Opini

(Bagian Pertama)

Urgensi Menerapkan Good Corporate Governance dengan Nilai-nilai Indonesia bagi UMKM

Oleh : indonews - Selasa, 27/09/2022 11:57 WIB

Ridwan Zachrie, CFO - Seven Stones Indonesia, tergabung dalam Ikatan Alumni Universitas Trisakti, Lulusan S2 London School of Economic. (Foto: Ist)

 

Oleh: Ridwan Zachrie*)

INDONEWS.ID - Konsep ekonomi yang mengutamakan kepentingan kerakyatan dalam rangka mewujudkan ekonomi bangsa yang mandiri sangat relevan dikaitkan dengan situasi Indonesia saat ini; apalagi di tengah-tengah berbagai permasalahan bangsa sebagai dampak krisis ekonomi global. Berbicara tentang "Kemandian Ekonomi Bangsa", kita tidak bisa lepas dari Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang merupakan tulang punggung ekonomi nasional dewasa ini. Sektor ini menciptakan jutaan lapangan kerja dan berkontribusi dalam upaya pengentasan kemiskinan sehingga tidak berlebihan jika dianggap sebagai kunci dalam dinamika ekonomi nasional. Sayangnya, peran dalam meningkatkan nilai tambah ekonomi nasional masih belum sepadan dengan peranan strategisnya, sehingga UMKM sering terpinggirkan dalam percaturan ekonomi nasional.

Salah satu fokus penting dalam mewujudkan ekonomi bangsa yang mandiri adalah memberi perhatian secara khusus terhadap pemberdayaan tata kelola usaha yang baik (good corporate governance atau GCC) pada sektor UMKM. Sering kali penulis mendapat komentar bahwa GCG terlalu teoretis serta pertanyaan apakah penerapan tata kelola usaha yang baik atau GCG relevan untuk perusahaan dalam kategori UMKM? Faktanya, masih banyak yang menganggap konsep GCG sulit untuk diterapkan, apalagi bagi UMKM, karena masih banyak pandangan bahwa konsep ini terlalu akademis sehingga sulit diimplementasikan.

GCG telah mempunyai perjalanan panjang. Konsep awal GCG Iahir dari pengalaman Amerika Serikat (AS) yang harus melakukan restrukturisasi di lingkungan korporasinya setelah terjadi Wall Street Crash pada 1929. Beberapa pemikiran mengenai konsep GCG Iahir lewat monograf karya Adolf Augustus Berle dan Gardiner C. Means berjudul: "The Modern Corporation and Private Property (1 932, Macmillan). Beberapa jurnal ilmiah juga banyak menulis menenai konsep GCG di antaranya yang cukup berpengaruh dalam pengembangan teori GCG, adalah karya Eugene Fama dan Michael Jense dalam "The Separation of Ownership and Control" (Journal of Law and Economics, 1983), yang membahas Principal Agency Theory-nya. Dalam perjalanannya, GCG mengalami berbagai penyesuaian dan telah diaplikasikan di banyak perusahaan dengan berbagai ukuran.

Beberapa kriteria UKM di antaranya berdasarkan UU No. 9/1 995 tentang Usaha Kecil, disebutkan bahwa yang termasuk UKM antara lain adalah perusahaan dengan aset bersih sebesar 200 juta hingga 1 miliar rupiah (di luar tanah dan bangunan), kepemilikan oleh WNI, independen (bukan cabang atau anak perusahaan besar), dan dimiliki oleh perseorangan. Menilik skala UMKM yang relatif kecil, timbul pertanyaan: "Haruskah UMKM dengan struktur manajemen yang masih sederhana mengikuti jejak perusahaan-perusahaan besar, emiten pasar modal atau perusahaan BUMN dalam menerapkan GCG?" Secara tegas penulis katakan, "It is a must," karena penerapan tata kelola usaha yang baik akan menjadikan UMKM perusahaan tangguh dan berdaya saing tinggi dan tumbuh secara berkelanjutan.

Harus dicermati bersama bahwa GCG bukan semata-mata persoalan membentuk organ-organ perusahaan atau mengubah struktur organisasi perusahaan. Pada perusahaan UMKM, isu-isu GCG umumnya berkisar pada pertanyaan bagaimana menciptakan pengelolaan perusahaan yang profesional melalui penerapan sistem akunting dan keuangan yang memenuhi standar. Bagaimana manajemen dilengkapi dengan sistem teknologi informasi yang mendukung operasional perusahaan serta bagaimana meningkatkan pengetahuan manajerial dan penempatan sumber daya manusia yang efisien.

Isu-isu tersebut pada akhirnya akan bermuara pada terbentuknya Citra UMKM yang dapat diandalkan, profesional, transparan, dan bertanggung jawab sebagaimana menjadi tujuan utama penerapan GCG. Penerapan GCG akan semakin membuka akses terhadap dana-dana pinjaman, baik melalui bank lokal atau asing, maupun melalui pasar modal. Selain itu, UMKM juga akan memiliki akses yang lebih luas kepada pasar berskala nasional maupun internasional.

Pertanyaan selanjutnya adalah, pemberdayaan GCG yang seperti apa yang seyogyanya diterapkan di UMKM? Menjawab pertanyaan ini, penulis berpandangan bahwa Indonesia harus membangun nilai-nilai sendiri dari GCG, karena hanya dengan nilai-nilai GCG yang berkarakter Indonesia, kita akan mampu memberi landasan kuat terhadap pemberdayaan GCG tersebut.

 

Kegagalan Nilai-Nilai Barat dalam Penerapan GCG

Saya meyakini bahwa Indonesia harus membangun GCG khas Indonesia, yang terutama difokuskan pada sektor UMKM. Kita tidak perlu selalu berkaca pada konsep Barat dan memperlakukannya sebagai kebenaran mutlak. Saya mengambil contoh pada proses demokratisasi bangsa-bangsa Asia. Proses demokratisasi ala Barat yang diimpor secara bulat-bulat kemudian dipraktikkan di berbagai negara ternyata kurang efektif, bahkan sering menimbulkan kekacauan. Namun, jika negara Asia menerapkan demokrasi dengan caranya sendiri, ada kecenderungan munculnya tuduhan dari pengamat Barat bahvva negara tersebut belum berdemokrasi secara utuh. Artinya, dalam pemahaman nilai-nilai barat, konsep demokrasi yang dianggap paling tepat adalah konsep demokrasi Barat; dalam kata lain, apabila suatu negara belum menerapkan konsep Barat rasanya belum tepat secara intelektual, belum efisien dan belum optimal.

Sebelum membahas GCG dengan nilai-nilai Indonesia, penulis ingin memberikan pandangan tentang kegagalan korporasi Barat yang selama ini mengklaim sebagai jawara GCG.

Ketika raksasa korporasi keuangan dunia seperti Bear Stearns bertumbangan, timbul pertanyaan besar, mengapa hal ini bisa terjadi? Masyarakat umum yang mungkin tidak familier dengan istilah-istilah seperti derivatives, subprime mortgage, atau subprime crisis pasti mengenal Bear Stearns sebagai raksasa keuangan dunia. Lebih dari itu Bear Stearns dan investment company lain yang satu level seperti JP Morgan, Merryl Lynch, Goldman Sachs dan Morgan Stanley, juga dikenal sebagai raksasa keuangan dunia yang kreatif. Akhirnya Merryl Lynch dan Morgan Stanley memerlukan dukungan dana dari pemerintah USA untuk tetap bisa bertahan, bahkan pemerintah Amerika Serikat memerlukan dukungan dari pemerintah China dan Singapura untuk melakukan bailout tersebut.

Majalah Vanity Fair secara rinci mengulas detik-detik kejatuhan Bear Stearns, yang berfokus pada perdagangan obligasi dan sangat berpengalaman dalam mengembangkan berbagai produk investasi yang sesuai dengan profil dan keinginan pasar. Meskipun demikian, perusahaan yang memiliki legiun profesional kelas kakap dengan cadangan dana tunai sebesar USDI 8 miliar ini harus berjuang mati-matian untuk tetap bertahan, bahkan memerlukan dana talangan dari pemerintah Amerika Serikat sebesar lebih dari USD30 miliar hanya dalam beberapa minggu saja.

Pertanyaannya sekarang, apa yang salah sehingga perusahaan kelas dunia ini sampai mengalami krisis? Apakah ini sebatas masalah kecerobohan dalam pengelolaan ataukah memang suatu kenyataan bahwa situasi ekonomi global tengah memasuki masamasa suram? Apakah benar bahwa krisis keuangan sebabkan oleh industri keuangan dunia yang terlena dalam kemapanan sehingga tidak mengantisipasinya secara jeli risiko bisnis di masa mendatang, serta terlambat mengantisipasi tanda-tanda krisis sehingga akhirnya clunia menghadapi krisis ekonomi yang dahsyat? Lebih jauh lagi kita bertanya, apakah ini dikarenakan para pemain pasar ini tidak menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya atau dikarenakan sekelompok grup yang bermain-main dengan hukum dan aturan?

Lalu bagaimana pasar global seharusnya menyikapi hal ini? Kita harus dapat menggunakan momentum ini untuk belajar dari tragedi yang terjadi dan merefleksikannya melalui perubahan kebiasaan yang tidak baik dalam melakukan aktivitas bisnis. Bagaimana memulainya? Sebagai langkah awal, meskipun kita masih menantikan hasil investigasi terkait dengan krisis di Amerika Serikat, sesungguhnya yang lebih penting adalah bagi kita untuk mengintropeksi diri karena sebagai bangsa kita pernah terlena untuk merespons krisis keuangan Asia Tenggara tahun 1997, serta tragedi besar Iainnya seperti tumbangnya raksasa bisnis dunia seperti Enron, WorldCom, dan Arthur Andersen yang notabene merupakan perusahaan kelas dunia yang selalu dikagumi dan dijadikan sumber inspirasi.

Pengalaman tersebut di atas akan memberikan pelajaran berharga guna menjadikan diri kita sebagai bagian dari masyarakat korporasi yang baik (good corporate citizens). Selama ini kita menganggap enteng fakta bahwa globalisasi berarti kompetisi terbuka yang melibatkan seluruh komunitas bisnis dunia yang telah membawa kita pada situasi lingkungan berusaha yang semakin kompleks, saat krisis bisa terjadi sewaktu-waktu sehingga dunia bisnis harus selalu waspada dan bersikap antisipatif.

Krisis keuangan Asia Tenggara maupun kasus Enron dan Arthur Andersen makin mengingatkan kita akan peran penting dan manfaat penerapan GCG. Sangat disayangkan, dalam perkembangannya, banyak perusahaan masih belum melihat GCG sebagai suatu kebutuhan utama. Kebanyakan masih menggunakan GCG lebih sebagai sarana public relations atau alat promosi untuk mengklaim perusahaannya telah memiliki dan mengimplementasikan tata kelola perusahaan yang baik. Banyak perusahaan yang menerapkan GCG sebatas pada menyusun Laporan Pelaksanaan GCG yang bagus dan indah, sehingga dapat memberi kesan bahwa mereka juga menerapkan GCG. Pengalaman buruk raksasa dunia yang telah tumbang menjadi peringatan bagi kita semua khususnya dunia usaha, untuk mengubah sikap dan menerapkan GCG secara serius dan fokus pada substansinya.

Manfaat penerapan GCG dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, GCG akan membantu korporasi dalam membangun kebiasaan untuk secara serius mendorong pengembangan perusahaan dengan tetap menjaga tingkat kesehatan perusahaan serta untuk menyadari pentingnya memahami situasi pasar dan lingkungan tempat perusahaan beroperasi dengan baik. Selain itu, GCG juga mendorong kita untuk memahami dan menjunjung tinggi kepentingan karyawan dan para pemegang saham.

Kedua, GCG membantu para CEO dan profesional untuk memahami berbagai tantangan dan secara kreatif mengubah tantangan menjadi peluang.

Ketiga, GCG membantu para eksekutif perusahaan untuk secara alami membentuk budaya disiplin yang kuat dan perencanaan yang matang dan berkesinambungan.

Beberapa waktu lalu, ketika media internasional memberitakan kondisi berat yang dihadapi salah satu perusahaan automotif raksasa di Amerika untuk dapat menyelamatkan diri dari dampak krisis finansial, perusahaan automotif raksasa Jepang Toyota, seperti dilaporkan oleh Asian Wall Street Journal, justru mencatat kenaikan laba sebesar 17 persen. Ketika banyak perusahaan berjuang untuk bertahan karena makin tingginya biaya produksi, Toyota justru sibuk menghitung keuntungan dari pendapatan penjualannya.

Banyak pakar keuangan meyakini bahvva faktor utama yang mendasari keberhasilan Toyota adalah komitmen jangka panjangnya yang menganggap penerapan GCG sebagai proses penemuan yang kemudian dijalankan untuk meraih keuntungan. Jauh sebelum tren GCG disuarakan oleh para politisi atau pakar-pakar keuangan, Toyota sudah memulainya sebagai sesuatu nilai dasar yang ditulis di setiap dinding kerja para karyawan.

Sangat disayangkan apabila pengalaman buruk yang terjadi pada Enron, Worldcom, Arthur Andersen, dan Bear Stearns tidak cukup untuk semakin menyadarkan kita agar segera mengkaji keseriusan dalam menerapkan GCG. Apabila kita masih memikirkan saat yang tepat untuk menerapkan GCG atau justru malah berencana menundanya, barangkali diperlukan krisis lebih besar lagi untuk menggugah keinginan kita.

 

Membangun Nilai-Nilai Sendiri dari GCG

Kegagalan nilai-nilai Barat dalam penerapan GCG memberikan pelajaran berharga akan pentingnya Indonesia dalam membangun nilai-nilai sendiri dari GCG, khususnya untuk UMKM yang merupakan tulang punggung ekonomi nasional.

Sebagai ilustrasi, di Amerika Serikat, hampir 90 persen dari 15 juta usaha adalah UMKM atau usaha keluarga. Dari jumlah tersebut, hanya 13 persen yang bertahan hingga generasi kedua dan hanya 10 persen yang bertahan hingga generasi ketiga.

Di Indonesia, UMKM adalah tulang punggung ekonomi, sehingga sudah sewajarnya menjadi komitmen bangsa untuk memperkuat sektor UMKM melalui penerapan GCG. Selama ini, peran UMKM cenderung menjadi jargon dan komoditas politik. Perlu langkah-langkah yang cepat dan taktis dari pemerintah Indonesia untuk secara khusus memberi perhatian dalam penerapan GCG berkarakter Indonesia di IJMKM. Prinsip dasar GCG sangatlah universal, yaitu Transparansi, Akuntabilitas, Responsibilitas, Independensi, dan Fairness"—TARlF. Sedangkan, norma-norma penerapannya harus disesuaikan dengan nilai-nilai suatu bangsa.

 

Regulasi Berdasarkan Aturan atau Norma?

Konflik yang sering terjadi bersumber pada ketidakcocokan antara prinsip GCG yang Barat dengan praktik bisnis di Asia. Saat ini adalah saat yang tepat untuk membangun "GCG khas Asia atau Indonesia", mengingat Asia semakin menjadi lokomotif ekonomi dunia, terutama setelah terjadinya resesi ekonomi global saat ini.

Dalam membandingkan sistem berbasis aturan dan norma, kita perlu menyadari bahwa komunitas sosial di Barat berinteraksi berdasarkan kepentingan dan tujuan bersama. Oleh karena itu, dunia usaha di Barat menggunakan kerangka dan sistem perundang-undangan yang berbasis kepada peraturan. Sistem tersebut kurang sesuai untuk diterapkan di Asia. Hal ini terutama karena secara sosiologi, komunitas Asia berinteraksi berdasarkan hubungan antara individu yang lebih diatur oleh nilai-nilai norma dan adat, bukan oleh nilai-nilai hukum.

Walaupun sistem perundang-undangan di Asia saat ini masih banyak yang berbasis pada peraturan, menurut hemat saya hal tersebut lebih dikarenakan peninggalan zaman kolonialisme Barat yang sempat menguasai Asia untuk jangka waktu cukup lama. Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi di Asia, banyak peraturan dan perundangan disesuaikan dengan dinamika masyarakat Asia saat ini.

Praktik bisnis di Asia yang banyak didominasi oleh perusahaan keluarga dengan karakter unik dan berbeda satu sama lain sering kali tidak sesuai dengan prinsip-prinsip GCG di Barat. Akibatnya banyak perusahaan Asia yang dituduh tidak profesional, tidak dapat dipercaya, memanipulasi sistem, dan lain sebagainya. Paradigma ini perlu diubah. Selama dekade terakhir ini, keinginan untuk mengedepankan Nilai-Nilai Asia semakin terbuka seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan. Banyak politikus maupun akademisi menggunakan konsep "Nilai-Nilai Asia” untuk berbagai tujuan, di antaranya untuk melegitimisasi sistem politik yang berlaku sebagai ”gaya Asia". Ada pula yang menggunakan konsep ini sebagai upaya untuk memproteksi dan kemudian melegitimisasi konsep good governance dan good society dari pengaruh-pengaruh Barat.

Tldak clapat dimungkiri bahwa "Nilai-Nilai Asia" telah menjadi faktor penting dalam terciptanya perubahan pesat dan mengagumkan yang terjadi di beberapa negara Asia, terutama di India dan China. Saya ambil contoh raksasa korporasi India, Tata Group yang pertumbuhan usahanya di tahap awal sering ditertawakan oleh media Barat sebagai "anak kampung" yang tidak pandai berbisnis. Eric Ellis, penulis majalah [orbes bahkan menulis Tata dengan gaya sinis menyebutnya sebagai replika dari India yang terus-menerus kehilangan kesempatan karena profesionalisme yang rendah. Nyatanya, Tata Group saat ini diakui bukan saja sebagai kelompok usaha Asia paling berhasil tapi juga paling dihormati.

Contoh lain adalah Grup Hutchison Whampoa yang sudah lebih modern milik miliarder Hong Kong Li Ka Shing. Perusahaan ini pun tidak luput dari jeratan praktik tata kelola ala Barat. Bahkan beberapa tahun yang lalu ketika Li Ka Shing sudah menjadi orang terkaya di Asia, media dan investor Barat masih menuduhnya tidak transparan dan melanggar GCG ketika Li memberikan pinjaman dana kepada kawannya seorang Bankir Investasi, Francis Leoung. Dana tersebut digunakan untuk membeli saham PCCW, sebuah perusahaan telekomunikasi raksasa yang dikuasai Richard Li, anak tertua dari Li Ka Shing. Padahal Richard Li sudah membuktikan berkali-kali bahwa ayahnya tidak ada sangkut paut sama sekali dengan transaksi yang sangat sensitif tersebut. Akhirnya, transaksi tersebut tetap berjalan dan para investor, bankir, dan media Barat jugalah yang memuji-muji Keluarga Li atas kepiawaian bisnisnya.

Sejauh mana konsep "Nilai-Nilai Asia" dalam pemahaman GCG dapat berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi Asia sangat bergantung pada kemampuan bangsa Asia sendiri—termasuk Indonesia, dalam melakukan proses seleksi dan integrasi prinsip-prinsip universal GCG ke dalam "Nilai-Nilai Asia". Di era globalisasi, barang, jasa dan modal bergerak melintasi batasbatas negara. Oleh karena itu, diyakini keberhasilan penerapan "Nilai-nilai Asia" mengenai GCG hanya akan menjadi beban jika tidak ada komitmen untuk menerapkannya sesuai dengan norma dasar yang berlaku di Asia. Lagi-lagi komitmen merupakan kunci sukses.

Para pemegang saham dan masyarakat luas mungkin bingung dengan konflik atau ketidakcocokan antara prinsip GCG Barat dan praktik bisnis di Asia. Apabila kita tidak mulai mencarikan solusinya dengan membangun "Nilai-Nilai Asia dari Konsep GCG" itu sendiri, tatanan perekonomian dunia yang kemungkinan akan berubah pascaresesi global saat ini akan semakin membingungkan perusahaan-perusahaan beserta stakeholder-nya di Asia. ***

*) Oleh: Ridwan Zachrie, CFO - Seven Stones Indonesia, tergabung dalam Ikatan Alumni Universitas Trisakti, Lulusan S2 London School of Economic.

 

 

Artikel Terkait