Nasional

Saiful Mujani: Kebebasan Sipil Harus Jadi Agenda Pokok Pergantian Kepimpinan Nasional

Oleh : very - Rabu, 18/05/2022 12:15 WIB

Kebebasan sipil harus menjadi agenda pergantian kepimpinan nasional 2024. (Foto: Ilustrasi Kompas.com)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Dalam 9 tahun terakhir, Indonesia mengalami kemerosotan dalam kehidupan berdemokrasi, terutama terkait kebebasan sipil. Karena itu, tantangan bangsa ini yang paling besar ke depan adalah berkaitan dengan kebebasan sipil.

Demikian dikatakan ilmuwan politik, Prof. Saiful Mujani, dalam program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode “Demokrasi Makin Mundur? Refleksi 24 Tahun Reformasi” yang tayang di kanal YouTube SMRC TV pada Selasa, 17 Mei 2022. Video utuh pemaparan Saiful Mujani bisa disimak di sini: https://youtu.be/7THIsVk57PQ

Karena itu, Saiful menyatakan bahwa Pemilu 2024 harusnya menjadi momentum yang baik untuk mempertahankan hak politik (political rights), tapi juga mestinya bisa memperbaiki aspek kebebasan sipil (civil liberties). Dia menjelaskan bahwa dalam banyak studi, perilaku elit politik bisa berpengaruh pada kondisi kebebasan sipil, misalnya kepastian aparat hukum untuk tidak melakukan tindakan sewenang-wenang adalah bagian dari kebijakan di tingkat elit.

“Seharusnya aspek kebebasan sipil menjadi salah satu agenda pokok dari pemimpin Indonesia ketika terjadi pergantian kepemimpinan nasional tahun 2024 nanti,” ujarnya di Jakarta.

Pernyataan pendiri SMRC ini berdasarkan data Freedom House dari 2013 sampai 2022. Data itu menunjukkan skor demokrasi Indonesia mengalami kemunduran dari 65 pada 2013 menjadi 59 pada 2022.

Saiful menjelaskan bahwa Freedom House melakukan studi secara rutin mengenai kebebasan. Studi ini meminta sejumlah ahli atau orang yang mengerti politik Indonesia untuk menceklis item-item yang menjadi indikator dari demokrasi, apakah kondisinya membaik atau memburuk. Freedom House melakukan studi terhadap semua negara di dunia, termasuk Indonesia.

Saiful melanjutkan bahwa studi yang dilakukan Freedom House mengukur kondisi demokrasi dengan melihat aspek kebebasan. “Mengapa kebebasan? Karena, per definisi, tak terbayangkan ada demokrasi tanpa kebebasan. Dasar dari sistem demokrasi adalah kebebasan. Karena itu, kebebasan di seluruh negara menjadi fokus perhatian Freedom House,” ujarnya.

Lembaga ini kemudian membuat skor antara 0 sampai 100, di mana semakin mendekati 100 semakin baik kondisi demokrasinya, sementara semakin mendekati 0 semakin buruk.

Ilmuwan politik lulusan Ohio State University, Amerika Serikat, ini memaparkan bahwa ada dua indikator demokrasi yang dipakai oleh Freedom House: political rights (hak-hak politik) dan civil liberties (kebebasan sipil).

Hak-hak politik antara lain menyangkut penyelenggaraan pemilu, yaitu apakah pemilu dilakukan secara jujur dan adil atau tidak, bagaimana pemerintahan berjalan, ada check and balances atau tidak, seberapa susah untuk ikut berkontestasi, dan seterusnya.

Saiful mencontohkan bahwa praktik sulitnya membuat partai politik di Indonesia menjadi indikator tentang Indonesia yang kurang membuka akses pada hak-hak politik.

“Semakin mudah orang atau warga untuk mengakses kontestasi dalam kekuasaan, maka itu adalah indikasi demokrasi semakin membaik,” kata Saiful.

Aspek yang lain adalah kebebasan sipil. Ini berkaitan, antara lain, dengan kebebasan untuk berbicara, berekspresi, mengkritik pemerintah, kebebasan pers, perlindungan pada minoritas, kebebasan beragama, berorganisasi, dan sebagainya.

Pada 2013, Freedom House menilai Indonesia masih dalam kategori negara free. Artinya aspek civil liberties dan political rights masih baik. Di antara negara-negara lain di dunia, Indonesia pada masa itu relatif lebih maju dalam hal demokrasi. Di Asia Tenggara, misalnya, Indonesia paling bagus dari aspek demokrasi.

“Kita kelasnya kurang lebih sama dengan India yang sudah puluhan tahun mengalami demokrasi,” jelas Saiful.

Begitu masuk 2014, skor demokrasi Indonesia mengalami penurunan. Dalam 9 tahun terakhir, Indonesia mengalami kemerosotan skor kebebasan, dari 65 pada 2013 menjadi 59 pada 2022.

Saiful menjelaskan bahwa total skor untuk aspek kebebasan sipil adalah antara 0 sampai 60, sementara untuk hak-hak politik adalah antara 0 sampai 40. Dilihat dari sini, lanjutnya, aspek hak-hak politik Indonesia lumayan baik, yakni berkisar di angka 30 atau sekitar 75 persen. Bahkan skor political rights Indonesia sempat menjadi lebih baik pada 2016 dan 2017, pada masa itu ada pilkada yang berlangsung dengan baik.

“Dilihat dari sisi political rights, menurut penilaian Freedom House, yang dijadikan rujukan di dunia untuk mengevaluasi kondisi demokrasi semua negara, aspek hak-hak politik Indonesia tidak buruk. Ini yang menyebabkan Indonesia sering disebut sebagai electoral democracy, negara demokrasi yang bisa cukup baik menjalankan pemilihan umum,” tegasnya.

Tapi, lanjut Saiful, demokrasi bukan hanya tentang pemilu, tapi juga aspek-aspek lain yang fundamental seperti melindungi hak-hak warga negara, terkait dengan keyakinan, beragama, dan sebagainya.

Dalam aspek kebebasan sipil, kondisi Indonesia cukup buruk, bahkan mengalami penurunan dari skor 35 pada 2013 menjadi 29 pada 2022. Karena itu, menurut Saiful, yang menyumbang kenapa demokrasi Indonesia memburuk adalah aspek kebebasan sipil.

Saiful mengambil contoh lemahnya kebebasan sipil pada kasus kematian enam anggota Front Pembela Islam (FPI) padahal sudah ditangkap oleh polisi tahun 2021. Hal yang sama pernah terjadi pada zaman SBY di mana jemaat Ahmadiyah diserang dan ada yang terbunuh di Cikeusik, Banten.

“Itu adalah indikasi bagaimana buruknya perlindungan pada hak-hak warga untuk berkeyakinan, berbeda pendapat, dan seterusnya,” pungkas Saiful. ***

Artikel Terkait