Opini

Percepat Transisi Kendaraan Listrik

Oleh : luska - Jum'at, 09/09/2022 16:30 WIB

Oleh : Anif Punto Utomo

Subsidi energi sebesar Rp 502 triliun dimana separuh lebih untuk bahan bakar minyak (BBM) merupakan angka yang mengerikan. Dana besar yang bisa dialokasikan untuk mensejahterakan masyarakat, harus dibakar untuk subsidi kalangan mampu.

Kenaikan harga minyak yang berakibat pada membengkaknya subsidi perlu dijadikan momentum untuk segera bertransisi ke kendaraan listrik, baik mobil maupun motor. Apalagi telah terbukti bahwa mobil dan motor listrik jauh lebih hemat dibanding konvensional. 

Mobil listrik: Jakarta-Bali pernah dicoba hanya menghabiskan Rp 250 ribu sementara dengan mobil BBM (Pertamax dengan asumsi konsumsi 1:10km) habis Rp 1,2juta. Jadi untuk jarak sekitar 1.200 km perbandingannya Rp250 ribu : Rp 1,2 juta.

Motor listrik: Pengisian penuh 2kWh menghabiskan Rp3.000 dan cukup untuk 60 km. Untuk jarak yang sama motor skutik membutuhkan 1,5 liter RON 90 yang Rp 7.650 per liter atau menjadi Rp 11.475. Jadi untuk jarak 60 km perbandingannya Rp3.000 : Rp11.475.

Pengembangan mobil listrik pernah diinisiasi oleh Dahlan Iskan ketika menjadi menteri BUMN. Tapi karena dia tidak bisa meyakinkan Presiden SBY, maka inisiatifnya tidak mendapat dukungan dari pemerintah. 

Dahlan pun berjuang sendiri. Ia mulai dengan mengumpulkan para ahli mesin dan mobil listrik yakni Mario Rivaldi, Dasep Ahmadi, Ravi Desai, dan Danet Suryatama. Mereka pada 2012 mulai bekerjasama dan tergabung dalam tim yang dinamakan Tim Putra Petir.

Banyak yang tidak suka dengan kenekatan Dahlan. Jadi begitu SBY turun dan Dahlan tidak menjadi menteri, selesai semuanya. Mimpi Dahlan bukan hanya ambyar tetapi juga berujung ironis. Dahlan diincar, ujung-ujungnya salah satu anggota Tim Putra Petir harus berakhir tragis, masuk penjara gara-gara prototipe mobil listrik.

Jokowi sebetulnya peduli dengan pengembangan mobil listrik, namun dia tidak meneruskan langkah Dahlan. Jokowi lebih memilih konsentrasi dulu di jantungnya mobil listrik yakni industri nikel dan baterei.

Pemerintah menargetkan akan menghentikan penjualan motor bensin pada 2040. Setelah itu berlanjut ke 2050 menghentikan penjualan mobil bensin. Semua mengarah pada target utama yakni Net Zero Emmision tahun 2060.

Melihat kondisi seperti sekarang dimana harga minyak cenderung terus naik, target itu tampaknya perlu dipercepat. 

Beberapa strategi bisa dilakukan. Pertama seluruh kendaraan dinas pemerintah (pusat dan daerah) baik motor maupun mobil diwajibkan kendaraan listrik. Ini sudah mulai jalan dimana pada 2021, jumlah kendaraan listrik di instansi pemerintah sebanyak 13.236 unit mobil dan 39.883 unit motor. Target pada 2030 mencapai 531.513 unit mobil dan motor. Pelaksanaannya harus dikawal, jangan nanti ganti presiden target jadi kendor.

Hal yang sama seharusnya juga untuk BUMN, semua kendaraan yang dibiayai perusahaan wajib bertenaga listrik, baik yang beli maupun sewa. Jika ada karyawan yang akan membeli mobil atau motor, sarankan yang listrik dan beri fasilitas pinjaman yang menarik. 

Kedua, kendaraan umum taksi. Perusahaan taksi Blue Bird sudah mencoba mengawali memakai mobil listrik. Berlanjut pada 2022 dari 5.000 mobil yang dipesan, 500 mobil listrik. Pemerintah perlu memberikan insentif agar persentase mobil listrik lebih besar. Taksi hemat di bahan bakar dan perawatan.

Taksi online sudah ada yang listrik tapi sangat minim. Untuk mempercepatnya, Go Car dan Grab Car perlu memberikan fasilitas pinjaman pembelian mobil listrik. Pengemudi akan senang karena selain hemat, nantinya mobil juga menjadi milik sendiri. Hal yang sama bisa diberlakukan untuk ojek online, berikan fasilitas pinjaman untuk motor listrik.

Ketiga angkutan umum. Busway di Jakarta sudah uji coba bus listrik, nantinya jika ada pergantian bus mestinya semua diwajibkan bus listrik. Ini perlu diterapkan juga di kota-kota besar lain seperti Trans Jogja atau Trans Semarang. Di Palembang bahkan sudah satu langkah di depan, angkot mobil listrik. 

Keempat menyasar masyarakat umum. Pemerintah perlu mendorong bank, terutama bank BUMN untuk mempermudah pemberian pinjaman pembelian mobil listrik untuk masyarakat. Misalnya berikan bunga lebih rendah dibanding mobil ber-BBM. 

Tantangan pengembangan mobil listrik saat ini adalah harga yang masih mahal dan minimnya Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU).  

Menyiasti mahalnya harga pemerintah perlu memberikan insentif terutama terkait pajak. Pajak kendaraan mobil listrik yang sepersepuluh dari pajak mobil bensin yang sudah diterapkan sangat menarik. Harus ada kebijakan pajak lain agar bisa menurunkan harga.

Dalam penyiapan infrastuktur SPKLU –yang digarap Pertamina dan PLN-- tidak boleh tanggung-tanggung. Jangan menunggu mobil listrik banyak baru bangun SPKLU, tapi bangun dulu SPKLU untuk mempermudah pemakai mobil listrik. Infrastuktur itu sifatnya antisipatif bukan responsif.

Pada sidang G-20 di Bali 15-16 November nanti, seluruh fasilitas kendaraan mulai bus, mobil, sampai sepeda motor menggunakan bahan bakar listrik. Perhelatan tersebut bisa menjadi momentum gerakan konversi kendaraan listrik di Indonesia. 

Indonesia sangat berkepentingan dengan transisi kendaraan ber-BBM ke listrik. Jika semuanya kendaraan listrik, tak perlu lagi ribut kenaikan harga BBM, tak perlu lagi subsidi.  Kita juga tak perlu membuang ratusan juta dolar per hari hanya untuk mengimpor minyak mentah 800ribu barel. Itulah kenapa transisi perlu dipercepat. 

Artikel Terkait