingat pengalaman masa remaja ketika ibunda sampai mencicil beli gitar akustik karena dia ingin les gitar supaya bisa jadi gitaris. Dengan gaji ibunda yang tak seberapa, keinginan Rahmat tercapai. Namun gelegak adrenalin yang melimpah ruah membuat Rahmat larut dalam dunia anak band sampai nyaris meninggalkan kuliah. “Rambut saya gondrong sepinggang,” katanya mengenang.  

Jadwal ibunda sebagai penceramah membuat Rahmat harus sering antar jemput dengan motornya. “Kejadian itu membuat ibu saya sering ‘diceramahi’ anggota majelis taklim. Mereka bilang kenapa Ustazah tak bisa mendidik anak sendiri sampai penampilan berantakan begitu?” ujarnya tersenyum. “Tapi hebatnya ibu tak pernah menyampaikan protes jamaahnya kepada saya. Ibu baru menyampaikan setelah saya bekerja kantoran dan memotong pendek rambut.”

Meski sang ibu penuh pengertian, satu waktu kesabaran beliau meledak juga. “Kejadiannya waktu saya bilang ingin berhenti kuliah dan total main band. Ibu marah besar. Saya diultimatum harus keluar rumah dan tidak diakui sebagai anaknya. Kmau tetap jadi anak ibu, harus tinggalkan band. Saya pilih yang kedua. Alhamdulillah bisa lulus kuliah 4 tahun 3 bulan dengan IPK memuaskan,” ujar alumnus FE Universitas Andalas ini.  

Sejak itu mereka praktis selalu bersama. Apalagi setelah karier Rahmat menanjak dan sang ibu pensiun. Sejak Februari lalu ketika ibunda yang sudah sangat sepuh kembali sakit, Rahmat terus mendampingi bahkan untuk mengganti _pampers_ dan memandikan ibunda. Sebenarnya Rahmat mampu menyewa perawat namun memilih melakukan sendiri, “Ini tiket ke surga yang perlu diraih,” katanya penuh haru. “Semoga ibu memaafkan segala kekurangan saya dalam merawat beliau dan Allah SWT mengampuni dosa-dosa yang pernah saya lakukan kepada ibu, yang mungkin tanpa sengaja pernah saya lakukan dan menyakiti hatinya seperti pengalaman saya saat remaja dulu.”

Pengalaman Hervan dan Rahmat yang baru tahun ini berhari raya tanpa orang tua bisa dipastikan sangat berat. Dan itu bisa dimaklumi. Jangankan mereka yang baru pertama kali mengalami, bagi saya yang sudah berlebaran tanpa orang tua sejak 17-18 tahun lalu pun tetap tak mudah. Ibu saya, Asmaniar binti Barakan Sutan Rajo Ameh, wafat pada 4 Juli 2004 dan setahun kemudian menyusul ayah saya, Basral Sutan Ma’ruf bin Umar Datuk Batungkek, pada 30 Oktober 2005. Keduanya wafat dalam usia 62 dan 64 tahun. Setiap lebaran selalu muncul kerinduan yang menggenang lebih besar dibandingkan hari-hari biasa. Begitu mendera.

Kembali pada kisah Hervan dan Rahmat, kita mengancik pada pengalaman dua perempuan yang berkenan berbagi kehilangan. Keduanya adalah *Fryda Lucyana* dan  *Feri Herlina*, yang kehilangan ayah masing-masing akibat badai Covid-19 varian Delta pertengahan tahun lalu.

Ayah Fryda, H. Fadhly Ilhami, wafat pada 15 Juli 2021. “Tepat di hari puncak tertinggi kasus dan kematian akibat Covid-19 di tanah air. Hari itu ada 6.000-an orang yang meninggal di seluruh Indonesia dan Papa salah seorang di antaranya,” ujar penyanyi yang berkibar namanya di tahun 1995 lewat lagu _Rindu_ karya Eross Djarot. Sang ayah wafat di RSPP Extension Modular Simprug dalam usia 78 tahun.

Saat itu Fryda sendiri ikut terpapar Covid-19 namun berhasil sembuh. Begitu juga dengan ibundanya, R.rr. Sri Sumartinah. Ancaman varian Delta yang sedang tinggi-tingginya membuat pemakaman yang berjalan sehari sesudahnya di San Diego Hill, Karawang, harus berjalan dengan prokes ketat dan dilakukan secara _live stream_ agar keluarga besar bisa mengikuti. Begitu pun saat tahlilan yang dilaksanakan dengan hadirin sangat terbatas di rumah duka dan selebihnya melalui zoom—saya mengikuti di malam pertama.

Bagi Fryda yang merupakan anak tunggal, bulan Ramadhan biasanya menjadi momen “father and daughter” untuk berburu takjil dari lingkungan dekat rumah mereka di kawasan Cempaka Putih, Jakarta, tak jauh dari RS YARSI. Setelah itu mereka berbuka puasa bersama keluarga kecil mereka yang empat orang (plus suami Fryda, Adi Rachmanto).

“Ada 2 hal yang paling membuat Fryda kangen di lebaran tahun ini,”  ungkap penyandang gelar master (LL.M.) dari The University of Melbourne, Australia, yang berkhidmat di Kementerian Sekretariat Negara ini. “Pertama, sungkeman yang selalu mengharukan penuh derai air mata. Kedua, di hari pertama lebaran biasanya Fryda dan Papa selalu menunggu waktu untuk makan lontong lebaran buatan mama yang sedap dan sangat spesial karena hanya dibuat dua kali setahun, saat Idul Fitri dan Idul Adha. Ada menu spesial tumis sayur kacang panjang dengan kuah tauco Medan kesukaan Papa yang harus ada di antara opor ayam, rendang sambal goreng ati dan lontong. Papa biasanya ikut sibuk mengecek perkembangan masakan di dapur. Mulai tahun ini semuanya tak akan ada lagi. Mohon Al Fatihah dari Uda Akmal untuk Papa Fryda.”

Kisah terakhir dari *Feri Herlina*, 59 tahun, alumnus FMIPA Kimia ITB yang pernah bekerja selama 30 tahun di industri petrokimia di Cilegon sampai pensiun. 

Sang ayah H. Anwar Zen bin Zaini dan sang ibu Nusni binti Abdullah, wafat sama-sama di bulan Agustus tahun lalu. “Ayah saya positif Covid-19. Beliau wafat pada 21 Agustus 2021 dalam usia 92 tahun. Delapan hari kemudian pada 29 Agustus, ibu saya menyusul. Ibu tidak terpapar Covid, tapi setelah kematian ayah, semangat hidup ibu seolah ikut terbawa. Mereka berdua sudah menikah selama 68 tahun,” ungkap relawan di Responsible Care Indonesia—beranggotakan beberapa industri kimia tanah air—sebagai koordinator Capacity Building & Verification ini.

Kepulangan kedua orang tua ke Negeri Keabadian hanya dalam hitungan hari sangat memukul Feri, anak ke-4 dari 7 bersaudara. “Ini akan menjadi lebaran penuh air mata bagi kami tujuh bersaudara karena ayah dan ibu adalah perekat kami semua selama ini, Uda Akmal,” katanya terbata-bata. “Mereka berdua tinggal di Duri, Riau. Saya di Bogor dan saudara-saudara lainnya tersebar di berbagai kota. Biasanya kami _video call_ dengan ayah ibu setiap ba’da Subuh di hari libur kerja dengan maksimal 8 member sekaligus.”

Sebelum ini, hari jelang Idul Fitri selalu dipenuhi pertanyaan keduanya kepada anak-anak kapan mereka akan mudik ke Duri. “Pada hari kami mudik, biasanya ibu sudah menunggu di teras, _stand by_ di atas kursi rodanya. Bahkan sebelum bertemu kami, ibu akan mengorbankan jam tidur siangnya karena khawatir kami datang pada saat itu. Ibu tak mau melewatkan momen itu sehingga memilih menunggu di teras,” kenang Feri penuh haru. “Lalu pada hari pertama Ramadhan sepulang salat Ied karena ayah dan ibu adalah anak pertama di keluarga masing-masing, maka rumah mereka menjadi tempat berkumpul adik-adik mereka, paman dan tante saya yang membawa keluarga masing-masing, seluruh keponakan serta para cucu, dan kami silaturahmi, makan bersama sebagai keluarga besar. Ini momen yang tak akan pernah terlupakan dan tak pernah akan bisa tergantikan.”

Hervansjah, Rahmatullah, Fryda, dan Feri, adalah empat insan dari entah berapa orang umat Islam yang tahun ini untuk pertama kalinya tak berhari raya dengan orang tua tercinta. Namun hidup terus berjalan, kesedihan betapa pun dalamnya harus bisa diatasi. Dengan doa. Salah satu caranya dengan melanjutkan semua kebaikan yang mereka lakukan semasa hidup dan terus mendoakan. Ini adalah satu dari tiga amalan yang tak pernah terputus seperti sabda Nabi Muhammad s.a.w. ( _peace be upon him_), “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan doa anak yang saleh.” (HR Muslim).

Hikmah bagi pembaca yang masih bersama orang tua adalah agar memanfaatkan waktu sebaik-baiknya bersama ayah ibu sebelum kematian datang memisahkan. Karena saat ajal tiba, terputuslah masa untuk bercengkerama. Maka, gunakan waktu untuk berbakti kepada mereka sebaik-baiknya. Seikhlas-ikhlasnya.

Sebab, betapa pun pengabdian yang dilakukan untuk orang tua sejatinya tak akan pernah bisa menggantikan hatta untuk setetes air susu ibu dan sebulir keringat ayah.

Alfatihah untuk semua orang tua yang sudah mendahului kita dari hiruk-pikuk kehidupan dunia. Semoga Allah meridai mereka dan memberikan sebaik-baik ganjaran di sisi-Nya. 

30.04.22
(28 Ramadhan 1443 H)
*@akmalbasral*
Penerima penghargaan _National Writer’s Award 2021_ dari Perkumpulan Penulis Nasional Satupena.

Artikel Terkait