Opini

Historisitas Politik NU dalam Pusaran Politik Elektoral

Oleh : very - Sabtu, 16/09/2023 19:52 WIB

Dr. Abdul Mukti Ro’uf, MA adalah dosen dan pemerhati dibidang filsafat, contemporary Islamic Thought, dan social-keagamaan. (Foto: Ist)

Oleh: Abdul Mukti Ro’uf*)

INDONEWS.ID - Setiap kali musim pilpres tiba, NU selalu menarik bahkan ditarik dalam pusaran poltik elektoral partai politik dan para aktor di dalamnya. Daya tarik terhadap NU bukan saja atas pertimbangan elektoral yang bersifat kuantitatif. Melainkan juga karena pertimbangan kualitatif yaitu soal pandangan dunia (world view) NU sebagai jangkar NKRI dengan ideologi keislaman dan kebangsaan yang menyatu padu. Jati diri politik NU dengan demikian inhern dengan jati diri Indonesia itu sendiri.

NU dan Indonesia itu identik. Karena itu, siapapun calon pemimpin nasionalnya, pertimbangan menyertakan NU dalam mengelola kekuasaan negara telah menjadi kesadaran bawah sadar nasional. Sekali lagi  bukan semata karena pertimbangan jumlah warganya yang separuh dari jumlah penduduk Indonesia melainkan terutama karena peran historisitasnya sebagai patner negara yang setia terhadap perawatan empat pilar dalam berbangsa dan bernegara.

Maka, aneka gagasan berbagai koalisi pilpres 2024 yang hendak mengajak elit NU dalam memasangkan bacapres-bacawapres, selain karena argumen prgamatis-elektoral, harus berhasil membawa masuk cita-cita paling mendasar dari ormas keagamaan yang terbesar sedunia ini.

Ikhtiar pembentukan gambar koalisi pilpres 2024, seperti pada pilpres-pilpres sebelumnya, selalu menjadikan faktor NU sebagai varaibel pembentuk. Pada proses pemasangan capres-cawapres pilpres 2019, variable NU masuk dengan kehadiran Rois Syuriah PBNU, KH. Makruf Amin mendampingi Joko Widodo. Kehadirannya cukup dramatis karena ia hadir di ujung waktu. KH. Makruf Amin bukan sosok pembawa suara elektoral bagi Joko Widodo. Kehadirannya lebih mewakili sebagai duta religius/keagamaan yang mewakili hampir separuh jumlah penduduk Indonesia. Dan yang utama adalah kebutuhan kontekstual karena kuatnya narasi dan aksi politik identitas waktu itu.

Langsung atau tidak langsung, peran NU yang direpresentasikan oleh KH Makruf Amin dianggap sebagai “juru selamat” politik secara umum. Dan sekaligus menyumbang kemenangan pasangan Jokowi-Makruf Amin. Sekarang terbukti, dengan “diam”nya wapres KH. Makruf Amin sebagai pendamping Presdien Joko Widodo dianggap berhasil menstabilkan pemerintahan Jokowi di periode keduanya.

Tidak rewelnya wapres KH Makruf Amin justru menjadi sumabangannya yang terbesar dalam menjalankan visi-misi Presdien Joko Widodo. Sebagai tokoh agama dan politisi, KH, Makruf Amin menyadari sejak dini bahwa ia masuk bukan dengan kekuatan suara elektoral dan kekuatan logistik. Dalam bahasa kultural orang NU, ia menjadi wapres semata karena berkahnya “orang NU”. Dan begitulah takdirnya.

 

Relasi PBNU-PKB di Pilpres 2024

Di berbagai liputan banyak media, ada kesan yang tertangkap tentang polarisasi antara elit PBNU dan elit PKB terutama mengenai pemahaman dan klaim “mewakili NU”. Jika merujuk pada perjalanan kontestasi tentang “merebut suara NU”, tidak hanya terjadi di dan oleh eksternal NU. Melainkan pada internal NU sendiri terutama sejak awal-awal lahirnya banyak partai politik pasca reformasi.

Mereka yang jeli terhadap perjalanan ini, tidak mudah terkecoh atas berbagai silang pendapat misalnya antara elit PBNU dan elit PKB. Juga antara putri Gus Dur Yenny Wahid yang mewakili “PKB Gus Dur” dan para elit PKB yang tengah diimami oleh Muhaimin Iskandar selama 18 tahun.

Sebagai politisi—terlepas suka atau tidak suka—Gus Imin memang “lincah” dan piawai dalam merebut dan mengelola kekuasaan partai. Saking lincah dan jelinya, ia cukup melompat secepat kilat “meninggalkan” kemesraannya dengan Prabowo yang menggantung terlalu lama status hubungan keduanya. Terlalu lama dianggurin itu tidak enak. Tetapi “ojo kesusu” juga layak disematkan pada Gus Imin oleh Prabowo. Itulah seni dalam berpolitik.

Daya juang dan daya tahan Gus Imin memang cukup teruji dalam menghalau berbagai peristiwa yang membebaninya. Meski ada naik-turunnya elektabilitas PKB, partai ini telah membuktikan bertahan hingga kini di tengah lahirnya partai yang mengatasnamakan NU seperti Partai Kebangkitan Umat (PKU) bentukan KH. Yusuf Hasyim (1998), Partai Nahdlatul Ulama (PNU) bentukan KH. Syukran Makmun (1998), dan partai SUNI. Sejalan dengan realitas politik inilah Gus Dur pernah bergurau bahwa “PKB adalah telur ayam (maksudnya adalah partai yang resmi lahir dari NU), sedangkan PKU, PNU, dan SUNI hanyalah “kotoran ayam”.

Karena itu, terlepas dari silang pendapat soal klaim “mewakili NU’ antara “NU struktural” (PBNU) yang mengurus umat dan dakwah dan PKB yang ngurus politik warga Nahdlatul ulama dapat bertemu pada satu pandangan yaitu bahwa aspirasi politik warga NU telah diwadahi secara resmi oleh PKB. Bahwa ada banyak kader NU yang memilih berkhidmat di partai lain tidak otomatis menggugurkan sejarah lahirnya PKB. Hal itu sejalan dengan pemeo yang sudah lama berkembang bahwa “NU tidak berada dimana-mana, tetapi NU ada di mana-mana”.

Karena fakta hsitorisitas PKB itulah, secara praksis sulit membayangkan terjadinya pemisahan yang tegas dan ketat antara PKB dan NU. Ketum PBNU dua periode, KH, Said Aqil Siradj dalam berbagai forum terus mengkampanyekan narasi tentang “NU adalah PKB, dan PKB adalah NU”. Narasi ini dipandang sahih karena alasan hsitoris. Bahkan lebih jauh karena alasan soliditas aspirasi politik warga NU.

Meskipun secara konsepsional, mencampuradukan PKB dan terutama dengan PBNU dalam satu tarikan nafas politik, apalagi politik praktis, akan mengganggu jati diri NU sebagai yang memainkan “politik kebangsaan” yang bertugas mengayomi semua kekuatan politik bangsa. Hingga di sini, sejatinya tidak ada perdebatan yang krusial soal relasi PBNU-PKB. Keduanya telah disadari akan posisi dan perannya masing-masing.

 

Hanya perbedaan politik

Perbedaan pendapat—untuk tidak menyebut perseteruan—antara Yenny Wahid dan Muhaimin Iskandar harus ditempatkan semata pada faksionisme partai yang lumrah terjadi dan hampr terjadi di banyak partai. Banyak variabel yang mengiringi terjadinya faksionisme. Diantaranya sentuhan “tangan kekuasaan” karena alasan stabilitas politik suatu rezim. Yang unik dalam faksionisme PKB adalah soal “ribut antar keluarga” dimana keduanya mewarisi “darah biru” para pendiri NU. Baik Ning Yenny Wahid maupun Gus Imin adalah cicit dari pendiri NU. Ada banyak kesamaan yang bisa dipertemukan terutama soal tujuan (ghayah) sebagaimana dirumuskan dalam paradigma politik NU dalam bentangan sejarahnya yang panjang. Dan ini harus dicatat, ributnya orang NU itu sering diwarnai gelak tawa. Seribut-ributnya Gus Dur dengan orang lain selalu terselip tawa yang renyah.

Selain itu, rumusan politik kebangsaan NU pasti menjadi payung bersama bagi semua elit NU yang berkhidmat di banyak partai, apalagi di PKB. Karena itu dapat diduga bahwa silang pendapat antara Yenny Wahid dan Gus Imin lebih kepada masalah cabang (furu’), metode, gaya, dan sikap personal. Bukan pada perbedaan yang pokok (ushul) dan ghayah (tujuan) berpolitik. Sehingga bisa dikatakan bahwa “perseteruan” Yanny Wahid-Gus Imin bersifat “politik praktis” dan bukan “politik nilai”.

Dalam kultur intelektualisme NU, perbedaan-perbedaan dalam wilayah muamalah, termasuk politik ada dalam ranah ijtihadi yang sewaktu-waktu bisa berubah. Dalam kaidah fiqhiyah NU, asas maslahah (kepentingan yang lebih besar) akan mengatasi perbedaan-perbedaan yang lebih bersifat teoritik dan praksis. Ada nilai yang lebih utama yang harus diselamatkan dan dibela. Dalam ormas NU, ada kelompok orang yang bertugas menjaga nilai “ke-NU-an” yang tersambung dengan para pendiri NU secara spiritual.  Jika mereka belum “turun gunung”, maka “huru-hara” yang terjadi masih dalam katagori ringan dan masih bisa diatasi oleh “orang biasa”.

 

Menguntungkan siapa?

Pertanyaan siapa menguntungkan apa dan siapa tidak berlaku bagi paradigma politik nilai NU. Tetapi mungkin dapat berlaku bagi kalkulasi politik elektoral partai. Maka pernyataan ketum PBNU Gus Yahya Staquf tentang netralitas PBNU dalam urusan “copras-capres” mendapat legitimasinya di bawah payung politik kebangsaan NU.

Ketum PBNU memiliki tanggung jawab moral politik untuk menjaga Indonesia dan keindonesiaan. Tetapi di kamar yang lebih kecil, Ketum PKB punya tanggung jawab politik elektoral dalam membesarkan partainya sebagai pertanggungjawaban organisasi. Maka, dukungan pesantren dan para kyai sebagai basis elektoral PKB—sejauh tidak mengatasnamakan kepengurusan NU—layak dimaksimalkan. Percobaan mengajukan (alm) KH. Hasyim Muzadi dan (alm) KH. Solahudin Wahid sebagai cawapres pada pilpres 2004 belum berhasil.

Kini pertanyaannya, apakah pasangan Anis Baswedan-Muhamian Iskandar—jika benar-benar bisa berlayar—akan mengulang fakta 2004 atau akan ada strategi baru yang bisa menghantarkan kader NU. Ini sekaligus ujian bagi keluarga besar NU dan para elitnya. Tetapi, apapun metode strategi, dan hasilnya, pemeo lama itu akan tetap bertahan lama: “NU tidak berada dimana mana, tapi NU ada dimana-mana”.

*) Dr. Abdul Mukti Ro’uf, MA adalah dosen dan pemerhati dibidang filsafat, contemporary Islamic Thought, dan social-keagamaan. Banyak menulis buku dan artikel ilmiah yang tersebar di berbagai jurnal.

Artikel Terkait