Nasional

Gerakan Nusantara Bersatu; Elit Partai Geram, Jokowi Menikmati

Oleh : Rikard Djegadut - Minggu, 04/12/2022 20:58 WIB

Andy Tandang (Dok. Pribadi)

Oleh Andy Tandang

Opini, INDONEWS.ID - Sejumlah kritikan menyasar ke tubuh relawan Nusantara Bersatu usai menggelar silaturahmi dengan Presiden Jokowi di Stadion Gelora Bung Karno, beberapa waktu lalu. Kritikan tersebut tak hanya datang dari kelompok akar rumput, tetapi juga dari elit partai politik.

Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Deddy Yevri Sitorus, misalnya. Deddy mengungkapkan kekesalannya saat menjadi narasumber dalam acara Catatan Demokrasi yang ditayangkan dari Kanal Youtube tvOneNews pada Rabu, (29/11/2022).

Pendiri Komunitas Aksi Solidaritas Buruh Indonesia (KASBI) itu menilai, acara yang digelar relawan Nusantara Bersatu merupakan manuver politik yang menjebak Jokowi demi materi dan ambisi kekuasaan. Bahkan, menurutnya, acara tersebut dinilai mampu merusak citra Jokowi.

Bagi publik, kritik Deddy tak hanya dilihat sebagai upaya menyelamatkan Jokowi, tetapi ada semacam pembelahan politik di tubuh kekuasaan, yang pelan-pelan mulai muncul ke permukaan. Publik pun bisa mencurigai, bahwa soliditas politik di lingkaran istana belum terajut sempurna.

Secara samar-samar, kita bisa membaca, acara silaturahmi Nusantara Bersatu merupakan simbol perlawanan rakyat yang boleh jadi muak dengan sirkulasi politik elit di tubuh istana. Rakyat ingin menarik Jokowi keluar sejenak, melepaskan kendali partai yang berlebihan, lalu menyapa rakyat serentak menimbang ulang kerja-kerja politik di masa jabatan yang tersisa.

Dalam pembacaan yang lebih taktis, agenda silaturahmi Nusantara Bersatu bisa saja dilihat sebagai upaya untuk menggembos kekuatan partai penguasa yang kerap tampil sebagai kompas politik, sentral dan penentu arah politik bangsa. Para relawan ingin menarik ke luar dominasi politik parpol penguasa, lalu membangun poros baru dengan basis kekuatan yang lebih independen secara politik.

Sebetulnya, demokrasi memberi tempat terhadap kerja-kerja taktis-politis semacam ini. Demokrasi juga memberi ruang antitesa terhadap gap politik yang begitu melebar antara kelompok akar rumput dan elit kekuasaan, dengan menghidupkan kembali kekuatan politik rakyat.

Menarik untuk mencermati ulang pernyataan Silfester Matutina, salah satu relawan Jokowi sekaligus penggagas Nusantara Bersatu. Silfester mengaku heran dengan sikap elit PDIP yang malah menghujat acara Nusantara Bersatu. Bahkan, ia menyebut partai banteng itu sengaja menghalang-halangi silaturahmi relawan dengan Jokowi.

Ia mengaku, acara Nusantara Bersatu merupakan kesempatan para relawan untuk bertemu Jokowi, sekaligus mensyukuri capaian Jokowi selama 8 tahun. Momen ini juga akan dipakai untuk menghidupkan kembali solidaritas anak bangsa demi mencapai Indonesia Emas 2045.

Jokowi sendiri merasa baik-baik saja. Presiden dua periode itu kelihatannya sungguh menikmati momen silahturahmi tersebut. Tidak merasa martabatnya direndahkan seperti yang dibayangkan Deddy Sitorus. Ada keceriaan di wajahnya, sesekali dengan kelakar politik "wajah kerut dan rambut putih" yang berhasil memantik sorak relawan. Tentu, bukan yang berambut panjang dan penuh make up.

Agak berbeda dengan Deddy Sitorus, politisi senior PDI Perjuangan Panda Nababan, justeru membayangkan hal yang sama. Bagi Nababan, Jokowi sungguh menikmati acara yang digelar relawannya. Mantan wartawan senior itu menganggap Jokowi sedang memainkan drama teateral, tidak sedang dijebak.

Silfester, yang barangkali kesal dengan hujatan elit, akhirnya menyentil soal pendanaan acara tersebut. Menurutnya, yang mereka keluarkan berasal dari kantong para relawan, bukan mencuri apalagi hasil korupsi seperti yang kerap dilakukan para elit partai politik.

Meskipun tak secara gamblang menyebut elit partai yang hobby korupsi, pun gemar menerima suap, sentilan Silfester soal ini mengingatkan kita akan sederet kasus besar yang terjadi di tanah air yang melibatkan elit-elit partai.

Dalam Laporan Hasil Pemantauan Tren Vonis 2021 dari Indonesia Corruption Watch (ICW), tercatat 6 terdakwa penerima suap terbesar sepanjang 2021. Mayoritas atau 4 orang di antaranya berasal dari kalangan anggota partai politik.

Terdakwa penerima suap paling besar pada 2021 adalah Hadinoto Soedigno, yang divonis menerima suap Rp70 miliar saat ia menjabat sebagai Direktur Teknik PT Garuda Indonesia.

Di urutan kedua ada Nurhadi, divonis menerima suap Rp49,4 miliar saat ia menjabat Sekretaris Mahkamah Agung.
Selanjutnya ada Juliari Batubara, menerima suap Rp32,4 miliar saat masih berstatus Menteri Sosial dan anggota Partai PDI Perjuangan.

Kemudian Ismunandar, menerima suap Rp27,4 miliar saat ia berstatus Bupati Kutai Timur dan anggota Partai Nasional Demokrat (NasDem).

Diikuti Edhy Prabowo, yang divonis menerima suap Rp25,6 miliar saat ia berstatus sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan sekaligus anggota Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

Terakhir ada Taufiqurrahman, yang menerima suap Rp25,6 miliar saat menjabat Bupati Nganjuk sekaligus Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP Kabupaten Nganjuk.

Silfester hendak mengingatkan publik, bahwa mencurigai relawan Nusantara Bersatu mengumpulkan harta atas nama silaturahmi juga bisa diarahkan ke partainya sendiri; bahwa hobi menimbun pundi-pundi rupiah dengan cara-cara murahan potensial muncul dari elit partai.

Pada akhirnya, benturan narasi politik antara elit PDI Perjuangan dan relawan Jokowi memberi kita penanda, bahwa solidaritas politik Istana yang dibangun partai penguasa, sedang tidak baik-baik saja. Publik gerah, dan akhirnya mencari jalan lain, serentak membangun gerbong politik baru di luar Istana.

Kehadiran Jokowi pun hendak memberi signal politik, bahwa ia adalah milik rakyat, yang hanya bisa dikendalikan oleh rakyat, bukan partai pengusung.*

Artikel Terkait