Opini

Menimbang Buka-Tutup Sistem Proporsional Indonesia

Oleh : luska - Senin, 29/05/2023 19:39 WIB

Penulis : Agung Muhammad siradj

Sistem proporsional  kembali menjadi topik hangat saat ini dan melibatkan banyak pihak mengutarakan  pendapat baik yudikatif, legislatif, mantan eksekutif, akademisi, kaum milenial, dan lain sebagainya.

Terlepas dari kepentingan yang ada di belakang para aktor kebijakan yang di gadang-gadang ingin mempengaruhi dinamika pemilihan presiden saat ini, pembahasan menganai  isu ini harusnya dilakukan dengan melihat  dari data dan academic support agar lebih obyektif.
Seperti mengutip dari pemikiran Pak Muhadam, selama negara kita masih belum mampu secara pendapatan dan intelektual, sistem terbuka hanya akan menguntukkan kaum  oligarki dan kaum populisme. Hal tersebut dapat seperti menjadi nyata terlihat, dengan berkaca pada persoalan yang terjadi saat ini. Pada akhirnya, pemilihan proporsional terbuka saat ini hanya melahirkan produk demokrasi akibat dari banyaknya jumlah kepala secara kuantitas, tetapi miskin akan jumlah isi kepala secara kualitas.

Meskipun demikian, melihat dari  respond masyarakat yang  sudah pasti pro dan kontra. Terdapat lebih  banyak kelompok yang menolak proporsional tertutup di bandingkan sebaliknya,  khususnya pada generasi muda yang belakangan aktif mengenai isu politik di sosial media seperti instagram dan twitter.

Secara pribadi saya berpendapat dengan melihat dari diskursus mengenai sistem proporsional yang hangat di bicarakan di sosial media  saat ini,  beberapa alasan pihak yang kontra terhadap sistem tertutup lebih disebabkan oleh :
1. Traumatik masyarakat terhadap orde lama, kebanyakan masyarakat  merasa bahwa segala sesuatu berkaitan dengan orde lama sangat korup dan manipulatif. Meskipun faktanya sekarang lebih  sadis, teringat dengan pernyataan penuh kontroversi oleh Prof. Mahfud MD, dengan jenaka menyebutkan bahwa korupsi di zaman sekarang lebih buruk dari Zaman Soeharto. Karena saat ini, dananya belum keluar tetapi transaksinya sudah ada. jika lebih teliti, penyebab terbesar korupsi yang terjadi saat ini ialah conflict of interest antara elit politik dan pihak swasta yang menciptakan suatu sistem oligarki, sesuatu yang sangat jarang terjadi di orde baru. Hal tersebut tidak lepas juga dari pengaruh sistem terbuka.
2. Euphoria Demokrasi kalangan milenial, kedaulatan rakyat yang digaungkang lewat demokrasi dekade ini mengalami puncaknya pasca reformasi 1998. Sebenarnya keinginan tersebut sangat baik yaitu untuk mewujudkan pembangunan  semangat demokrasi yang lebih partisipatif  dan lebih baik dari orde baru. Akan tetapi, suatu perubahan bukan berarti hanya dengan perubahan keseluruhan, bisa saja perubahan tersebut lebih baik dalam bentuk incremental atau perbaikan dari sistem sebelumnya. 
3. Sebagian oknum yang mengambil manfaat secara tidak adil dari sistem proporsional terbuka, sistem proporsional terbuka menyebabkan expensive cost  dalam pelaksanaannya. Jika rakyat sadar betul, sistem proporsional terbuka memberikan manfaat yang malah tidak proporsional dimana  para wakil rakyat yang dipilih dari hasil sistem saat ini melakukan korupsi lebih besar untuk menutupi cost of politic yang begitu mahal.

Ditambah lagi dengan para oligarki yang mempunyai kekuasaan lebih untuk menjadi shadow government, menerima setoran dari para wakil rakyat, melakukan transaksi undang-undang bersama legislator, dan  merusak lingkungan tempat masyarakat  kecil mencari kehidupan. Uniknya, sangat jarang masyarakat Indonesia khususnya netizen di dunia maya mengkritisi para oligarki ini. Sebaliknya,  netizen melihat dengan kagum para “pengusaha-pengusaha sukses” dengan penuh motivasi. Mereka jarang mempertanyakan bagaimana perusahaan itu bisa melipat gandakan aset dan modal mereka, atau Bagaimana efek samping dari usaha mereka terhadap rakyat kecil.

Lebih uniknya lagi, masyarakat malah mengkritisi gaji PNS yang dianggap melampui karyawan swasta, padahal hidup dengan ironis demi melayani mereka baik sebagai guru maupun pegawai daerah. 
Proporsional terbuka hadir sebagai kritik dan perbaikan dari sistem sebelumnya yang penuh dengan money politics. Menurut Dodi RIyadmadji (2003), beberapa hal yang menjadi latar belakang keinginan untuk mengubah dari sistem tertutup ke sistem terbuka ,  ialah :
1. sistem proporsional tertutup yang ada saat itu diwarnai banyak kasus;
2. rakyat akan berperan langsung dalam memilih wakilnya;
3. peluang terjadinya kasus politik uang mungkin akan semakin tipis;
4. terkesan lebih obyektif karena lebih nyata di pilih rakyat.
Jika dilihat dari poin diatas,  proporsional terbuka saat ini belum mampu menjawab persoalan sistem sebelumya. Sengketa pilkada jauh lebih pelik dan banyak di banding sengketa internal dalam proporsional tertutup. Rakyat berperan langsung tetapi di pacu dengan serangan fajar. Yang paling menarik,  money politics yang diharapkan akan berkurang karena para kandidat tidak perlu lagi menyogok anggota dpr/dprd. Tetapi  saat ini, jauh dari yang  diharapkan dimana yang tadinya menyogok sekitar 50/60 orang berubah menjadi seluruh potensial voters di wilayah administrasi pemilihan tersebut, tidak heran cost of politics menjadi sangat mahal. Bahkan secara legal, untuk meningkatkan demokrasi dibutuhkan tahun ini 76,6 triliun untuk menyelenggarakan pesta demokrasi oleh KPU, ditambah biaya pencalonan kandidat, kampanye, tim sukses, dan lain sebagainya.

Melihat dari fakta di atas, kita harusnya  mempertanyakan kembali mengenai keberhasilan sistem proporsional terbuka mencapai cita-cita demokrasi.
Selain  tantangan pendidikan dan pendapatan seperti yang di katakan oleh  Muhadam ( 2022), kultur paternalistik juga menjadi parasit dalam implementasi sistem terbuka. Masyarakat mudah untuk terhipnotis dengan sosok idolanya sehingga sukar menilai secara objektif. Kultur tersebut membuat sistem terbuka menjadi lebih beresiko untuk terjadi perpecahan atau disintegrasi di tengah masyarakat (S. Kastorius, 2003) .  Contohnya mudah dilihat  dari kekacauan yang terjadi selama pelaksanaan pemilihan wakil rakyat, masyarakat mudah untuk terpolarisasi dan digiring ke arah sudut tertentu hingga saling beradu dengan sangat tidak sehat tanpa mereka sadari.

Dengan adanya sistem proporsional terbuka diharapkan terjadi peningkatan kualitas demokrasi yang baik di tingkat pusat dan lokal. Namun masih banyak yang perlu dibenahi serta dievaluasi pasca hampir 2 dekade pelaksanaan  sistem p ini.  Dua hal yang penting jika ingin menerapkan kembali proporsional tertutup. Pertama, melakukan penyempurnaan perundang-undangan termasuk  penegakannya serta melakukan edukasi politik kepada masyarakat agar dapat melahirkan agen perwakilan yang berkualitas. Kedua, memperbaiki infrastruktur politik khususnya partai politik. Jika dicermati, reformasi pemerintahan seperti desentralisasi pemerintah daerah yang berpengaruh cukup besar saat ini tidak  berjalan lurus dengan reformasi parpol. Templatenya masih mirip dengan zaman ode baru khsususnya peran elit tertentu sebagai decision maker atas keseluruhan partai. Meskipun kita menggunakan sistem proporsional terbuka, tetapi calon yang kita pilih sebenarnya ialah kehendak dari partai. Tak jarang, kandidat yang di siapkan oleh rakyat bukanlah public figure yang dikenal baik oleh masyarakat, melainkan hasil dari transaksi mahar politik kepada elit partai atau sama dengan upeti pada zaman dahulu kala. 

Artikel Terkait