Opini

Demokrasi dari dan untuk Orang Kaya

Oleh : luska - Senin, 01/05/2023 11:40 WIB

Penulis: Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia

Berikut ini adalah kutipan berita CNBC Indonesia tanggal 12 Februari 2023:Publik baru-baru ini dihebohkan oleh munculnya gambar berisikan surat utang Anies Baswedan ke Sandiaga Uno. Surat itu menuliskan bahwa Anies meminjam uang sebanyak Rp 92 miliar saat sedang mengikuti kontestasi Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017 lalu.  Surat pernyataan itu berisi tujuh poin. Pada poin ketiga, Anies mengakui total telah meminjam Rp 92 miliar kepada Sandi yang diberikan dalam tiga tahap peminjaman.  Kutipan berita itu dengan sangat jelas menerangkan bahwa upaya seseorang untuk bisa menjadi seorang Gubernur di negeri ini membutuhkan uang puluhan miliar rupiah.  Nah, bagaimana dengan keinginan seseorang untuk menjadi Presiden Republik Indonesia.   Agak berbeda sedikit, karena ternyata untuk memenuhi keinginan menjadi Presiden Republik Indonesia tidak memerlukan dana yang puluhan miliar banyaknya.  

Kutipan berita berikut ini menjelaskan bahwa ternyata sebuah upaya untuk mencapai cita cita luhur menjadi Presiden di Indonesia perlu dukungan dana setidaknya ratusan miliar rupiah, dan belum tentu akan berhasil.   Ini adalah berita yang dikutip dari Berita TEMPO.CO tertanggal 29 Maret tahun 2029 :Pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto - Sandiaga Uno, telah menghabiskan dana kampanye sebesar Rp 149,7 miliar sejak masa kampanye dibuka 23 September 2018 lalu. "Komponen terbesar adalah biaya bahan kampanye seperti atribut, kaos, stiker, kalender, pamflet, dan lain-lain," kata Dimas Djiwandono, Bendahara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo - Sandi di media center BPN, Jumat, 29 Maret 2019. 

Nah, mengikuti cerita dari dua  berita diatas maka sangat jelas bahwa ternyata untuk menjadi Gubernur dan apalagi menjadi Presiden di negara kesatuan Republik Indonesia yang dikenal sebagai negara demokratis, seseorang memerlukan dana yang sangat amat besar.   Bagi mereka, warga negara biasa yang tidak memiliki cukup sumber dana, maka keinginan untuk menjadi Gubernur dan apalagi menjadi Presiden Indonesia harus rela menerima kenyataan bahwa hal itu sama dengan Pungguk yang merindukan Sang Bulan.

Apabila pola yang menempatkan dana menjadi unsur penentu utama, maka dampak yang muncul adalah terjadinya banyak hal yang cenderung memecah belah persatuan dan kesatuan.   Muncul front yang diistilahkan sebagai Cebong dan Kadrun, muncul sentimen agama, suku, ras dan banyak lagi yang menjadi sumber konflik.   Tidak hanya sebagai bangsa, bahkan dalam satu keluarga banyak yang terpecah mengikuti aliran pemahaman keyakinan dari para pemimpin yang ingin dipilihnya.   Muncul relawan relawan yang fanatik yang konon berbekal kaos pembagian, nasi bungkus dan amplop untuk maju siap tempur membela yang “bayar”.  Ada terminologi yang berkembang sebagai  “serangan fajar”, bagi bagi amplop untuk mereka yang harus mendukung calon yang ditentukan oleh para sponsornya.   Uang menjadi sangat menentukan dan ini erat hubungannya dengan mengapa para calon pemimpin di negeri ini harus orang yang kaya raya.

Melihat lebih jauh pada tataran yang agak lebih tinggi, timbul perencanaan perencanaan kerja yang “hanya” berorientasi pada tenggang waktu 5 tahunan.   Muncullah proyek proyek besar dan strategis yang perhitungannya menjadi tersandera dalam siklus 5 tahunan.   Itu sebabnya, maka antara lain salah satu contoh saja yang terjadi di bidang Industri Penerbangan.   Sebuah industri yang memerlukan rencana matang berjangka panjang dan dukungan dana yang besar sulit untuk menarik perhatian para elit penentu kebijakan yang sudah terlanjur masuk kotak pemikiran sempit berjangka waktu 5 tahunan.   Penerbangan hanya menjadi perhatian dikala terjadinya kecelakaan dan saat harga tiket dipandang “mahal”.  

Penerbangan sebagai sebuah industri strategis tidak lagi menjadi menarik, karena sama sekali tidak ada hubungannya dengan benefit bagi para calon pemimpin dengan orientasi dan wawasan dalam siklus Pilkada dan Pilpres. Penerbangan tidak ada hubungannya dengan tingkat elektabilitas para calon Gubernur dan Presiden.  Demikian pula nasibnya dengan berbagai  bidang strategis yang memerlukan dana besar dan rentang waktu jangka panjang yang dibutuhkan terutama bagi pembangunan nasional pada sisi Nation and Character building.   Bidang pendidikan dan pelatihan, bidang penelitian dan pengembangan (Research and Development) menjadi sulit untuk memperoleh perhatian dari para elit negeri, karena tidak berpengaruh langsung dengan kesuksesan dalam Pilkada dan Pilpres.   Amburadul dan macetnya lalulintas pun yang dihadapi setiap hari di depan mata menjadi kurang memperoleh perhatian.

Hal itu karena cukup mudah diatasi oleh mereka yang memiliki fasilitas “ngoeng ngoeng” dan atau “brot brot brot” motor kawal menyuruh paksa minggir kendaraan lain untuk menembus kemacetan jalan raya separah apapun.
Demikian parahnya hasil dari sistem demokrasi dalam pola memilih pemimpin.  Memilih Pemimpin berbasis dukungan dana yang sangat tidak Fair dan berdampak pada banyak hal yang negatif dan tidak menididik sifatnya. Bagi para pecinta fanatik sistem demokrasi, mereka tetap membela dengan mengatakan ada sistem penyeimbang dalam tatakelola administrasi pemerintahan negara yang bernama DPR – Dewan Perwakilan Rakyat.   Mari kita jenguk sejenak Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR kita itu.   

Belakangan ini beredar berita hangat tentang DPR, ketika Menkopolhukam Mahmud MD menghadiri RDP – Rapat Dengar Pendapat di DPR.  Rapat Dengar Pendapat (RDP) umum antara DPR RI (Komisi III) dengan Prof Mahfud MD (MMD) yang juga Ketua Komite Nasional TPPU hari Rabu tanggal 29 Maret 2023, seakan menjadi tontotan terbuka rakyat Indonesia tentang bagaimana Republik ini dikelola. Mulai dari teguran MMD tentang kelakuan anggota DPR yang menggertak- gertak dengan sangat tidak sopan, ada lagi yang beraksi layaknya Polisi bertanya terhadap Maling sampai dengan kecurigaan terhadap anggota DPR yang berperan sebagai Markus   (Makelar Kasus).  Sudah menjadi rahasia umum tentang berita buruk mengenai sebagian besar anggota DPR, belum lagi banyaknya mereka yang terlibat dan tertangkap kasus korupsi.  

Jauh sebelumnya tersebar luas pernyataan Presiden Gusdur yang menjelaskan dengan penuh humor bahwa ulah anggota DPR itu seperti anak TK.   Tidak itu saja, menurut salah satu anggota DPR, mereka tidak akan berani bertindak tanpa persetujuan pimpinan Partai.   Sebuah pernyataan yang dapat ditafsirkan bahwa para anggota DPR bukan “semata” mewakili kepentingan rakyat, namun lebih mewakili kepentingan Partai.   Hal inilah yang dapat menjelaskan bahwa DPR sulit berperan sebagai penyeimbang eksekutif, karena harus mewakili kepentingan Partai yang menunjuknya.  

Kesimpulannya, DPR yang terdiri dari para anggota partai, yang memperoleh remunerasi dan fasilitas istimewa, tetap saja perannya berada dibawah pengaruh pimpinan partai.   
Itu semua memberikan gambaran utuh tentang para “pemimpin” negeri ini.  Para pemimpin siapapun dia dapat terlihat dari satu sisi sebagai orang kaya dan atau mereka yang memperoleh dukungan dari pihak penyandang dana yang cukup besar.   Tidak perduli apakah mereka pemimpin di jajaran eksekutif atau di jajaran legislatif.   

Pada kenyataannya, sebuah negeri seperti juga negara negara lainnya akan selalu dipimpin oleh Sebagian besar para politisi, pebisnis dan “sangat sedikit” para profesional.   Apabila ada pertanyaan mengapa mereka yang sudah kaya (pebisnis)  dan juga sudah berkuasa (politisi)  masih saja “nafsu” ingin tetap menjadi Presiden, Kepala Daerah dan Pemimpin apa saja, maka jawaban spontan yang akan diperoleh adalah bahasa baku yang berbunyi ingin mengabdi kepada negara dan bangsa dalam rangka berupaya membawa negeri ini menjadi negara yang Aman dan Makmur, gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharja.  Sebuah kondisi negara yang hanya akan ditemui dalam kisah dongeng anak anak belaka yang sangat amat jauh dari kenyataan.

Samuel P. Huntington dalam bukunya The Soldier and The State – The theory and politics of civil – military relations menyebutkan dengan jelas bahwa : “The businessman may command more income, The politician may command more power, but the professional man command more respect”.   Sebuah pernyataan yang sedikit banyak membantu menjawab pertanyaan tadi.  Pebisnis memang selalu ingin memperoleh lebih banyak lagi pendapatan dan Politisi pasti selalu ingin menambah terus rentang kekuasannya. 
Sementara itu sekarang ini kita tengah berada dalam pusaran persiapan Pilpres 2024 dengan segala dinamika yang terjadi.   Kasak kusuk para politisi dan pebisnis sudah mulai terlihat muncul di panggung terbuka.   Berbagai Lembaga Survey dan berbagai Tim Sukses sudah mengambil ancang ancang untuk terjun ke gelanggang sesuai dengan kepentingan masing masing.  Sebuah momentum yang menarik dan sangat menyita hampir seluruh urat nadi di seantero kehidupan umat manusia di Nusantara tercinta.  

Pada saatnya kita akan memilih presiden dan wakilnya untuk memimpin negeri ini.   Kita akan memilih calon yang akan ditentukan oleh Panitia Pemilihan Presiden.  Rakyat biasa tidak memiliki wewenang menentukan calon mereka sendiri kecuali oleh Partai yang berkuasa.   Sebuah sistem yang telah disepakati bersama yang terlihat seolah “hanya” memberi peluang bagi mereka para politisi kuat dan pebisnis kaya raya untuk dapat maju mencalonkan diri menjadi pemimpin.  Itulah Demokrasi dengan mekanisme tata cara dalam memilih pemimpin yang lebih memfasilitasi para orang kaya.   Walau begitu kita semua bangga telah dinyatakan sebagai negara demokrasi yang konon terbesar ke 3 di dunia setelah Amerika Serikat dan India.

Lebih dari itu jadi sangat menakjubkan bahwa kita terlihat “bahagia” dan penh antusias menyambut Pilpres yang akan datang. Bahagia dengan tata cara memilih pemimpin yang banyak ditenggarai berbasis uang dan kekuasaan bagi negeri yang besar dan memiliki kekayaan alam yang tiada tara.   Apabila benar bahwa itu semua yang dimaksud dengan tata cara demokrasi, maka  kesimpulan sederhana dapat di rumuskan sebagai Demokrasi dari dan untuk orang kaya.

Selamat memilih Presiden dan Wakil Presiden yang akan memimpin dalam periode 5 tahun kedepan.  

Jakarta 1 Mei  2023

 

Artikel Terkait