Nasional

Dosen Universitas Melbourne: Peluang AHY Menjadi Pemimpin Masih Terbuka

Oleh : very - Senin, 05/12/2022 21:42 WIB

Dr Justin Wejak, dosen dan peneliti Indigeneous Knowledge di Universitas Melbourne. (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) berkesempatan melakukan diskusi dengan para dosen di Universitas Melbourne, Victoria dalam kunjungan kerjanya di Australia, pada Kamis (1/12).

Diskusi dalam bahasa Inggris yang dipandu Direktur Asia Institute Universitas Melbourne Prof Vedi Hadiz itu, dihadiri sejumlah akademisi dan mahasiswa Universitas Melbourne serta sejumlah undangan.

Saat diskusi tersebut AHY ditanyakan tentang masalah hak asasi manusia di Aceh sebagai imbas dari penerapan sharia law, dengan hak-hak dan kebebasan kaum minoritas agama yang menyukai gaya hidup sekuler yang dibatasi. Terkait masalah HAM di Aceh, ditanyakan juga tentang mengapa ada peace agreement dengan Aceh pada tahun 2005, tetapi tidak ada di Papua.

“Saya tanya tentang mengapa perjanjian damai, peace agreement yang dilakukan di Aceh tahun 2005, termasuk pemberlakuan hukum syariah, sharia law justru tidak dilakukan di Papua. Poin-poin utama penjelasan AHY sangat baik. Namun ia berbicara terlalu umum, tak ada penjelasan spesifik,” ujar Dr Justin Wejak, dosen dan peneliti Indigeneous Knowledge di Universitas Melbourne, melalui keterangan yang diperoleh di Jakarta, Senin (5/12).

Dalam pertemuan dengan para dosen di Universitas Melbourne, ada sejumlah hal yang disampaikan AHY, putra sulung mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu.

AHY menyatakan ia mengunjungi tempat-tempat berbeda di Indonesia guna menyapa langsung rakyat. Sebagai representasi generasi muda, ia ingin memosisikan dirinya sebagai representasi kaum muda Indonesia; ia menjadi simbol harapan akan masa depan Indonesia yang lebih ceria. 

Terkait segi ekonomi, menurutnya, Indonesia saat ini terpuruk. Tak ada pertumbuhan ekonomi yang signifikan dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 

Selanjutnya, katanya, banyak rakyat mengalami kesulitan mendapatkan makanan dan uang untuk membiayai pendidikan anak-anak. Kebutuhan dasar rakyat seolah diabaikan. Pemerintah saat ini terlihat lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur. Banyak sekali biaya habis untuk membangun infrastruktur, sementara rakyat lapar. Kemudian, Agus Harimurti juga bicara soal perang di Ukraina.

“Agus Yudhoyono juga berbicara tentang perang di Ukraina dan mengharapkan bahwa perang tersebut segera berakhir. Beliau kemudian menyebut tiga tantangan utama dalam politik yaitu identity politics, money politics, dan post-truth politics,” ujar dosen asal Lembata, Nusa Tenggara Timur tersebut.

Justin mengatakan, dirinya mengeritik AHY karena berbicara terlalu umum dan normatif. Menurutnya, tak ada penjelasan yang spesifik dan rinci. Misalnya, tentang bagaimana mencegah praktik politik uang, politik identitas, dan hoaks atau berita-berita palsu. AHY hanya berbicara tentang apa (what) dan sedikit tentang mengapa (why) tetapi sama sekali tidak menyentuh pertanyaan bagaimana (how) mencapai suatu cita-cita atau harapan. 

“Agus Harimurti menghendaki agar tidak ada politisasi identitas agama etnis. Namun, tak ada penjelasan tentang bagaimana ia memastikan bahwa praktik itu tidak terjadi. Saya pikir, beliau punya potensi menjadi pemimpin bangsa,” ujar alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK), yang kini berganti nama menjadi Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero, Maumere, Flores.

 

Peluang AHY Menjadi Pemimpin

Peluang Agus Harimurti menjadi pemimpin bangsa, kata Justin, terbuka mengingat usianya masih relatif muda dan punya kapasitas mumpuni untuk berdialog dengan siapa pun. 

“Saya usulkan kepada beliau agar fokus pada sosialisasi visi dan misinya setiap kali ia berkesempatan berpidato di forum mana pun,” kata editor buku Membangun Tanpa Sekat, yang diterbitkan dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-20 Otonomi Kabupaten Lembata pada 2020.

Di bagian lain diskusi, Agus Harimurti juga mengecam kebijakan infrastruktur pemerintah saat ini. Menurutnya, pemerintah mengabaikan kebutuhan dasar rakyat. 

“Hemat saya, Agus Harimurti perlu lebih mendekatkan dirinya dengan kaum muda milenial dan mungkin sedikit mengambil jarak dari ayahnya. Karena sang ayah dapat dipandang sebagai simbol masa lalu yang tidak selalu sukses. Beliau perlu menutup ruang anggapan itu bahwa dia semata penerus warisan Yudhoyono. Ini penting untuk penegasan identitas dirinya dari perspektif psikologi politik,” pungkas antropolog asal Lembata yang sudah lebih dari dua dekade menjadi dosen tetap di Universitas Melbourne, Australia itu. ***

 

Artikel Terkait