Opini

Bahasa Itu Soal Rasa

Oleh : luska - Selasa, 31/01/2023 18:42 WIB

Penulis : Budiman Hakim (om Bud)

“Om Bud, lo jangan bilang jabatan gue Kepala Hubungan Masyarakat, dong. Bilang aja Head of PR,” kata Andri.

“Lah? Gue kan cuma baca dari kartu nama elo,”sanggah saya.

“Iya tapi bilang aja Head of PR. Okay?”

“Bedanya apa? Kepala Hubungan Masyarakat dan Head of PR itu terjemahannya plek-ketiplek sama loh.”

“Iya, sih. Tapi Kepala Hubungan Masyarakat kurang keren di kuping,” kata Andri sambil tersenyum penuh arti.

“Guys, ayo makan dulu!” Tiba-tiba, Gillian, isterinya Andri berteriak sesuai dengan harapan cacing-cacing ada ada di perut.

Hari itu saya dan beberapa teman makan diundang Andri dalam rangka merayakan kenaikan pangkatnya menjadi Kepala Hubungan Masya…eh Head of PR. Hanya teman-teman dekat aja yang diundang. Total hanya 9 orang termasuk tuan rumah. Semuanya makan dengan bernafsu.

“Sambelnya mantab banget ini, Gil. Gue nambah, ya?” Igun berkomentar sambil menuang nasi ke piringnya.

“Setuju, enak banget. Pembantu gue juga jago bikin sambel,” samber saya.

“Hus, jangan bilang ‘pembantu’, “tukas Gillian, “Bilang aja ART. Asisten Rumah Tangga.”

“Apa bedanya? Pembantu dan asisten itu terjemahan plek-ketiplek sama, loh?” tukas saya keheranan. Ini laki bini, kok, sama, sih, cara berpikirnya..

“Istilah ‘pembantu’ itu kasar. Kalo bilang ‘ART’ berarti kita respek sama orang tersebut.”

“Oh begitu...baiklah.” Saya memutuskan untuk tidak berdebat. Sate sapi di atas piring saya, rasanya butuh perhatian lebih dari sekedar berdebat pepesan kosong.

“Btw, satpam yang gue kasih ke elo jadi gak kerja di rumah lo, Dri?” Tiba-tiba Igue nyeletuk lagi.

“Jadi, dong. Tapi jangan bilang Satpam. Bilang saja sekuriti,” sahut Andri sambil melirik ke arah saya, “Lo gak protes lagi, Om Bud?”

“Gue tau. Kata Satpam kurang keren, kan?” sahut saya sambil mengunyah sate sapi yang ke sepuluh tusuk.

“Bukan. Satpam itu istiah untuk petugas keamanan di kampung-kampung. Kalo di komplek perumahan istilahnya ‘Sekuriti’”, jelas Andri.

“Halah! Ngarang lo! Kata Satpam’ dan ‘Sekuriti juga plek-ketiplek sama,” kata saya sambil mencelupkan sate sapi ke saus kecap yang dicampur bawang dan irisan cabe rawit.

“Bahasa itu soal rasa. Dan ‘rasa’itu kita gak temukan dalam kamus karena ‘rasa’ tidak bisa diterjemahkan,” jawab Andri.

Dalam perjalanan pulang, saya menelaah omongan Andri. Bahasa itu soal rasa. Dan ‘rasa tidak mungkin diterjemahkan. Hmmm...bener juga, sih. “Rasa’ itu sangat spesifik. Tiap orang punya rasa sendiri-sendiri. Bagaimana cara menerjemahkannya secara general. Mustahil, kan?

Gak lama kami sampai di rumah. Selesai memasukkan mobil ke dalam garasi, supir saya berkata, “Boss, boleh minta sesuatu, gak?”

“Apa?” tanya saya.

“Boleh gak jangan bilang saya supir. Bilang saja saya ‘Driver’”.

“Heh? Bedanya apa?” Surprise juga ini supir ikut-ikutan omongannya Si Gemblung Andri.

“Supir itu biasanya yang bawa angkot atau Metro Mini, Boss. Kalo ‘Driver’ itu supir pribadi yang mobilnya bagus,” kata supir...eh driver saya menerangkan.

“Hahahahahahaha...iya, deh.” 

Omongan driver saya ini benar-benar membuat saya sepakat bahwa bahasa itu soal rasa.

Artikel Terkait