Nasional

Ralat Penetapan Tersangka Dugaan Korupsi di Basarnas, Hendardi: Rusak Rasa Keadilan Publik

Oleh : very - Sabtu, 29/07/2023 20:13 WIB

Wakil Ketua KPK Yohanis Tanah meminta maaf kepada TNI, Jumat (28/7). (Foto: Wartakota.com)

Jakarta, INDONEWS.ID - Penetapan status tersangka atas Kabasarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi (HA) dan Letkol Afri Budi Cahyanto (ABC) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan suap proyek di Basarnas, diralat melalui konferensi pers KPK (28/7). Sebelumnya, TNI menyatakan keberatan atas penetapan tersangka tersebut.

Ketua Dewan Nasional  SETARA Institute for Democracy and Peace, Hendardi mengatakan, keberatan TNI atas suatu proses hukum, tidak seharusnya dilakukan dalam bentuk intimidasi institusi.

“Dalih anggota TNI tidak tunduk pada peradilan umum adalah argumen usang yang terus digunakan TNI untuk melindungi oknum anggota yang bermasalah dengan hukum. Jika pun TNI tidak sepakat dengan langkah KPK, seharusnya menempuh jalur praperadilan,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Sabtu (29/7).

Hendardi mengatakan, pasal 65 ayat (2) UU 34/2004 tentang TNI menegaskan bahwa yurisdiksi peradilan militer hanyalah untuk jenis tindak pidana militer. Sedangkan dalam tindak pidana umum, seorang anggota TNI juga tunduk pada peradilan umum.

Demikian juga Pasal 42 UU 30/2002 tentang KPK, menegaskan kewenangan KPK melingkupi setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, baik ia tunduk pada peradilan umum maupun pada peradilan militer.

“Jadi, tidak ada tafsir lain kecuali bahwa KPK seharusnya tidak menganulir penetapan tersangka tersebut,” katanya.

Norma-norma dalam UU 31/1997 tentang Peradilan Militer yang mengatur subyek hukum peradilan militer seharusnya batal demi hukum karena UU TNI dan UU KPK telah menegaskan sebaliknya. Yakni, jika anggota TNI melakukan tindak pidana umum, maka tunduk pada peradilan umum.

Hendardi mengatakan, ketidaksamaan di muka hukum dan privilege hukum bagi anggota TNI harus diakhiri. “Presiden dan DPR selama ini terus gagal atau digagalkan untuk menuntaskan reformasi UU Peradilan Militer,” ucapnya.

Peristiwa klarifikasi dan permintaan maaf atas penetapan tersangka anggota TNI terhadap sebuah tindakan hukum yang sah dan berdasarkan UU, merupakan puncak kelemahan KPK menjaga dan menjalankan fungsinya secara independen.

“KPK memilih tunduk pada intimidasi institusi TNI, yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip kesamaan di muka hukum sebagaimana amanat Konstitusi,” kata Hendardi.

Peristiwa ini juga menunjukkan supremasi TNI masih teramat kokoh, karena meskipun tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi, korps TNI pasti akan membela dan KPK melepaskannya.

“Peragaan ketidakadilan dalam penegakan hukum ini harus diakhiri. Presiden dan DPR tidak bisa membiarkan konflik norma dalam berbagai UU di atas terus menjadi instrumen ketidakadilan yang melembaga,” pungkasnya. ***

Artikel Terkait