Nasional

Kesenjangan Kaya-Miskin Kian Melebar, Evaluasi Kebijakan dan Pekerjaan Rumah Bagi Capres 2024

Oleh : very - Senin, 24/07/2023 16:10 WIB

Diskusi Forum Insan Cita yang bertajuk “Kesenjangan Kaya-Miskin Semakin Melebar, Evaluasi Kebijakan dan Pekerjaan Rumah Bagi Capres 2024” yang digelar pada Minggu (23/7). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Kondisi ekonomi Indonesia pada kuartal 1/2023 mencapai 5.03%. Jika dibedah, tingkat pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5% itu, lebih banyak disumbang oleh windfall harga komoditas global batubara, sawit, nikel dll. yang memang sedang tinggi.

Hal itulah yang mendorong ekspor Indonesia tinggi sekali terutama ekspor non migas. Padahal dari sektor konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi kontributor pertumbuhan ekonomi RI hanya tumbuh 4,5%.

Hal ini beda dengan masa covid 19 2020-2022, yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi RI menjadi low base. Pijakan menjadi lebih rendah dan tidak bisa mencapai 5%.

Ekonom Universitas Paramadina, Dr Handi Riza mengatakan, angka pertumbuhan 5% an itu sudah lama sekali. Sebenarnya hal ini menjadi ujian bagi pemerintah karena trend harga komoditas mengalami penurunan mulai dari kelapa sawit, batubara, nikel, biji besi itu sebenarnya mengalami tren penurunan.

“Jika saja masa windfall profit sudah berakhir, maka dampaknya akan bisa diperkirakan pada pertumbuhan ekonomi. Apakah sektor konsumsi masyarakat kembali menjadi tumpuan pertumbuhan, ataukah akan kembali tertahan pada pertumbuhan 5 persenan,” ujarnya dalam Diskusi Forum Insan Cita yang bertajuk “Kesenjangan Kaya-Miskin Semakin Melebar, Evaluasi Kebijakan dan Pekerjaan Rumah Bagi Capres 2024” yang digelar pada Minggu (23/7).

Diskusi mengahadirkan Guru Besar IPB Prof Bustanul Arifin, dan M. Ma’ruf SE yang dibuka oleh Rektor Universitas Paramadina, Prof Dr Didik J Rachbini.

Prof Dr Bustanul Arifin banyak menyoroti terkait ketimpangan ekonomi di tanah air.

Menurutnya, ada beberapa penyebab ketimpangan yang dialami Indonesia. Pertama, karena karakter pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas. “Ada dominasi sektor non tradable terutama jasa yang tidak dapat dijangkau oleh lapisan bawah, dibanding dengan sektor pertanian dan manufaktur,” ujarnya.

Kedua, terkait pemerataan pemilikan lahan/asset yang memburuk. Petani berlahan sempit, katanya, terus mengalami peningkatan yaitu sebesar 54% pe tahun. Ini susuatu jumlah yang sangat serius.

Ketiga, akses terhadap faktor produksi dan sumberdaya terbatas. Ini akibat buruknya infratruktur ekonomi dan sumber daya produksi.

Keempat, karena kebijakan pemerintah yang tidak efektif: misal subsidi pangan, subsidi pendidikan, pupuk.

Dia mengatakan, kaum miskin masih banyak terkonsentrasi di Pulau Jawa yaitu sebesar 13,62 (52,59%), dan Sumatera 6,57 (21,89%).

Penguasaan lahan oleh petani kita juga sangat tidak merata. Petani Indonesia hanya punya 0,2 ha kepemilikan lahan. Itu berarti 10 kali lebih rendah dari kepemilikan lahan oleh petani di Jepang yang mencapai 2.0 ha. “Di Amerika 900 kali lebih rendah, di USA kepemilikan lahan petani 106,9 ha per petani. Dan di Inggris 15.000 kali lebih rendah yakni 3068,4 ha kepemilikan,” ujarnya.

 

Metode Melihat Ketimpangan Harus Diubah

Sementara itu, Prof Dr Didik J Rachbini mengatakan, ketimpangan tidak selesai di Indonesia dalam beberapa dekade belakangan. Bahkan kepincangan cukup besar dalam satu dua dekade terakhir.

Menurutnya, metode dalam melihat ketimpangan oleh para akademisi biasanya dengan melihat pendapatan masyarakat berdasarkan survei BPS.

“Sesungguhnya bukan pendapatan tapi pengeluaran. Tapi kalau melihat distribusi asset tanah atau deposito, atau tabungan, maka kesenjangan terlihat sangat tinggi. Aset tanah ketimpangannya sekitar 0,6-0,7. Di negara-negara Amerika Latin, jika ketimpangan tanah sudah 0,5 ke atas, maka yang terjadi adalah revolusi karena orang sudah marah karena penumpukan harta yang tidak wajar. Begitu pula dengan deposito,” katanya.

Namun, sayangnya, data BPS selalu tidak mencerminkan kondisi riil, dan cenderung tidak bisa digunakan untuk mengambil keputusan-keputusan strategis.

Didik mencontohkan, ketimpangan gini rasio oleh BPS sepertinya tidak bermakna apa-apa dan karena itu sebaknya tidak usah menjadi acuan oleh para akademisi. Karena nampaknya tidak mencerminkan keadaan sebenarnya.

Misalanya, data dari orang yang mempunyai deposito sebesar Rp5 miliar ke atas selama krisis covid 19, porsinya meningkat dalam tabungan deposito dari 45 – 52%, atau sekitar 0,02 persen orang dalam bank. Mereka itu menguasai separuh dari asset bank. Kalau ditambah yang punya deposito Rp2 miliar ke atas maka jumlahnya menjadi 62% orang. Ditambah lagi yang Rp1 miliar ke atas menjadi 66% atau 2/3. Sementara yang tabungannya hanya Rp1 juta-Rp50 juta menguasai hanya 12 % saja.

“Itulah beda jauhnya data BPS dengan data di bank. Tidak punya makna banyak dalam melihat kesenjangan dan cenderung ‘menipu’ dalam ranah ekonomi politik. Sudah saatnya data BPS itu ‘dibuang’ karena tidak bisa dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan ekonomi politik,” ujarnya.

 

Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin Indonesia mengalami penurunan pada Maret 2023, yaitu sebesar 9,36% atau mencapai 25,9 juta orang.

Sebelumnya, Sekretaris Utama BPS Atqo Mardiyanto mengatakan jumlah penduduk miskin turun 460.000 jiwa dari September 2022 atau turun sebesar 0,21 persen, dan turun 260.000 jiwa dari Maret 2022 atau sebesar 0,18 persen.

Jika kemiskinan mengalami penurunan, tidak demikian dengan ratio gini masyarakat yang mengalami kenaikan.

Rasio Gini atau tingkat ketimpangan pengeluaran masyarakat mengalami peningkatan menjadi 0,388 poin, dari sebelumnya 0,381 pada September 2022 atau meningkat 0,007 poin. Angka ini juga meningkat 0,004 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2022 yang sebesar 0,384.

Dr Handi Riza mengatakan, selama ini sumber data ketimpangan dan kemiskinan hanya diproduksi oleh pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS), Kemenkeu, OJK, BI. Sementara data-data independen yang bisa diakses dan punya tingkat kredibilitas yang baik masih sangat jarang digunakan.

Prof Bustanul mengungkapkan bahwa esensi ketimpangan terletak pada capital income dan labor income yang tidak nyambung.

“Kepemilikan bukan pengendali modal dan keputusan, tapi solusinya adalah perimbangan kekuasaan, antar individu, dan antar kelompok. Bagi-bagi kekuasaan bukanlah jalan keluar,” ulasnya.

Karena itu, kata Didik, angka 0,37-0,38 dari gini rasio oleh BPS yang tertera di publik adalah angka yang menipu. “Karena itu, sebaiknya tidak lagi digunakan sebagai pedoman akademisi. Demikian pula dengan data kesenjangan kepemilikan tanah dan jumlah tabungan di bank,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait