Opini

KBRI Helsinki Promosikan Peran Nyata Ulama Perempuan Indonesia Pada Komunitas Internasional

Oleh : luska - Rabu, 10/05/2023 07:28 WIB

Penulis : Ardyan Mohamad Erlangga

Ketika seseorang menyebut kata ‘ulama’, seringkali sosok yang segera terlintas di kepala adalah laki-laki paruh baya dengan rekam jejak panjang menekuni dan mengajarkan tafsir hukum Islam. Gambaran dominan bahwa ulama identik dengan lelaki diadopsi tak hanya oleh sebagian umat muslim, namun juga masyarakat internasional yang relatif awam terhadap Islam. 

Karenanya, demi memperkaya pemahaman komunitas mancanegara mengenai keragaman Islam, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Helsinki menggelar forum diskusi dengan tema "Moslem Women Empowerment in Indonesia: Perspective of Women, Peace, and Security". Diskusi membahas mengenai kemajuan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesia, termasuk menawarkan definisi ulama yang lebih luas bagi komunitas internasional di Finlandia. Pasalnya, sebutan ulama di Indonesia tidak monolitik melekat bagi guru agama lelaki semata, namun juga perempuan, dengan sumbangsih nyata bagi pemberdayaan masyarakat. 

Hal itu ditekankan oleh Dwi Rubiyanti Kholifah, selaku pembicara utama forum diskusi tersebut. Rubiyanti adalah Country Representative Asian Muslim Action Network (AMAN) untuk Indonesia, sekaligus penggagas Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), yang tengah melawat ke Finlandia atas undangan Martti Ahtisaari Peace Foundation.   

“Di Indonesia kata ulama itu cenderung netral, tidak selalu diasosiasikan dengan laki-laki,” ujarnya. “Para ulama perempuan ini menyadari bahwa interpretasi teks keagamaan harus sejalan dengan pengalaman perempuan di Tanah Air. Para ulama perempuan ini juga aktif merujuk teks-teks Islam yang mendukung kesetaraan gender.”

Dalam forum diskusi KBRI Helsinki yang berlangsung pada 8 Mei 2023 ini, hadir puluhan peserta terdiri atas para duta besar negara sahabat dan komunitas diplomatik, perwakilan beberapa kementerian setempat, international women’s club, peneliti universitas, hingga organisasi agama dan dialog lintas iman di Finlandia. Kepada para peserta, Rubiyanti menyatakan kultur Islam di Indonesia secara alamiah cukup inklusif, sehingga perempuan muslim bebas beraktivitas di berbagai ruang publik. 

Dia mencontohkan Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, di Jepara dapat dipimpin Nyai Hindun Anissa, seorang ulama perempuan, dan diterima dengan baik komunitas muslim lainnya. Kehadiran ulama perempuan semakin menguat selepas reformasi, menurut Rubiyanti, karena iklim demokrasi di Indonesia membaik. Dampaknya partisipasi perempuan di ruang publik, termasuk dalam urusan agama, semakin diterima semua kalangan.

Peran nyata para ulama perempuan dari Indonesia inilah yang mendorong Dubes RI untuk Finlandia dan Estonia, Ratu Silvy Gayatri, menggelar forum menghadirkan Rubiyanti. Diskusi mengenai keragaman Islam Tanah Air termasuk dalam agenda diplomasi kebudayaan yang senantiasa diupayakan KBRI Helsinki. 

“Forum semacam ini penting untuk memperlihatkan wajah muslim Indonesia kepada dunia. Apa yang telah dilakukan oleh para ulama perempuan ini perlu ditularkan ke negara lain, karena pada akhirnya perempuan yang berdaya akan memberi pengaruh pada kemajuan suatu bangsa,” ujar Dubes Ratu Silvi Gayatri. “Kita upayakan agar acara semacam ini rutin digelar di perwakilan Helsinki. Kami berkomitmen selain mendorong perdagangan dan investasi, KBRI juga dapat aktif mempromosikan budaya Indonesia, serta perspektif kita terhadap Islam.”

Rubiyanti, aktivis pesantren kelahiran Banyuwangi yang terlibat aktif jejaring kajian gender dan Islam selama tiga dekade terakhir, menjelaskan bahwa keberadaan ulama perempuan turut berperan membuat ajaran Islam di Indonesia lebih moderat, dibandingkan negara mayoritas muslim lainnya. 

Salah satu contoh kiprah mereka, adalah menerbitkan fatwa melarang perkawinan anak dan kawin paksa bagi umat muslim. Para ulama perempuan di Tanah Air ini juga aktif memberi rekomendasi pada Kementerian Agama, agar fatwa mereka senantiasa dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan. 

Selain menolak perkawinan anak, ulama-ulama perempuan ini turut merespons berbagai topik lain yang relevan dengan keseharian umat muslim global. Di antaranya penolakan terhadap sunat perempuan, reintegrasi eks-kombatan kelompok teroris, hingga perlindungan perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.

Wacana mengarusutamakan ulama perempuan, menurut Rubiyanti, mulai marak sejak dekade 1980-an, diupayakan para santriwati terdidik yang saling berjejaring di berbagai kota. Hanya saja, menurut Rubiyanti, ulama-ulama perempuan di Indonesia sempat lama tersebar di berbagai pesantren tanpa memiliki wadah bersama untuk menyuarakan pendapat saat muncul dialog mengenai tafsir-tafsir keagamaan. Hal itu yang mendasari lahirnya KUPI yang berhasil digelar Rubiyanti dan rekan-rekan pegiat feminis muslim lain untuk pertama kalinya pada 2017. Munculnya KUPI ternyata mendapat sambutan hangat dari komunitas muslim internasional, sehingga kongres ke-II mereka yang digelar pada 2022 lalu di Jepara, dihadiri lebih dari 1.500 ulama perempuan dari 32 negara. 

Lebih jauh lagi, Rubiyanti mengapresiasi adanya forum diskusi yang diinisiasi KBRI Helsinki, karena acara ini secara efektif menghubungkannya dengan banyak mitra potensial untuk berkolaborasi bersama ulama perempuan di KUPI. 

“Ke depan kami ingin mendorong orang dari mancanegara datang ke Indonesia, karena tanpa datang dan melihat sendiri kondisi pesantren di negara kita, mereka tidak akan paham mengapa bisa muncul gerakan ulama perempuan. Mereka bisa sekaligus belajar demokrasi di Indonesia dan nilai keislaman kita yang khas,” ujar Rubiyanti.
 

TAGS :

Artikel Terkait