Opini

Kelembutan Alam: Dialektika Tanpa Keserakahan

Oleh : luska - Selasa, 07/06/2022 09:20 WIB

Penulis : Noryamin Aini 
(Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)

"Hidup ini dinamis, terus bergerak. Karenanya, diam adalah opsi menjemput kematian-kehancuran". Realitas alam mengajarkan ini semua.

Sahabat!
Sifat dasar alam adalah perselisihan, persaingan, dan perebutan. Sifat dasar ini natural-original, tanpa rekayasa dan manipulasi. Karena alam tidak memiliki nalar rasional dan kepentingan pragmatis-ideologis. Alam mengikuti rumus determinisme sendiri. Ia tidak memendam, dan tidak obsesif merawat spirit ideologi keserakahan (kapitalisme).

Kant (w. 1804) seorang filosof Jerman, pernah mengajarkan keramahan dan kelembutan sifat natural alam tanpa keserakahan. Katanya:

Baca juga : UJI MIND-SET

*Manusia menginginkan harmoni (dinamika tanpa gesekan, tanpa persaingan, juga tanpa kekerasan). Tetapi alam lebih tahu apa yang baik untuk spesiesnya (golongannya). Alam menginginkan (dan meniscayakan) perselisihan*. Namun perselisihan itu tidak untuk memuaskan hasrat daftar keserakahan, dan kebencian, serta tidak juga untuk ideologi melanggengkan dominasi, penindasan, dan otoritarianisme. 

Sahabat!
Sebagai bagian dari alam (ciptaan Tuhan), manusia juga memiliki sifat dasar ini. Hidup kita, dalam catatan abadi sepanjang masa, selalu diwarnai dengan persaingan, perseteruan, perebutan, bahkan perkelahian, juga perang. Semuanya terkadang terlihat bengis tanpa sentuhan kemanusiaan. 

Sifat natural alam ini melahirkan dinamika dan pergumulan hidup untuk dapat bertahan (tanāzu' l-baqā, istilah anak-anak pesantren). Namun, ada satu hal yang dipangkas dan dikebiri oleh kesadaran manipulatif manusia dari watak natural alam. * Alam selalu menjaga kesimbangan dan keberlanjutan*. 

Alamiah itu indah, menawan, dan memenjarakan qalbu kita dalam kekaguman. Alam tidak meninggalkan jejak kerusakan, kehancuran dan kemusnahan lawan dan mangsanya. Alam memang memangsa sesama (kanibal) atau buruannya. Namun, semua itu mereka lakukan hanya sebatas standar kebutuhan untuk bertahan hidup; tidak untuk menumpuk demi hajat keserakahan yang kapitalistik.

Sahabat!
Manusia tanpa moral bengis-biadab. Kebengisan manusia tidak jarang telah melampaui (beyond) sifat dasar alamiahnya sebagai makhluk yang dibekali hati-qalbu yang penuh kasih. Kita selalu diingatkan bahwa (1) nafsu hanya mengenal, memanjakan, dan merawat egoisme dan eksploitasi, dan (2) nalar akal pragmatis, (bukan akal budi/reason seperti idea Kant), terbiasa mengabdi untuk merumuskan pijakan affirmatif guna melegitimasi kebengisan-eksploitasi tersebut. 

Maaf, apa yang tidak bisa? dan tidak boleh dalam bingkai nalar pragmatis yang supra akal-akalan? Selalu ada celah yang dapat diterobos nafsu dan akal "bulus" untuk membenarkan segala intrik kepentingan.

Sahabat!
Jika masa lalu kita ternoda dengan keserakahan, kebengisan, dan kedzoliman, itu adalah lembaran kisah kelam. Namun, hidup ini tidak hanya tentang masalah masa lalu yang sering menjerat kita dalam sesal; atau kompilasinya justru membuat kita tenggelam dalam kubangan hegemoni penjara kesedihan dan penderitaan masa lalu. 

Masa lalu adalah titik beranjak dan titian, jalan setapak kita untuk menaiki tangga kemuliaan dan kesempurnaan. Kita memang tidak dapat menghapus catatan masa lalu. Semua goresan itu dipatri dengan "tinta emas". Namun, tekad untuk menjadi lebih baik adalah prakondisi psiko-religi dan moral kita untuk taubat, melangit tinggi ke 'arasy kesempurnaan hidup, husnul khātimah.

Masa lalu adalah pengalaman. Kekinian dan kedisinian adalah kondisi obyektif kita yang harus dijalani, dinikmati dan dirasakan. Namun, masa depan adalah rangkaian impian manis dan surgawi yang harus hidup perjuangkan. *"Kita adalah adalah harapan masa depan".*

Yuk kita belajar kelembutan dan keramahan Allah alam. Ia mengajarkan resonansi, equilibrium, dan kesinambungan (sustainability). Sifat dasar alam adalah anti kerusakan, non destruktif, anti kebengisan dan penindasan.

Dalam asma-Mu ini, Ya Allah kami bermohon kemuliaan dan kesempurnaa. Allah maha Lembut (Lathīf), maha Menjaga (Hafīdz) maha Pengampun (Ghafūr); maha Pemaaf ('Afwu, dan Maha Pengasih lagi maha Penyayang (Rahmān dan Rahīm).

#Nafsu_tidak_mengenal_kasih_dan_kepuasan._Ia_hanya_mengenal_libido_
meminta_dan_tidak_akan_pernah_menyisihkan_moral_berbagi.

Pamulang, 7 Juni 2022

TAGS : Noryamin Aini

Artikel Terkait