Daerah

Waspada Sertifikat Tanah Bodong di Labuan Bajo

Oleh : Rikard Djegadut - Rabu, 21/12/2022 23:02 WIB

Benediktus Janur, S.H

Labuan Bajo, INDONEWS.ID -  Masalah tanah di Labuan Bajo seakan tak ada habis-habisnya. Salah satu masalah serius adalah beredarnya sertifikat hak milik (SHM) bodong di tengah masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh Benediktus Janur, S.H.

Menurut praktisi hukum yang biasa dipanggil Beni ini, Surat Hak Milik (SHM) bodong adalah sertifikat hak milik atas suatu bidang tanah tanpa alat pembuktian data fisik dan data yuridis bidang tanah yang dipergunakan sebagai dasar pendaftaran suatu bidang tanah.

“Singkat kata, SHM bodong itu tidak memiliki warkah tanah,” ungkap Beni.

Dijelaskannya, warkah tanah merujuk kepada warkah pendaftaran tanah yang dimiliki dan digunakan di lingkungan Badan Pertanahan Nasional berupa berkas-berkas yang digunakan sebagai dasar dalam penerbitan sertifikat tanah untuk sebidang tanah.

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang dimaksudkan dengan warkah adalah dokumen yang merupakan alat pembuktian data fisik dan data yuridis bidang tanah yang telah dipergunakan sebagai dasar pendaftaran suatu bidang tanah.

Warkah merupakan bukti tertulis yang dapat dipertanggungjawabakan secara hukum, baik perdata maupun pidana. Warkah yang disimpan oleh Kantor Pertanahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sertifikat tanah yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan/BPN.

Warkah tersebut berisi berbagai surat atau berkas yang dipersyaratkan untuk penerbitan sertifikat tanah. Yang utama berisi riwayat beserta bukti penguasaan atau kepemilikan tanah untuk dapat diterbitkannya sertifikat tanah.

Berkas ini antara lain terdiri dari fotocopy identitas pemohon (KTP); bukti perolehan tanah; berkas-berkas pendukung lainnya yang berasal dari formulir yang dipersyaratkan; dokumen mengenai bidang tanah yang dibuat dalam proses pensertifikatan tanah, seperti peta pendaftaran, daftar isian tanah, surat ukur, buku tanah, SK Pemberian hak atas tanah; dan lampiran-lampiran lain, seperti fotocopy SPPT-PBB, bukti setor pajak, dan lain-lain.

Warkah merupakan dokumen negara yang penting, dan tidak sembarang orang dapat melihat dan mendapat informasi dari warkah tersebut. Fungsi warkah adalah sebagai nyawa dari seluruh pendaftaran tanah di Indonesia dan berfungsi sebagai bukti penerbitan sertifikat tanah oleh BPN. Jika ada sengketa tanah-tanah yang bersertifikat, maka warkah berperan penting sebagai bukti otentik dalam menentukan siapa yang benar dalam sengketa tanah tersebut.

Jadi, kata Beni, tidak mungkin ada sertifikat tanah tanpa adanya warkah. “Tetapi faktanya tidak demikian. Ada sertifikat-sertifikat tanah di Labuan Bajo yang tidak memiliki warkah. Sertifikat-sertifikat tersebut tanpa ada dukungan data fisik dan data yuridis. Tidak ada pengukuran fisik bidang tanah. Patut diduga sertifikat-sertifikat tersebut dibuat berdasarkan plotting peta di atas meja saja, tanpa adanya pengecek fisik bidang tanah dan pengukuran fisik bidang tanah. Tidak heran ketika ada pemegang sertifikat yang tidak tahu lokasi tanahnya di Labuan Bajo, lalu mencari-cari. Ketika ditemukan lokasi tanahnya, kacau lagi karena batas-batas tanah yang tertulis dalam sertifikat berbeda dengan fakta di lapangan/lokasi atau ternyata bidang tanah tersebut milik orang lain atau sudah bersertifikat hak milik atas nama orang lain. Terjadi tumpang tindih sertifikat,” ujar Beni.

Dalam menghadapi masalah sertifikat bodong ini, menurut advokat di Labuan Bajo itu, Kantor Pertanahan harus cermat dan hati-hati. “Dalam praktiknya, pemegang sertifikat bodong mengajukan permohonan pengukuran ulang atau rekon ke Kantor Pertanahan. Hal yang pertama-tama yang mestinya dilakukan Kantor Pertanahan adalah mengecek apakah ada warkah dari sertifikat yang diajukan permohonan pengukuran ulang atau rekon tersebut. Jika tidak ada, Kantor Pertanahan mestinya menolak untuk melakukan pengukuran ulang. Sebab Kantor Pertanahan tidak memiliki dasar alat bukti data fisik dan data yuridis bidang tanah yang dimohonkan pengukuran ulang tersebut, Kantor Pertanahan tidak memiliki alat bukti tertulis yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum,” jelas Beni.

Beni mengingatkan agar oknum-oknum di Kantor Pertanahan jangan diam-diam melakukan pengukuran ulang/rekon, plotting, menciptakan batas-batas baru yang dicocok-cocokan dengan batas-batas yang tertulis dalam sertifikat bodong. “Ada informasi oknum Kantor Pertanahan diam-diam melakukan pengukuran ulang alias rekon di luar jam kerja, pada hari Sabtu dan hari Minggu untuk sertifikat bodong ini. Saya harap Kepala Kantor Pertanahan mengecek informasi ini, karena hal ini merusak integritas institusi ATR/BPN,” kata Beni.

Disamping itu, Beni juga mengingatkan agar fungsionaris adat di Labuan Bajo tidak melakukan pengukuhan hak atas bidang-bidang tanah yang bersertifikat bodong ini. “Fungsionaris Adat sekarang ini seharusnya tahu bahwa pada tahun 1998, Fungsionaris Adat/Tua Adat Nggorang Haji Ishaka dan Haku Mustafa pernah pernah bersurat ke Kantor Pertanahan Kabupaten Manggarai di Ruteng untuk meminta pembatalan sertifikat-sertifikat di sejumlah lokasi di Labuan Bajo. Jangan sampai Fungsionaris Adat sekarang justru melakukan pengukuhan yang bertentangan dengan surat tersebut,” ungkap Beni. *(WG).

Artikel Terkait