
JAKARTA, INDONEWS.ID - Media sosial selama ini sudah menjadi ruang untuk bersosialisasi dan berinteraksi. Namun sayangnya, ruang ini justru berubah menjadi lingkungan yang seakan tanpa norma dan etika. Ajang eksistensi diri yang berlebihan dari aktivitas pendek berupa gerakan jari tersebut bahkan menjadi viral pun dianggap tujuan utama walaupun tampak tak bermoral.
Aktivis Media Sosial, Enda Nasution turut menanggapi krisis kesantunan netizen di sosial media yang kini menjadi fenomena tersendiri ditengah kemajuan teknologi informasi. Dirinya menilai percepatan literasi digital menjadi salah satu solusi efektif guna meringankan penyakit kronis netizen yang tak kunjung reda.
“Harus ada program-program yang lebih sistematis dalam rangka mengedukasi masyarakat tentang literasi digital tentang bijak bersosial media dan tentang dampak dari penggunaan media sosial yang kebablasan,” ujar Enda Nasution di Jakarta, Kamis (22/9/2022).
Dirinya melanjutkan, krisis kesantunan sejatinya sudah bukan hal baru bagi dunia media sosial dalam negeri, sehingga dirinya menganggap justru fenomena ini akan terus melekat dan menjadi bagian dari dinamika media sosial.
“Ini memang sesuatu yang tidak akan hilang dari kehidupan kita selamanya. Hal ini sama seperti kehidupan nyata, akan selalu ada peristiwa-peristiwa atau insiden-insiden yang memperlihatkan adanya kekerasan verbal atau kekerasan fisik,” tutur Enda seperti dikutip dari siaran pers Pusat Media Damai (PMD) BNPT.
Namun demikian, pria yang juga merupakan Koordinator Gerakan #BijakBersosmed ini mengatakan, hal tersebut tidak boleh semata-mata membuat seluruh pihak menutup mata bahwa fenomena tersebut memang berbahaya dan perlu diawasi.
“Tetapi tidak menutup mata juga bahwa memang ada insiden-insiden ekstrim lain yang terjadi di media sosial yang barang tentu telah membuat kita khawatir dan harus awas terhadap perkembangan yang terjadi di media sosial,” katanya.
Dalam kesempatannya, Enda Nasution juga mengungkapkan, fenomena hoax dan hatespeech sejatinya juga memiliki faktor pemicu. Terlebih ketika di tahun 2014-2016 frekuensinya cukup tinggi, yang sampai hingga saat ini juga belum kunjung hilang.
“Namun demikian, bisa kita analisa bahwa memang penyebaran hoax ini, juga dipicu oleh kejadian di dunia nyata terutama ketika ada konsentrasi politik, insiden bencana alam, hingga peristiwa nasional,” ungkapnya.
Menjelang tahun politik 2024 mendatang, Enda juga mengungkapkan bahwasanya media sosial akan kembali dimanfaatkan menjadi arena peperangan opini. Pasalnya, jangkauan media sosial dan kemudahan aksesnya dipilih karena efisiensinya dalam penyebaran informasi.
“Efeknya yang luas dan murah dan sudah terlihat dari sekarang bagaimana para politisi, capres, partai politik mulai membangun kanal-kanal komunikasinya di media sosial,”ujar pria kelahiran Bandung. 29 Juli 1975 ini.
Namun demikian, ia menekankan harus ada kesadaran bahwa kontestasi politik bukan berarti permusuhan dan jangan sampai menimbulkan perpecahan. Sehingga efek kontestasi politik tidak berujung pada perpecahan bangsa, tapi justru kita harus bisa menghargai mereka yang menang maupun mereka yang kalah. Dan setelah kontestasi berakhir maka yang menang adalah semua masyarakat sebagai bangsa Indonesia.
“Sehingga semua pengguna media sosial bertanggung jawab terhadap semua tindakan yang dilakukannya di media sosial. Ada aturan agama, ada aturan dari pemilik platform yang biasa kita sebut ketentuan layanan dan juga ada aturan hukum yang berlaku,” ujar pria yang mendapatkan julukan sebagai Bapak Blogger Indonesia ini.
Dan di atas itu semua ada etika dan sanksi sosial atas perilaku yang dilakukan oleh pengguna media sosial. Sanksi seperti blocking, unfriend atau unfollow atau mute. Yang mana itu semua adalah sanksi sosial yang bisa berlaku pada siapapun yang melanggar etika sosial di media sosial.
“Sehingga edukasi berupa informasi dan pengetahuan tentang bijak bersosial media serta literasi digital menjadi krusial, bukan hanya penegakan hukum saja,” kata pria yang juga Ketua Tim Jabar Saber Hoaks itu. ***