Bisnis

Transformasi Digital Secara Inklusif, Mempercepat Pemulihan UMKM

Oleh : very - Senin, 12/12/2022 16:49 WIB

Seminar internasional bertajuk “Inclusive Digital Transformation”. Seminar ini diselenggarakan oleh INDEF berkerja sama dengan Ford Foundation, pada Kamis (8/12). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Pertumbuhan ekonomi digital di dunia, khususnya di Indonesia, sangat cepat di saat pandemi Covid-19. Indonesia memiliki ukuran ekonomi digital yang paling tinggi di ASEAN, yaitu dengan share sebesar 39%. Dan ini akan meningkat jika terus dilakukan penataan.

Digital payment juga tumbuh dengan cepat. Potensi untuk terus bertumbuh ke depan karena GDP per kapita juga akan naik. Karena itu, Indonesia keluar dari negara berkembang pada 2045. Hal ini sejalan dengan rencana target pembangunan.

Demikian diungkapkan oleh Peneliti INDEF, Eisha Maghfiruha Rachbini dalam seminar internasional bertajuk “Inclusive Digital Transformation”. Seminar ini diselenggarakan oleh INDEF berkerja sama dengan Ford Foundation, pada Kamis (8/12).

Eisha mengatakan, investasi luar negeri (FDI) di bidang telekomunikasi di Indonesia terus meningkat sehingga digital ekonomi akan terus tumbuh. “Sayangnya, FDI untuk telekomunikasi masih berpusat di Jawa. Karena itu, muncul ketimpangan infrastruktur dan investasi digital di antara provinsi di Indonesia. Begitu pula dengan potensi ekonomi digital yang masuk hanya berpusat di Jawa. Karena itu, salah satu tantangan bagi infrastruktur digital yaitu adanya keterbatasan koneksi,” ujarnya.

Menurut Eisha, potensi digital ekonomi Indonesia juga didukung oleh populasi, penggunana internet, koneksi telepon genggam, dan teknologi ICT mutakhir.

Dalam roadmap digital, UMKM ditargetkan masuk digitalisasi sebanyak 30 juta unit usaha UMKM. Kontribusi UMKM di Indonesia terhadap pembentukan PDB dan penyerapan tenaga kerja sangat besar. Sektor yang paling banyak di UMKM adalah perdagangan.

Namun, tantangan lain dari UMKM di dalam negeri adalah banyak yang masih berada dalam sektor informal dengan modalnya rendah. UMKM juga mengalami kesulitan akses pembiayaan, produktivitas rendah, kurang kemampuan untuk berkembang.

Karena itu, tantangan digital ekonomi kita adalah kontribusi yang rendah terhadap PDB, infrastruktur terbatas, literasi digital rendah, produktivitas dan ketimpangan digital tinggi.

Untuk itu, kata Eisha, beberapa pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemerintah ke depan yaitu meningkatkan infrastruktur digital; Melakukan akselerasi legalitas UMKM; Meningkatkan skill digital; Kebijakan mendorong UMKM inklusif; Peningkatan akses pembiayaan; dan Kolaborasi antar dan intern kementerian/lembaga pemerintah dan platform digital.

Sementara itu, Peniliti dari FNA, Amanah Ramadiah mengatana, kesenjangan sektor finansial di Indonesia sangat besar, hanya menyuplai 0.25% dari kebutuhan pembiayaan.

“Hal ini sangat berbanding terbalik dengan advancing economies. Dalam pembiayaan, UMKM terkendala dengan kelayakan kredit karena tidak punya legalitas atau tidak memiliki sejarah kredit. Kedua hal tersebut yang menjustifikasi apakah UMKM layak dapat kredit atau tidak,” ungkapnya.

Dia mengungkapkan bahwa semakin UMKM terintegrasi ke dalam sistem keuangan global, maka akan diikuti oleh semakin tigginya terkena risiko sistemik di sektor keuangan. Sehingga hal ini perlu sistem yang dapat memberikan peringatan dini terhadap terjadinya sebuah krisis.

“Perkembagan fintech dan techfin memudahkan sistem pembayaran antara UMKM dengan pembeli. Saat ini banyak fintech dan techfin yang ikut dalam keuangan digital,” ujarnya.

 

Digitalisasi Mempercepat Pemulihan UMKM

Penasihat Perubahan Iklim dari Institute for Sustainable Community, Mega Nath mengatakan selama pandemi UMKM kehilangan pasarnya dan belum kembali ke kondisi awal sebelum pandemi.

“Karena itu, digitalisasi UMKM dapat mempercepat pemulihan dan dengan melakukan transisi energi bersih pada UMKM. Digitalisasi tidak hanya membuat efisiensi tetapi juga membuka akses pembiayaan yang lebih luas setelah selama pandemi UMKM mengandalkan bantuan pemerintah,” katanya.

Mengambil contoh di India, katanya, di negara itu pemerintahnya memberi subsidi terhadap UMKM. Selanjutnya, membangun new business model dengan teknologi, membangun block chain sehingga akan lebih mudah pengiriman barang jasa untuk UMKM yang melakukan ekspor. Hal ini, katanya, dilakukan dengan meningkatkan akuntabilitas yaitu dengan digitalisasi.

Sementara itu, Deputi UMKM dari Kementerian Koperasi dan UMKM Siti Azizah memberi beberapa ciri UMKM di Indonesia.

UMKM di dalam negeri banyak didominasi oleh unit usaha mikro yang berada di sektor informal, literasi usaha rendah, dengan akses pembiayaan rendah.

Selanjutnya, kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional besar, seperti terhadap PDB, tenaga kerja,dll, kecuali kontribusi ekspor, masih rendah, dibandingkan dengan negara lain.

Namun, katanya, potensi digital ekonomi Indonesia dapat mencapai 130 triliun di 2025. “Indonesia sudah punya roadmap digitalisasi dan target, salah satunya 30 juta UMKM melakukan transformasi digital dengan memasuki platform digital di 2024. Karena itu, pentingnya melakukan kolaborasi untuk mencapai target. Hingga Agustus 2022 sudah ada 20,24 juta UMKM masuk digitalisasi,” katanya.

Penting juga mempersiapkan ketahanan UMKM. Salah satunya dengan transformasi digital agar bisa melakukan efisisensi baik di pasar, produksi hingga pembiayaan.

Selanjutnya, pembekalan para wirausaha juga sangat penting. Mereka harus diberi pengetahuan tentang ekosistem, dimulai saat akan menjadi wirausaha. Misalnya mereka diberi konseling menggali untuk ide produk. Kemudian akan dihubungkan dengan incubator, lalu akan dihubungkan dengan aspek pembiayaan.

Terakhir, katanya, data UMKM memang yang belum terstandardisasi dan terintegrasi. “Sejak tahun lalu dilakukan integrated data tunggal. Karena itu, kita melakukan survey ke lapangan langsung. Sehingga tahun depan mudah-mudahan kita bisa rilis di awal tahun untuk mencapai hasil yang lebih awal,” pungkasnya. ***

 

Artikel Terkait