Opini

Hidup Mewah Pegawai Pajak Cermin Kegagalan Kementerian Keuangan

Oleh : very - Rabu, 01/03/2023 09:44 WIB

Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies). (Foto: Kedaipena.com)

Oleh: Anthony Budiawan*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Pajak merupakan sumber pendapatan utama pemerintah, diperoleh dengan cara paksa, melalui undang-undang.

Di lain pihak, penerimaan pajak akan digunakan untuk kepentingan masyarakat luas, meningkatkan kesejahteraan, mencerdaskan bangsa, menjaga kesehatan publik, dan lainnya. Intinya, pajak merupakan hak masyarakat, pajak digunakan untuk kepentingan masyarakat.

Oleh karena itu, penerimaan pajak harus diawasi secara ketat, tidak boleh ada kebocoran, tidak boleh dikorupsi.

Kebocoran pajak bisa berakibat sangat buruk, apalagi untuk negara seperti Indonesia yang mempunyai angka kemiskinan sangat tinggi, membuat pemerintah sulit memberantas kemiskinan, membuat utang pemerintah membengkak.

Ironinya, sudah banyak kasus korupsi pajak yang melibatkan pejabat pajak. Antara lain kasus korupsi oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan periode 2016-2019, Angin Prayitno Aji.

Pelaku penyuapan adalah PT Gunung Madu Plantations (GMP) untuk tahun pajak 2016; PT Bank PAN Indonesia (Panin) Tbk. tahun pajak 2016, dan PT Jhonlin Baratama untuk tahun pajak 2016 dan 2017.

Itu yang ketahuan. Mungkin masih banyak kasus kebocoran pajak yang tidak atau belum ketahuan.

Ya bisa saja. Karena, faktanya, ada pejabat pajak yang hidup mewah, mungkin tidak sesuai dengan pendapatannya sebagai pejabat pajak, sehingga patut diduga dari korupsi pajak. Masih ada 13 ribu lebih pegawai pajak yang belum mengisi laporan hartanya (LHKPN). Ada apa?

Di lain sisi, penerimaan pajak turun terus. Apakah kondisi ini ada hubungannya dengan korupsi dan kebocoran pajak?

Rasio penerimaan pajak terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) hanya sekitar 10 persen, salah satu yang terendah di ASEAN, lebih rendah dari Vietnam, Malaysia, atau Thailand.

Salah satu target kebijakan tax amnesty 2016/2017 akan meningkatkan rasio pajak menjadi 14,6 persen di 2019, nyatanya hanya 9,8 persen. Ada selisih sekitar 5 persen. Jumlah ini hampir mencapai Rp1.000 triliun dengan PDB 2022 yang mencapai hampir Rp20.000 triliun.

Kenapa rasio pajak Indonesia begitu rendah? Apakah karena ada kebocoran pajak, dan yang tertangkap hanya fenomena puncak gunung es, yang artinya, yang tidak terungkap, atau belum terungkap, jauh lebih besar dari yang kelihatan?

Sepertinya, Menteri Keuangan tidak mampu menaikkan rasio pajak yang terus turun. Tax amnesty gagal total, rasio pajak malah turun setelah diberlakukan tax amnesty.

Yang menjadi sasaran, masyarakat kelompok bawah. Pajak PPN naik, harga BBM naik. Angka kemiskinan naik.

Semua ini mencerminkan Menteri Keuangan gagal total. Wajib mundur.

Jakarta, 24 Februari 2023

*) Penulis adalah Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).

Catatan: Artikel ini sudah pernah diterbitkan oleh https://www.kedaipena.com/ dengan judul yang sama.

 

Artikel Terkait