Opini

Srilanka & Refleksi Reformasi

Oleh : luska - Minggu, 22/05/2022 08:36 WIB

Oleh : Dr Muhadam Labolo (Dosen senior IPDN)

Krisis Srilanka mencapai puncaknya. Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa bersama kroninya dipaksa mundur. Tak terkecuali adik kandungnya, Presiden Gotabaya Rapaksa yang ogah mundur. Mereka diangggap paling bertanggungjawab atas kebangkrutan negeri mayoritas Budhisme itu. Kasus Srilanka mengingatkan kita pada reformasi '98. Penyebab utamanya ketidakseimbangan ekonomi yang meluas pada aspek sosial politik. 

Ibarat lumbung padi, sehelai daun kering tersambar api melumat seluruh sendi kehidupan. Beruntungnya, sebelum api kekesalan berubah menjadi revolusi, Indonesia mengambil jalan reformasi. Sebuah ijtihad mengubah keretakan menjadi Indonesia baru. Perubahan mencipta pengorbanan untuk masa depan yang lebih menjanjikan. Timor Leste lepas, termasuk mereka yang gugur sebagai pahlawan reformasi.

Dua tesis utama mengapa krisis Indonesia dimasa itu lekas usai dibanding revolusi melati yang melanda negara-negara di Timur Tengah beberapa tahun belakangan. Jawabannya, pengalaman sirkulasi rezim sebelumnya, serta surplusnya kaum terdidik dalam mengawal proposal transisi menuju Indonesia yang lebih baik. Alasan pertama belajar pada kejatuhan orde lama. Sirkulasi kepemimpinan orde baru dapat dijembatani walaupun pada akhirnya penikmat terbesar kue kekuasaan adalah elit militer dan sedikit teknokrat. 

Sayangnya, perlahan sumber daya dimonopoli selama 32 tahun lewat mekanisme sentralistik. Puncak kebesaran rezim orde baru mengalami kebangkrutan di awal '98. Kapabilitas ekstraktifnya melemah dan sulit terkontrol. Hal itu tak hanya dipengaruhi tekanan eksternal yang menekan rupiah di titik nadir, juga melambungkan hutang setinggi bintang di langit biru. Sementara tekanan internalnya lebih parah lagi. Arogansi kekuasaan, elitisme, kesenjangan pembangunan, korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi alasan rakyat meluber ke gedung wakil rakyat. 

Realitas ekstrem ini pada akhirnya mencapai titik konsensus dimana kaum terdidik mengambil posisi utama dalam menyelesaikan krisis. Proposal baru pasca reformasi berisi delapan agenda reformasi. Intinya, reformasi atas sistem politik dan pemerintahan di pusat dan daerah. Di pusat, otoritarianisme dipaksa berganti baju demokrasi. Di daerah, mekanisme sentralisasi menjadi desentralisasi. Perubahan sistem politik secara horisontal melucuti sedikit banyak kekuasaan eksekutif, membangun lembaga mezostruktur, serta meniadakan superioritas kekuasaan lembaga tertinggi negara. 

Perubahan itu sekaligus meletakkan _chek and balance system_ melalui amandemen konstitusi, membuka hak pers bersuara dan berserikat. Pada ranah vertikal perubahan mendasar mengubah sentralisasi ke arah desentralisasi. Daerah disilahkan mengatur dan mengurus rumah tangganya masing-masing dalam batas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semua isi proposal itu praktis dirampungkan oleh kaum terdidik dalam 10 tahun pertama.

Melewati 24 tahun kemudian, agenda reformasi tampaknya perlu dievalusi agar segenap capaian dapat di ukur ke arah Indonesia yang lebih baik. Tanpa itu, agenda-agenda besar seperti bagaimana melangkah ke demokrasi substansial hanya akan terjebak pada demokrasi prosedural. Perdebatan soal-soal penundaan jadwal pemilu, syarat ambang batas calon presiden, serta mekanisme perhitungan adalah sedikit contoh bagaimana demokrasi prosedur menyandera cita substansinya.

Sementara upaya mengendalikan harga minyak goreng, bahan bakar, separatisme, serta gejolak akibat tarik menarik kewenangan dalam bingkai otonomi, adalah contoh bagaimana demokrasi substansial tak banyak diperbincangkan dibanding kontribusi demokrasi prosedural bagi upaya pemajuan bangsa. Disini makna keberartian demokrasi subtansial di uji. Sebab apapun perubahan sistem politik dan dengan motivasi apa hingga tiap rezim mesti digantikan, muaranya hanya satu yaitu bagaimana rezim berikutnya mampu menjawab masalah dengan mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Artikel Terkait