Opini

Kurma & Unta, antibiotika, antri dan rokok

Oleh : luska - Minggu, 29/01/2023 13:27 WIB

Penulis : Prof Tjandra Yoga Aditama (Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI / Guru Besar FKUI, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit serta Mantan Kabalitbangkes)

Di sela-sela kegiatan Umroh minggu yang lalu maka rombongan kami dibawa juga ke kebun kurma, seperti di foto ini. Adalah bagus bahawa sekarang jamaah Umroh kita hanya ke kebun kurma dan tidak dibawa lagi jalan-jalan ke peternakan unta, yang dulu sering jadi paket kunjungan pula. Sekarang memang tidak dianjurkan ke peternakan unta karena ada risiko -walaupun kecil- tertular penyakit “Middle East Respiratory Syndrome Corona Virus (MERS-CoV)”. Kita ingat kasus pertama MERS CoV Malaysia dulu juga sakit setelah berkunjung ke peternakan Unta di Saudi Arabia.
Tentang kesehatan, setidaknya ada tiga catatan lain dari pengalaman saya di Saudi kali ini.

Pertama, biasanya sangat mudah membeli antibiotika di toko Farmasi seputar kota Makkah dan Madinah. Tetapi kali ini tidak boleh lagi, harus ada resep dokter, sangat ketat. Ini hal yang amat baik karena penjualan bebas antibiotika tanpa resep dokter akan berujung ke terjadinya pandemi senyap “Antimicrobial Resistance (AMR)”. Pada waktu saya menjadi koordinator AMR di WHO Asia Tenggara maka saya ingat bahwa koordiantor AMR di WHO Jenewa adalah Dokter wanita dari Saudi Arabia. Rupanya dia "walk the talk", membuat aturan AMR tingkat dunia dan berhasil menerapkannta di negaranya sendiri juga. Mudah2an semua apotik kita juga ketat menjaga aturan, jangan bolehkan orang membeli antibiotika tanpa resep dokter, itu akan merugikan pasiennya sendiri.

Ke dua, ada teman yang membawa orang tuanya yang sakit (dan dengan kursi roda) ke klinik di Madinnah. Ternyata antriannya panjang sekali, sampai sekitar 50 orang. Akhirnya dia batal berobat karena kasihan kalau orang tuanya tambah sakit nantinya. Ini tentu perlu dicari jalan keluar terbaik, misalnya dengan menambah fasilitas pelayanan kesehatan di Makkah Madinnah dan atau memberi fasilitas khusus bagi yang sakit agak berat dan juga lansia dengan kursi roda, dll.

Baca juga : PDPI 50 Tahun

Hal ke tiga, sejak saya pertama kali bertugas sebagai team kesehatan Haji tahun 1990 maka di seputaran Masjidil Haram Makkah dan Masjid Nabawi Madinnah memang sudah tidak dibolehkan merokok. Aturan ini tetap dijaga ketat sampai saat ini, bahkan sampai ke hotel. Di lobby hotel saya tertulis peringatan pemerintah setempat bahwa dilarang merokok sampai jarak sekitar 10 meter dari hotel, dan kalau tertangkap dendanya 200 riyal, atau sekitar Rp. 800 ribu. Semoga aturan larangan merokok di tempat umum juga makin ketat diberlakukan di negara kita, maksudnya agar masyarakat luas dapat menghirup udara bersih sehat bebas asap rokok.

 

Artikel Terkait