Opini

Organisasi Itu Namanya G20 (2): Soal Turbulensi Sampai Zero Tolerance

Oleh : luska - Kamis, 10/11/2022 14:25 WIB

Penulis : Prayono Atiyanto (Pengamat dan Praktisi Hubungan Internasional)

Tulisan ini adalah bagian kedua. Pada bulan April 2022 saya menulis soal turbulensi G20 sampai Jokowi’s Formula. 

Sebagaimana perumpamaan yang saya gunakan sebelumnya pesawat dengan nomor penerbangan G20 telah bersiap melakukan pendaratan membawa delegasi dari negara-negara anggota G20 dan negara undangan di Bali untuk menghadiri pertemuan akbar KTT G20, 15-16 November 2022. Semua persiapan untuk pendaratan telah dilakukan dengan sangat seksama. Check, recheck, double check, and triple check.

Presidensi Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden G20 telah menyatakan bahwa Indonesia siap menerima para tamu undangan dan melaksanakan KTT G20. Pernyataan ini disampaikan setelah melakukan pemeriksaan persiapan-persiapan untuk pelaksanaan KTT. Sudah dipastikan 17 Kepala Negara/Kepala Pemerintahan akan hadir. 

Yang selalu menjadi salah satu isu menonjol menjelang KTT G20 kali ini adalah soal kehadiran Presiden Rusia, Vladimir Putin dan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy. Sebagaimana diberitakan media massa, Presiden Jokowi sudah melakukan komunikasi telepon langsung baik dengan Presiden Putin maupun Presiden Zelenskyy. Berita terbaru sebagaimana diungkap detiknews (10 November 2022) sudah dipastikan bahwa Presiden Putin tidak akan hadir.

Turbulensi

Turbulensi yang menerpa G20 memang masih berlanjut. Akar masalah dari turbulensi memang belum bisa diatasi yaitu perang di Ukraina. Misi damai (saya juga menyebutnya diplomasi merah putih) yang dilakukan Presiden Jokowi belum bisa menenangkan Presiden Putin dan Presiden Zelenskyy. Memang sulit karena banyak faktor luar yang berperan. Kita semua tahu bahwa pada akhirnya Ukraina menjadi medan perseteruan proxy antara AS dan sekutunya di satu pihak dan Rusia dan pendukungnya di lain pihak. Pada kenyataannya perseteruan proxy ini terjadi di berbagai lini dan sektor termasuk perbankan. Pada akhirnya juga akan merepotkan dan menyulitkan banyak pihak (termasuk Indonesia) yang tidak terlibat dalam konflik politik dan militer antara Rusia dan Ukraina.

Aksi damai yang dilakukan Sekretaris Jenderal PBB pun tidak berhasil dan perang berlanjut. Upaya mediasi oleh Turki belum berujung. Kisah perang Ukraina berlanjut.

Singkatnya KTT G20 di Bali dibayangi dengan sejumlah persoalan besar dunia. Mulai dari perang berkelanjutan di Ukraina, krisis energi, krisis pangan, krisis keuangan. Sementara itu pandemi Covid 19 juga belum berakhir dengan munculnya varian-varian virus yang baru.

Saya tidak ingin berspekulasi. Tapi turbulensi akan berlanjut setelah KTT G20 di Bali!

The show must go on! 

Indonesia dikenal luas akan keramahan dan kesantunannya. Indonesia juga selalu mengupayakan pelayanan yang terbaik dan menjadi tuan rumah yang baik. Terlebih lagi Indonesia mempunyai komitmen kuat untuk menjadikan KTT G20 di Bali mempunyai makna strategis bagi upaya bersama untuk pemulihan ekonomi dan kesejahteraan dunia.

Secara substansi semua rangkaian kegiatan pertemuan sebelum KTT G20 juga telah dilaksanakan dengan baik, lancar dan cermat. Semua pertemuan tersebut telah menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang sejalan dengan tema besar yang digariskan Presidensi Indonesia yaitu Recover Together, Recover Stronger. Selain itu juga mendukung 3 prioritas utama Presidensi Indonesia yaitu arsitektur kesehatan global, transformasi ekonomi berbasis digital, dan transisi energi.

Penggunaan sejumlah (1.452) kendaraan listrik pada KTTG20 menjadi salah satu bukti komitmen kuat Indonesia untuk mendorong dunia bertransisi secara berkelanjutan di bidang energi.

Zero Tolerance!

Zero tolerance adalah sebuah peringatan (keras) untuk tidak melakukan kesalahan sekecil apapun. Ini adalah cerminan bahwa Indonesia sebagai tuan rumah KTT G20 memang tidak main-main. Sebagaimana pemberitaan media massa, standar zero tolerance sudah ditetapkan untuk mengamankan para Kepala Negara/Kepala Pemerintahan yang hadir dan pelaksanaan KTT, pertemuan-pertemuan bilateral serta kegiatan terkait lainnya.

Sangat wajar menerapkan standar zero tolerance untuk mengamankan KTT G20. Kita semua tahu bahwa para Kepala Negara/Kepala Pemerintahan G20 mewakili 60% populasi dunia, 75% perdagangan dunia, dan 80% PDB dunia.

Keberhasilan KTT G20 di Bali dipertaruhkan. Terlebih lagi, seperti kata para pengamat, dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Dunia saat ini sedang bergejolak. Tidak hanya perang di Ukraina tetapi juga di kawasan lain. Suhu politik sedang tinggi. Saling pamer kekuatan militer juga meningkat. Ancaman perang nuklir mencuat. Kemungkinan Perang Dunia III mulai jadi perbincangan!

Be ready for any surprises!

Zero tolerance penting diterapkan di semua lini. Kita juga wajib secara tegas menangkal upaya-upaya yang ingin merubah jati diri G20 dari forum kerja sama ekonomi menjadi ajang perseteruan politik.

Seperti kata Presiden Jokowi pada bulan Februari lalu bahwa bukan saatnya bagi negara-negara untuk menonjolkan rivalitas atau membuat ketegangan baru yang mengganggu pemulihan dunia. Saat ini semua pihak harus menghentikan rivalitas dan ketegangan. Kita harus fokus untuk bersinergi, untuk berkolaborasi menyelamatkan dan membangkitkan dunia tempat kita hidup untuk segera bangkit kembali, pulih kembali.

Menurut saya apa yang disampaikan Presiden Jokowi sangat pragmatis. Hal ini perlu disuarakan kembali oleh Presiden Jokowi secara lantang dan tegas kepada para Kepala Negara/Kepala Pemerintahan pada saat (pembukaan) KTT G20. 

KTT G20 belum berlangsung tetapi pembahasan rancangan naskah deklarasi akhir para  Kepala Negara/Kepala Pemerintahan G20 tentunya sudah mulai dipersiapkan dan sedang dibahas saat ini. Yang saya bayangkan adalah proses negosiasinya mungkin tidak akan mudah karena melibatkan banyak kepentingan (negara besar). Situasi ini mengingatkan saya akan prinsip yang sangat umum dalam proses negosiasi yaitu nothing is agreed until everything is agreed. 

Artinya apapun mungkin terjadi sampai saat akhir. Artinya paragraf-paragraf yang sebelumnya sudah disetujui masih mungkin dibongkar kembali karena kepentingan-kepentingan tertentu. Situasi ini harus terus diwaspadai.

Idealnya (paling tidak menurut saya) naskah deklarasi akhir KTT G20 perlu menyuarakan kerja sama ketimbang kompetisi dan konfrontasi. Tidak perlu atau tidak boleh menyudutkan siapapun (naming and shaming). Intinya deklarasi akhir KTT G20 tidak boleh tersandera oleh isu-isu politik sehingga menyimpang dari tema besar yang diusung Presidensi Indonesia Recover Together, Recover Stronger.

Dengan demikian KTT G20 di Bali juga akan menjadi bukti mengenai keteguhan dan ketegasan pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Kepiawaian diplomasi Indonesia akan diuji. Sejalan dengan hal itu pemahaman mengenai aspek-aspek protokoler dan prosedural G20 menjadi penting untuk diperdalam dan diperkuat, 

Dunia saat ini sedang mengamati, Semoga KTT G20 sukses dan lancar jaya. Sekaligus memantapkan posisi Indonesia sebagai kekuatan besar dunia. 

                    --------

*Opini ini adalah pendapat pribadi. Penulis pernah bertugas sebagai Duta Besar LBBP RI untuk Republik Azerbaijan (2012-2016) dan saat ini masih aktif sebagai Diplomat Ahli Utama Kementerian Luar Negeri. Sebelumnya pernah menjadi Direktur Amerika Selatan dan Karibia Kementerian Luar Negeri (2007- awal 2012) dan bertugas di KBRI London (1988-1992) dan Perutusan Tetap Republik Indonesia untuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York (1995-1999, 2003-2007). Beberapa tahun terakhir menjadi Duta Besar Pembina/Mentor pada Sekolah Dinas Luar Negeri Kementerian Luar Negeri.

Artikel Terkait