Bisnis

Diskusi Peluncuran Buku Bung Hatta, Koperasi Terbukti Ampuh Jadi Pilar Ekonomi Bangsa

Oleh : very - Sabtu, 13/08/2022 09:36 WIB

Diskusi peluncuran buku Bung Hatta jilid 8 yang berjudul, “Ilmu Ekonomi, Dunia Usaha dan Perkembangan Masyarakat” di Jakarta, Jumat (12/8). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Sebagai intelektual dan Bapak Koperasi Indonesia, Muhammad Hatta, yang merumuskan gagasan pokok ekonomi kerakyatan, patut diteladani karena sangat relevan dan kontekstual dengan kondisi kekinian masyarakat Indonesia dan di masa akan datang.

Konsep ekonomi kerakyatan yang dimanifestasikan melalui Koperasi telah terbukti mampu menjadi pilar ekonomi bangsa karena bertujuan meningkatkan kesejahteraan ekonomi anggotanya berdasarkan prinsip-prinsip gotong royong dan kekeluargaan.

“Koperasi juga menjadi cerminan dan ideologi falsafah Pancasila yang bertujuan memakmurkan dan mensejahterakan rakyat. Dituangkan dalam Pasal 33 ayat 1 UUD 1945. Karena itu, adalah tepat untuk merefleksikan kembali tentang pentingnya memiliki sistem ekonomi yang kuat, yang berbasis kerakyatan,” ujar Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia (PMK), Prof Muhadjir Effendi, yang tampil sebagai Keynote Speaker dalam acara peluncuran buku Bung Hatta jilid 8 yang berjudul, “Ilmu Ekonomi, Dunia Usaha dan Perkembangan Masyarakat” di Jakarta, Jumat (12/8).

Peluncuran buku yang dirayakan pada ulang tahun LP3ES ke-52 dan Peringatan 120 Tahun Bung Hatta itu juga dihadiri oleh pembicara lain yaitu Prof Dr Emil Salim, Ketua Dewan Redaksi Karya Lengkap Bung Hatta, Dr A Prasetyantoko, Rektor UNIKA Atma Jaya, Ismid Hadad, Ketua Pengurus Bineksos/Pendiri LP3ES, dan Prof Dr Didik J Rachbini, Ketua Dewan Pengurus LP3ES.

Menurut Muhadjir, dalam iklim Neoliberalisme Kapitalistik saat ini, koperasi memang menghadapi tantangan yang sangat berat. Tidak saja dalam konsep dan filosofisnya yang banyak kurang dipahami oleh generasi muda, namun juga dalam impelementasi koperasi.

“Karena itu harus ditanamkan kembali nilai-nilai dan pentingnya berkoperasi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sekaligus memperkuat perekonomian bangsa,” ujarnya.

Muhadjir mengatakan, koperasi harus mampu beradaptasi dengan sistem ekonomi liberal kapitalistik yang semakin menguat saat ini.

Dia mengatakan, Kemenko PMK telah menginsiasi aksi nyata “Gerakan Ayo Berkoperasi” agar anggota koperasi lebih berintegritas, punya etos kerja tinggi, dan mempunyai jiwa kebersamaan dan gotong-royong. Insiasi ini didukung oleh Kemenko Perekonomian, Kemen UKM dan BPIP.

“Gerakan Ayo Berkoperasi ditujukan untuk mendaratkan kembali konsep ekonomi kerakyatan terutama koperasi kepada generasi muda. Mulai usia SD sampai universitas dan diupayakan dipraktikkan dengan sebaik-baiknya. Diharapkan koperasi tidak hanya dipahami sebagai konsep tetapi juga diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari,” katanya.

Ismid Hadad mengatakan, relevansi membaca dan memperhatikan buku-buku Bung Hatta di era revolusi 4.0 saat ini terutama pada generasi milenial, adalah pentingnya penggunaan teknologi big data, internet of things, Artificial intelligence, robotic dan lain-lain. Hal ini juga telah diulas oleh Bung Hatta bahwa teknologi dan ilmu pengetahuan adalah faktor produksi yang netral karena itu, bisa digunakan oleh siapapun dan untuk kepentingan apapun, tergantung bagaimana manusia memanfaatkannya.

“Dia (buku ini) juga bisa digunakan sebagai instrumen cara pendekatan dalam mencari kebenaran dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Di zaman modern inipun bisa saja kita mengadopsi scenario teknologi digital, big data dan sebagainya dengan catatan harus berorientasi pada upaya untuk memecahkan persoalan ekonomi, sosial dan budaya bangsa,” ujar Ismid.

 

Intelektual yang Terlibat

Tony Prasetyantoko mengatakan, Bung Hatta merupakan sosok intelektual yang tidak duduk saja di belakang meja, atau berlindung dengan konsep dan teori. Tetapi dia adalah seorang intelektual yang terlibat.

“Bung Hatta adalah intelelektual yang sangat terlibat dalam proses perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan proklamator. Seorang intelektual organik tapi bukan intelektual tradisional. Bung Hatta juga wafat dalam posisi sebagai intelektual. Itulah luar biasanya seorang Bung Hatta,” ujarnya.

Prasetyantoko mengatakan, meski sempat mengenyam pendidikan tinggi di negara barat, namun Bung Hatta sama sekali tidak terkooptasi dengan pemikiran barat. Justru yang dilakukan adalah mengkontekstualisasi dan menerapkan kerangka pemikiran barat dalam konteks persoalan domestik Indonesia pada waktu itu. Bung Hatta tidak berusaha menjelaskan teori dan konsep barat yang tidak berbasis pada realitas domestik.

Dia mengatakan, “Buku Ilmu Ekonomi, Dunia Usaha dan Perkembangan Masyarakat” ini jika dibaca dalam konteks perkembangan ilmu ekonomi hari ini sepertinya akan tidak berbunyi apa-apa. Karena hari ini ilmu ekonomi adalah ilmu yang sangat teknokratik. Harus selalu menggunakan ilmu ekonometri, ekuasi matematika, dan terkesan mencoba melepaskan diri dari ilmu sosial. Lebih ingin diakui sebagai ilmu teknokratik yang penuh dengan rumus perhitungan matematika dan sebagainya.

“Pemikiran Bung Hatta pada buku ini justru mengingatkan kembali bahwa ilmu ekonomi adalah juga ilmu sosial. Bung Hatta ingin mengajak kembali pada kesadaran bahwa ilmu ekonomi sebagai bagian dari ilmu sosial,” ujarnya.

Prasetyantoko mengatakan, memperhatikan aspek-aspek sosial politik, kebudayaan dalam perspektif ekonomi saat ini menjadi penting. Dan itu persis yang ingin diajukan oleh bung Hatta dalam seluruh konstruksi pemikirannya yang tercakup dalam buku ke-8 ini. “Penerbitan buku ini adalah amat tepat waktu di mana kita sedang mendefinisikan ilmu ekonomi di tengah perubahan situasi yang terus terjadi,” ujarnya.

Aspek teknologi yang menjadi begitu dominan dalam disrupsi industri yang tengah berlangsung, katanya, begitu meningkat paska pandemi. Perkembangan teknologi terjadi dengan tidak terbayangkan sebelumnya. Tiba-tiba terjadi metaverse dunia yang masih sukar didefinisikan, karena memang belum terbentuk. Teknologi juga telah membuat “segala sesuatu” menjadi mungkin.

Sekarang, semakin dipercaya bahwa teknologi adalah juga faktor produksi dalam ekonomi, sama seperti modal dan human capital, natural resources. Sehingga amat dibutuhkan kebijakan dalam mengelola factor-faktor ekonomi itu untuk kemanfaatan bersama.

“Dan itu hanya mungkin kalau kita menempatkan ilmu ekonomi sebagai bagian dari ilmu sosial. Bukan mereduksi diri menjadi sebuah pendekatan teknokratik. Teknologi harus dimanfaatkan untuk kebaikan bersama. Iptek 4.0 harus dipahami bahwa teknologi hanya akan relevan kalau dia memberikan manfaat yang lebih baik bagi kesejahteraan masyarakat,” katanya.

Karena itu, kita dituntut untuk menemkukan praktik-praktik baik di level mikro sampai makro kebijakan ekonomi pada level negara. “Hal ini menjadi tantangan banyak negara seperti pada G20 Meet yang akan berlangsung di Indonesia,” ujanrya.

Sementara itu, Prof Dr Didik J Rachbini mengatakan pada Agustus ini usia LP3ES sudah lebih setengah abad. Penerbitan buku akademik bermutu terus berjalan sepanjang setengah abad tersebut. Pada peringatan ke-52 LP3ES dan 120 Tahun Bung Hatta ini, LP3ES menerbitkan tulisan beliau tentang ekonomi.

Didik mengatakan, saat ini paling tidak ada 30-60 negara didera inflasi. Harga-harga naik dan golongan bawah tidak bisa mencapai kesejahteraan seperti yang terjadi sebelumnya. “Akan bertambah miskin secara relatif dibandingkan waktu sebelumnya dari kenaikan harga pangan, BBM dan lain-lain,” ujarnya.

Di Indonesia, katanya, ada 2 wajah yang bercampur. Kita menerima rezeki dari kenaikan harga sawit, karet dan batubara dunia yang meningkat sehingga Kemenkeu/APBN berlimpah dana.

“Tetapi pada saat yang sama harga Pertalite telah mencapai Rp17 – 20 ribu per liter. Harga Pertalite domestik dijual separuhnya, yang berarti anggaran APBN, Pajak dan PNBP diambil oleh mereka yang punya mobil. Tetapi jika harga Pertalite dinaikkan maka harga-harga akan beranjak naik. Ada dilema yang dihadapi Pemerintah sekarang,” katanya.

Karena itu, katanya, jika subsidi pemerintah sebesar Rp500 triliun digunakan untuk membangun rumah rakyat, sekolah dan lain-lain maka akan bermanfaat banyak. Ironisnya yang menikmati subsidi itu juga para orang kaya. Penghematan harus dilakukan rakyat, meski kondisinya tidak seperti Pakistan atau Srilanka yang rusuh.

Kata Didik, kondisi Indonesia kini relatif lebih baik tapi tidak bisa dikatakan baik-baik saja. “Jika kebijakan masa sulit ini bisa dilakukan dengan baik maka masa sulit terlewati. Sebaliknya, jika kebijakan yang dilakukan sembrono, APBN dibiarkan jebol maka ekonomi Indonesia akan menghadapi masalah,” pungkasnya. ***

 

Artikel Terkait