Nasional

Pakar Hukum: Putusan MK Perpanjang Jabatan Pimpinan KPK Problematis

Oleh : Rikard Djegadut - Minggu, 28/05/2023 16:47 WIB

Jakarta, INDONEWS.ID - Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi, dari Universitas Muslim Indonesia (UMI), Fahri Bachmid, menyebut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ihwal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK, sangat problematis dan multitafsir. Sebab, menurutnya, sulit membangun korelasi antara justifikasi putusan MK ini dengan eksistensi masa jabatan pimpinan KPK saat ini.

"Sangat sulit untuk membangun korelasi sebagai justifikasi dari putusan MK dalam perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 terhadap keberlangsungan serta keabsahan pimpinan KPK saat ini. Sebab dalam putusan itu sendiri sama sekali tidak memberikan jalan keluar sebagai konsekuensi diterimanya permohonan ini," kata Fahri kepada awak media, Sabtu, 27 Mei 2023.

Fahri lantas menukil pertimbangan hukum MK dalam putusan tersebut yang tertuang dalam halaman 117. Pertimbangan hukum MK berbunyi, `Dengan mempertimbangkan masa jabatan pimpinan KPK saat ini yang akan berakhir pada 20 Desember 2023 yang tinggal kurang lebih 6 bulan lagi, maka tanpa bermaksud menilai kasus konkret, penting bagi Mahkamah untuk segera memutus perkara a quo untuk memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan`.

Menurut Fahri, pertimbangan MK itu bukanlah pijakan konstitusional bagi pimpinan KPK saat ini mengenai kewenangan transisi sampai dengan Desember 2024. Sebab, putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 47 UU MK.

"Artinya secara teoritik putusan MK bersifat prospektif ke depan atau forward looking, dan tidak retroaktif ke belakang atau backward looking. Itu adalah prinsip dasar, sehingga Presiden sebagai kepala negara akan dihadapkan dengan suatu kondisi yang sangat problematis sehingga membutuhkan suatu kehati-hatian yang tinggi," kata Fahri.

Fahri juga menilai putusan MK ini tak membuat kanal konstitusional, minimal pada amar putusannya untuk menampung keadaan khusus soal kaidah peralihan. Menurut Fahri, hal tersebut penting supaya memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum, antara ketentuan yang ada dengan putusan MK tersebut.

"Hal itu tujuannya untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum atau menjamin kepastian hukum; dan memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau putusan yang sifatnya mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara," ujarnya.

Lebih lanjut, Fahri menyoroti standar ganda MK terkait open legal policy atau kebijakan hukum pembuat undang-undang dalam putusan MK soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK ini.

Karena, dalam putusan itu, MK mengesampingkan open legal policy dengan sejumlah pertimbangan. Ia meyakini itu bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable, dan merupakan penyalahgunaan wewenang, sebab melampaui kewenangan pembentuk undang-undang serta bertentangan dengan UUD 1945.

Sementara, lanjut Fahri, dalam uji materi lain seperti uji materi ketentuan ambang batas pencalonan Presiden atau Presidential Threshold, MK secara konsisten menyebutnya sebagai open legal policy.

"Dengan MK mengabulkan permohonan mengubah masa jabatan pimpinan KPK dari 4 tahun menjadi 5 tahun, dikhawatirkan akan memantik permohonan lain di kemudian hari terhadap adanya perbedaan masa jabatan pimpinan di beberapa lembaga atau komisi negara. MK akan masuk ke wilayah yang selama ini merupakan kewenangan pembentuk undang-undang," imbuhnya.

Artikel Terkait