Opini

Reboisasi dan Mangrovisasi vs Carbon Capture and Storage (CCS)

Oleh : indonews - Selasa, 22/11/2022 20:35 WIB

Mangrove. (Foto: Ist)

Oleh: Atmonobudi Soebagio*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Menyadari akan risiko penumpukan emisi CO2 di atmosfir bumi, sejumlah negara maju membangun unit-unit untuk menangkap gas CO2 akibat pembakaran batubara pada PLTU mereka.  Salah satunya adalah dengan menerapkan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS).

Tentunya teknologi tersebut saat telah menjadi kajian dan pertimbangan untuk diterapkan pada pembangkit-pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fosil di Indonesia. 

Artikel ini membahas tentang cara kerja CCS dan menyosialisasikan untuk membantu pemahaman masyarakat tentang CCS dan usulan alternatifnya bagi Indonesia, selaku negara berkembang yang harus bekerja keras dalam menghadapi dampak  krisis energi, krisis pangan, dan pandemi Covid-19 yang belum berakhir.

Gambaran tentang cara kerja teknologi CCS yang bersumber dari lembaga di AS bernama 1PointFive, menawarkan solusi CCUS secara komprehensif tentang penyimpanan CO2 cair di perut bumi, salah satu bagian dari visinya dalam membatasi kenaikan suhu global akibat emisi karbon dioksida. 

1PointFive bertujuan untuk menyebarkan model berbasis hub yang memungkinkan akses ke infrastruktur penyimpanan karbon bersama yang berupaya merampingkan pengelolaan praktis CO2 yang ditangkap. Tujuan Lembaga tersebut adalah agar setiap hub memiliki kapasitas untuk menyerap setidaknya 3 juta ton CO2 setiap tahun.

 

Mengenal Teknologi CCS.

Ada tiga pekerjaan yang dilakukan pada penerapan teknologi CCS, yaitu: Injeksi, Penyimpanan, dan Pemantauan.

(a) Injeksi

Menggunakan sumur injeksi CO2 Kelas VI US yang disetujui EPA, CO2 cair terkompresi disuntikkan lebih dari satu mil di bawah tanah ke batuan reservoir.

 

(b) Penyimpanan

CO₂ terperangkap di dalam reservoir ini di bawah batuan penutup kedap air yang mengunci CO₂ di bawah tanah dengan aman.

(c)  Pemantauan

CO₂ yang diasingkan secara geologis dirancang agar aman dengan menerapkan program Pemantauan, Pelaporan, dan Verifikasi yang diatur oleh EPA.

Dari penjelasan tentang cara kerja teknologi CCS, tampak bahwa teknologi ini bukan teknologi yang sederhana dan murah, karena CO2 cair harus disuntikkan lebih dari seribu meter ke dalam tanah. Mengingat pembangkit-pembangkit listrik letaknya berjauhan satu terhadap lainnya, maka konsep hub tidak cocok untuk Indonesia.  

Memang ada alternatif lainnya, yaitu dengan menenggelamkan drum-drum yang memuat CO2 cair ke dasar laut dalam yang ada di bagian timur Indonesia.  Di samping mahalnya biaya transportasi drum tersebut dari pulau Jawa, cara inipun sangat berisiko karena drum tersebut tidak mampu menyimpan CO2 cair di dasar laut secara permanen.  Jika teknologi CCS diterapkan di semua pembangkit listrik berbahan bakar fosil, diperlukan biaya investasi dan pengoperasiannya yang sangat mahal. 

Di samping itu, teknologi CCS juga memerlukan energi listrik yang tidak sedikit dan akan diperhitungkan ke dalam harga tarif listrik. Di samping mahal, teknologi CCS hanya menyimpan CO2 dan tidak menghasilkan O2.

 

Reboisasi Hutan dan Program Mangrovisasi.

Sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa, pasokan energi listrik harus tersedia dengan tarif yang terjangkau, khususnya bagi masyarakat pelanggan berpenghasilan rendah.  Konsep CCS tidak cocok karena banyak menggunakan energi listrik dan berujung pada kenaikan tarif listrik.

Sebagai negara yang terdiri dari ribuan pulau dan terletak di garis ekuator, Indonesia kaya akan sinar matahari dan curah hujan di sepanjang musim.  Fenomena inilah yang merupakan keunikan sekaligus keunggulan Indonesia yang dikenal dengan tanahnya yang subur untuk kegiatan ekonomi agraria.  Pepohonan di sekitar kita merupakan penyerap CO2 yang kita keluarkan saat bernafas dan sekaligus sebagai penyedia O2 yang kita hirup.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan luas Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) untuk kawasan hutan primer dan   lahan gambut  untuk tahun 2022 periode I menjadi 66.512.000 hektar. Jika diibanding PIPPIB tahun 2021 periode II, jumlah luasan itu meningkat sebanyak 371.417 hektar.

Menurut Gasman (Harian AB, 1984), 1 hektar daun-daun hijau dapat menyerap 8 kg CO2/jam; yang setara dengan CO2 yang dihembuskan oleh sekitar 200 manusia dalam waktu yang sama sebagai hasil pernafasannya.  Jika kita hubungkan dengan luas hutan Indonesia yang sebesar 66.512.000 hektar, maka luasan tersebut mampu menyerap CO2 dari 10,6 miliar penduduk per jam.  Dengan asumsi bahwa jumlah penduduk Indonesia adalah 270 juta orang, maka potensi hutan Indonesia mampu menyerap CO2 yang dihembuskan oleh 3,9 kali jumlah penduduk Indonesia.

Jika emisi CO2 dari kendaraan bermotor dan sektor industri yang mengemisikan CO2 diperhitungkan, maka perlu ditingkatkan program reboisasi hutan dan perluasan hutan mangrove hingga ke pulau-pulau kecil yang ribuan jumlahnya.  Lewat program inilah terbuka besar peluang perdagangan karbon antara Indonesai dengan negara-negara lain yang merupakan negara industri.  Semoga. ***

*) Prof. Atmonobudi Soebagio MSEE, Ph.D. adalah Guru Besar Energi Listrik pada Universitas Kristen Indonesia.

Artikel Terkait