Opini

Malapetaka Kanjuruhan dan Mentalitas `Bukan Saya`

Oleh : indonews - Rabu, 12/10/2022 10:15 WIB

Arief Gunawan, penulis adalah pemerhati sejarah. (Foto: RMOL)

Catatan: Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.

Jakarta, INDONEWS.ID - ORANG Belanda waktu menjajah melekatkan dua ciri umum tentang kebiasaan orang Indonesia. 

Yaitu niet schoon en niet op tijd.

Kurang menjaga kebersihan dan tidak tepat waktu.

Saking kurang memiliki penghargaan terhadap waktu, konon kata “telat” berasal dari serapan bahasa Belanda dan Inggris, yaitu dari kata “laat” dan “late”.

Mochtar Lubis di tahun 1977 pernah mencari “siapa sebenarnya orang Indonesia”.

Melalui pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki ia melakukan otokritik terhadap watak lemah manusia Indonesia umumnya,  yang disebutnya berciri hipokrit, ABS (Asal Bapak Senang), dan suka mengatakan “bukan saya” untuk melempar tanggung jawab.

Otokritik ini mengundang banyak reaksi. Namun diakui kebenarannya, karena dimaksudkan untuk self correction, dan membangun mental positif bangsa.

Mentalitas “bukan saya”  pada diri elit kekuasaan esensinya merefleksikan sikap pengecut, karena ketakutan kehilangan priviledge.

Dalam perspektif priyayi feodal yang mengabdi kepada kepentingan  kolonial tanggung jawab bukan merupakan bagian dari bukti pengabdian yang ditujukan kepada rakyat.

Sebagai kasta sosial tinggi golongan priyayi harus memelihara sikap status quo, sehingga di dalam bekerja menekankan “apa yang elok, bukan apa yang seharusnya”. Karena itu  tanggung jawab bukan urusan mereka.

Itulah misalnya tatkala Budi Utomo didirikan sebagai organisasi yang memberikan pertanggungjawaban sosial kepada masyarakat, golongan priyayi konservatif khawatir, karena dianggap mengancam kedudukan mereka, sehingga membentuk perkumpulan tandingan bernama Regenten Bond Setia Mulia pada tahun yang sama dengan kelahiran Budi Utomo, 1908.

Mentalitas “bukan saya” esensinya juga sama dengan ucapan YNTKTS,  “Ya Ndak Tau Kok Tanya Saya".

YNTKTS adalah salah satu bentuk melempar tanggungjawab, karena tidak adanya kemampuan dan kapasitas kepemimpinan.

Mentalitas seperti ini yang menyebabkan negara sekarang semakin berantakan, karena para elit kekuasaannya merasa tidak punya beban, sebab menganggap beban ditanggung oleh rakyat, seperti yang berlangsung saat ini.

Akibatnya semakin banyak pelaku yang merupakan pemicu malapetaka kemanusiaan di negeri ini bebas berkeliaran begitu saja. Seperti terlihat dalam kasus Malapetaka Kanjuruhan.

Mentalitas “bukan saya” dan YNTKTS kini sudah menjadi mindset umum elit kekuasaan di eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Di Mahkamah Konstitusi misalnya, mentalitas “bukan saya” diperlihatkan tanpa malu oleh para hakim konstitusi, meski peraturan ambang batas 20 persen bagi pencalonan presiden tidak ada di dalam Undang-undang Dasar ‘45. Mentalitas serupa juga diperlihatkan oleh Ketua Umum PSSI.

Mengutip pernyataan tokoh nasional Dr Rizal Ramli di akun twitter-nya baru-baru ini, karakter seperti itu tidak pernah dicontohkan oleh para pemimpin pergerakan Indonesia di era perjuangan kemerdekaan dulu.

Tradisi para tokoh pergerakan kemerdekaan kala itu, menurutnya, umumnya berlandaskan karakter dan idealisme. Berani memimpin berarti berani mempertanggujawabkan kepemimpinan.

Di era itu para pemimpin pergerakan masuk-keluar penjara untuk mempertanggungjawabkan idealisme dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa, dan setelah mendapat kepercayaan rakyat didaulat menjadi pemimpin.

Di era sekarang justru sebaliknya, terlampau banyak figur yang tak memiliki kapasitas dan integritas menjadi pemimpin, akibatnya banyak yang mendekam di dalam penjara, karena kasus korupsi dan perbuatan tercela lainnya.

Kini semakin terbukti ucapan Bung Hatta:

Bangsa besar ini, di zaman besar dan abad besar ini, hanya lahir penguasa-penguasa kerdil yang mengkerdilkan bangsanya sendiri.

Kerdil oleh karena mentalitas “bukan saya”, dan ucapan memalukan “Ya Ndak Tau Kok Tanya Saya" alias YNTKTS. ***

Artikel Terkait