Nasional

Dekopin Tolak RUU PPSK: Itu Merusak Koperasi!

Oleh : Rikard Djegadut - Kamis, 10/11/2022 13:18 WIB

Wakil Ketua Dekopin Raliansen Saragih (kedua dari kiri) bersama Ketua Umum Dekopin Nurdin Halid (keempat dari kiri) dan jajaran pimpinan Dekopin lainnya saat beraudiensi dengan Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki (kedua dari kanan), usai Munas Dekopin 2019 lalu.

Jakarta, INDONEWS.ID – Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) menolak keras Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) yang memaksa badan usaha koperasi simpan pinjam (KSP) berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebab, RUU itu memiliki daya rusak terhadap perkoperasian di Indonesia.

Selain tidak memiliki landasan yuridis, sistem dan cara kerja koperasi sangat berbeda dengan bank. Pemaksaan tersebut juga melucuti tugas pokok dan fungsi Kementerian Koperasi dan UKM sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Sikap tegas Dekopin itu merespons penolakan terhadap RUU PPSK yang belakangan semakin nyaring terdengar dari para penggiat koperasi di seluruh Tanah Air. Penolakan keras terutama datang dari para pelaku usaha koperasi simpan-pinjam (KSP), termasuk koperasi kredit dan koperasi syariah.

Dalam RUU PPSK Pasal 191, 192, dan 298, koperasi ditempatkan di bawah pengawasan OJK. Pengawasan oleh OJK termasuk pemberian dan pencabutan ijin koperasi. Gerakan koperasi menolak keras RUU PPSK karena koperasi yang berasaskan kekeluargaan dan gotong-royong memiliki prinsip dasar dan peraturan sendiri (self regulation) yang jauh berbeda dengan dunia perbankan.

“Penolakan terutama menyangkut pengalihan pengawasan KSP yang saat ini berada di bawah kewenangan Kementerian Koperasi dan UKM, dipindahkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Para pegiat koperasi, khususnya KSP, kuatir apabila kewenangan pengawasan KSP berada di bawah OJK, maka sistem pengawasan terhadap perbankan akan diperlakukan sama terhadap KSP. Padahal, kedua lembaga ini (bank dan koperasi) sangat berbeda dalam berbagai hal,” ujar Raliansen Saragih, Wakil Ketua Umum Dekopin Bidang Advokasi dan Perundangan melalui press release, Rabu (9/11/2023).

Koperasi Bukan Bank

Selama ini, pembinaan dan pengawasan terhadap koperasi berada di bawah Kementerian Koperasi dan UKM dan bukan di bawah OJK karena terdapat perbedaan filosofi, asas, sistem, dan cara kerja antara koperasi dengan bank. Karena itu, perbankan berada di bawah UU OJK sebagaimana diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, sedangkan koperasi di bawah UU Perkoperasian berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Raliansen menegaskan, pemaksaan OJK mengawasi usaha simpan pinjam koperasi konvensional maupun syariah tidak mempunyai landasan yuridis, karena dalam UU OJK tidak ada pasal yang mengatur tentang pengawasan kepada koperasi.

“Di sisi lain, RUU PPSK justru menambah inequality policy yang melukai hati penggiat koperasi selama ini, yaitu tidak adanya lembaga penjaminan simpanan koperasi, dengan alasan pragmatis yang sangat mendiskreditkan koperasi. Alasan yang mengkerdilkan peran koperasi sebagai pelaku usaha yang dilindungi Konstitusi UUD 1945 dan beranggotakan 27 juta orang yang tersebar di seluruh pelosok Tanah Air,” kata Raliansen.

Dijelaskan fakta bahwa banyak masalah terjadi di koperasi-koperasi kita. Namun, fakta lain menunjukkan bahwa banyak juga koperasi yang baik dan benar, seperti koperasi kredit dan koperasi syariah yang dikelola berdasarkan jadiri koperasi. Keberadaan koperasi-koperasi yang baik, sehat, besar dan sukses itu justru nyaris tidak dibina oleh pemerintah.

Koperasi-koperasi itu, demikian Raliansen, tumbuh dan berkembang baik dan sehat karena berpegang teguh pada nilai dan prinsip-prinsip koperasi. Bahkan, banyak koperasi yang omzetnya mencapai miliaran hingga triliunan rupiah dengan anggota ratusan ribu orang.

“Harus kita akui juga bahwa pengawasan usaha koperasi simpan pinjam yang dilakukan oleh Kemenkop dan UKM selama ini lemah dan boleh dikatakan gagal. Buktinya, dari beberapa KSP yang gagal bayar sampai masuk ke ranah pengadilan, sebagian besar adalah KSP yang dibangga-banggakan Pemerintah,” tegas Raliansen.

Tidak Melibatkan Dekopin

Kisruh RUU PPSK ini tentu saja menambah kegelisahan dan kekuatiran Dekopin sebagai wadah tunggal gerakan koperasi Indonesia. Di satu sisi, Pemerintah semakin mengabaikan keberadaan, fungsi dan peran Dekopin seperti dalam perumusan dan pembahasan RUU Perkoperasian. Di sisi lain, pemerintah sendiri terus-menerus menggerus/mempreteli tugas pokok, fungsi, dan tanggungjawab Kementerian Koperasi dan UKM.

“Kami harus tegaskan di sini bahwa sejak dari awal perumusan RUU PPSK maupun RUU Perkoperasian, Pemerintah tidak melibatkan Dekopin hasil Munas di Makasar tahun 2019. Padahal, sesuai UU Koperasi Nomor 25 Tahun 1992, Dekopin adalah mitra pemerintah yang berfungsi sebagai wadah untuk memperjuangkan kepentingan dan bertindak sebagai pembawa aspirasi koperasi,” kata Raliansen.

Dengan demikian, lanjut Raliansen, Dekopin samasekali tidak ikut bertanggung jawab terhadap gonjang ganjing penolakan para pegiat koperasi terhadap RUU tersebut. Bahkan sudah ada yang memulai ancang-ancang akan mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi apabila RUU tersebut disahkan menjadi UU.

Hal krusial lain ialah bahwa kewenangan penerbitan badan hukum dan perubahan Anggaran Dasar Koperasi yang sebelumnya adalah kewenangan Kemenkop dan UKM, saat ini sudah menjadi kewenangan Kemenkumham.

“Jika Kemenkop dan UKM sudah menyerah untuk melakukan pengawasan terhadap Koperasi, khususnya koperasi yang bergerak dalam usaha simpan-pinjam, maka gerakan koperasi perlu mengajukan pertanyaan penting: masih adakah tugas pokok dan fungsi Kemenkop dan UKM yang tersisa?” demikian pertanyaan retoris Raliansen.

Tidak jarang juga, lanjut Raliansen, kerap terdengar bagaimana keengganan kementerian dan lembaga terkait untuk membina koperasi. Mengapa? Karena, apabila mereka membina dan koperasi berkembang dengan baik, maka yang mendapat nama adalah KEMENKOP dan UKM. Bila demikian adanya, kata Raliansen, apa tidak sebaiknya pembinaan koperasi diserahkan kepada kementerian teknis sektoral yang sesuai dengan bidang usaha koperasi.

Raliansen mencontohkan, koperasi yang usahanya di bidang pertanian, dibina oleh Kementerian Pertanian. Koperasi yang usahanya di bidang perdagangan dibina oleh Kementerian Perdagangan. Koperasi Perikanan dan Nelayan dibina oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan seterusnya.

“Apabila hal itu menjadi kebijakan pemerintah, maka Kemenkop dan UKM tinggal sebagai koordinator. Tetapi untuk fungsi koordinasi sudah ada Kementerian Koordinator. Kalau demikian adanya berarti Kemenkop dan UKM bubar karena tidak ada gunanya lagi. Dan, bubarnya Kemenkop dan UKM bisa menjadi ‘prestasi’ luar biasa Menteri Koperasi dan UKM saat ini,” pungkas Raliansen.

Artikel Terkait