Nasional

Proses Pidana Semua Pelaku Obstruction of Justice dalam Kasus Brigadir J

Oleh : very - Rabu, 10/08/2022 19:32 WIB

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat mengumumkan Ferdy Sambo sebagai tersangka dalam kasus kematian Brigadir J. (Foto: Suara.com)

Jakarta, INDONEWS.ID - Proses penyidikan kasus pembunuhan terhadap Brigadir J masih terus berkembang. Selain Bharada E, penyidik juga telah menetapkan Brigadir RR, Kuwat Maruf (KM), dan mantan Kadiv Propam Irjen Pol FS sebagai tersangka, sehingga sampai saat ini sudah ada 4 orang tersangka.

Di samping itu, sebanyak 56 personel Polri diperiksa terkait pembunuhan Brigadir J, sebanyak 31 orang diduga melanggar kode etik. Diantaranya, 11 personel telah dilakukan penahanan di Mako Brimob Polri.

Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus A.T. Napitupulu mengatakan sejak awal proses penyidikan kasus ini ICJR telah menyerukan pengusutan terhadap dugaan tindak pidana menghalang-halangi proses penyidikan ketika diketahui ada upaya menghilangkan bukti rekaman CCTV.

“Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto pada awal kasus ini dibuka ke publik sempat menyatakan bahwa kamera CCTV rumah tersangka Irjen Pol FS telah rusak dua minggu sebelum kejadian. Namun hingga saat ini masih belum jelas bagaimana kelanjutan proses pemeriksaan terhadap Kapolres Jaksel tersebut,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (10/8).

Di samping proses penyidikan terhadap kasus pembunuhan Brigadir J, ICJR kembali menyerukan bahwa proses penyidikan terhadap tindak pidana obstruction of justice yang dilakukan oleh para anggota Polri juga harus berjalan.

“Tidak hanya berhenti sampai sidang dan sanksi etik, namun proses pidana terhadap semua pelaku juga tetap harus ditempuh,” ujarnya.

Pasal 221 KUHP telah secara jelas mengatur ancaman pidana terhadap pihak-pihak yang menghilangkan atau menyembunyikan bukti-bukti dengan maksud supaya tidak dapat diperiksa untuk kepentingan penegakan hukum. Bahkan, hukuman terhadap pelaku yang menjabat sebagai aparat penegak hukum tersebut seharusnya bisa diperberat dibanding jika pelakunya warga sipil, sebab aparat tersebut diberi kewenangan besar yang kemudian disalahgunakan.

Erasmus mengatakan, kasus ini akan menjadi salah satu uji coba terkait penggunaan pasal 221 KUHP tentang obstruction of justice bagi pelaku yang justru berasal dari aparat penegak hukum. “Meski ke depannya ketentuan pidana terhadap obstruction of justice juga masih perlu diperkuat, khususnya dalam upaya pembaruan hukum pidana melalui RKUHP yang prosesnya masih bergulir saat ini,” katanya.

KUHP Indonesia sayangnya juga belum mengatur secara khusus terkait rekayasa kasus atau rekayasa bukti (fabricated evidence). Perbuatan yang juga tergolong sebagai menghalang-halangi proses peradilan (obstruction of justice) tersebut bisa dalam bentuk menyampaikan bukti, keterangan palsu, atau mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan palsu dalam proses peradilan.

Pengaturan ini perlu diperberat apabila dilakukan oleh pejabat dalam menjalankan proses peradilan serta diperberat lagi apabila pejabat melakukan hal tersebut dengan tujuan agar seseorang yang tidak bersalah menjadi dinyatakan bersalah oleh pengadilan atau dilakukan dengan maksud agar seseorang mendapatkan hukuman yang lebih berat dari yang seharusnya.

Karena itu, ICJR meminta Kapolri untuk melakukan proses pidana terhadap semua pelaku obstruction of justice yang terlibat dalam proses pengusutan kasus pembunuhan terhadap Brigadi J dengan sungguh-sungguh dan secara terbuka, tidak hanya berhenti sampai pemberian sanksi etik semata apabila ditemukan adanya indikasi tindak pidana.

“Meminta Presiden dan DPR segera merancang adanya mekanisme pengawasan yang lebih efektif dan independen terhadap proses penyidikan oleh polisi ke depan, untuk mengantisipasi jika terjadi kasus-kasus yang melibatkan adanya konflik kepentingan dan relasi kuasa di tubuh kepolisian,” ujarnya.

Belajar dari kasus seperti pembunuhan brigadir J, Kompolnas dan Propam tidak  mampu untuk menjalankan fungsi pengawasan itu, perlu ada satu lembaga khusus yang diberikan kewenangan untuk menyidik dan menuntut pidana dan etik oknum kepolisian, seperti gabungan fungsi KPK dan KY, namun berfokus pada pengawasan kepolisian, hal ini dikarenakan posisi sentral kepolisian dalam sistem hukum bahkan ketatanegaraan di Indonesia.

Selain itu, katanya, dalam proses penyusunan RKUHP saat ini perlu lebih tegas untuk mengatur pasal-pasal pidana tentang obstruction of justice, termasuk memastikan adanya pidana untuk rekayasa kasus dan rekayasa bukti, hingga mengatur pemberatan hukuman khususnya bagi pelaku pejabat atau aparat penegak hukum.

“Meminta Presiden dan DPR untuk segera mendorong adanya perubahan KUHAP untuk memastikan adanya pengawasan dan kontrol yang lebih efektif terhadap kewenangan dan perilaku polisi dalam sistem peradilan khususnya dalam melakukan fungsi penyidikan, perlu didorong penguatan peran kontrol dari Kejaksaan dan pengawasan dari pengadilan (judicial scrutiny),” pungkasnya. ***

Artikel Terkait