Opini

PKB dan PKS: Deideologisasi Partai?

Oleh : very - Selasa, 10/10/2023 18:31 WIB

Pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. (Foto: Tempo.co)

Oleh: Abdul Mukti Ro’uf*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Adalah Partai Nasdem yang secara tiba-tiba “memaksa” PKS untuk bersama-sama PKB berada dalam koalisi Perubahan. Alasan utama PKS, baik tersurat maupun tersirat cukup jelas: konsisten untuk mendukung Anies Baswedan sebagai Capres 2024. Berbeda dengan mitra koalisi lamanya Partai Demokrat. Sambil mendukung Anies Baswedan, juga membawa AHY sebagai bacawapres Anies.

Begitu langkah cepat Surya Paloh menetapkan Muhaimin Iskandar sebagai bacawapres Anies, Partai ini langsung bergerak pergi dan berlabuh ke koalisi Indonesia Maju bersama Gerindra, Golkar, PAN, dan beberapa partai non parlemen lainnya. Peristiwa ini teramat jelas menggabarkan bahwa kendali atas koalisi perubahan adalah Partai Nasdem wabil khusus, Surya Paloh.

SBY yang mantan Presiden dua periodepun tidak memiliki kendali atas dinamika koalisi perubahan yang mudah berubah. Memang, peran serta politik SBY di 2024 ini tidak semanis 2004. Gestur “melo-dranatik” politiknya tidak lagi memikat publik di era yang semakin terbuka dan kritis ini.

Kehadiran putra sulungnya AHY juga belum menarik publik sebagai tokoh muda yang menjenjangi karir politiknya dari bawah. Dibanding AHY, barangkali Puan Maharani lebih merasakan jenjang kaderisasi sebagai calon pemimpin partai masa depan. Di koalisinya yang barupun tidak istimewa dibanding Golkar dan PAN. Sehingga Demokrat harus berpuas diri dengan realitas politik yang kurang berpihak. Rumah Cikeas tidak lagi menjadi daya tarik politik nasional dibanding Hambalang dan Teuku Umar.

Diantara yang mengejutkan publik bukan semata langkah taktis Surya Paloh dan Nasdem dalam memasangkan Anies dengan Gus Imin, tetapi relasi PKB dan PKS sebagai partai dengan muatan ideologi partainya masing-masing. Relasi personal antara Anies-Gus Imin bisa dirasionalisasi dan diobjektifikasi dengan seluruh bangunan argumen politik di dalamnya. Keduanya mantan aktivis yang biasa mengelola “pertandingsn kekuasaan”.

Anies seorang akademisi yang pernah jadi gubernur. Gus Imin political leader yang memimpin partai selama 18 tahun. Pernah menjadi menteri dan pimpinan DPR. Keduanya cukup pantas menempati posisi capres-cawapres.

Tetapi membangun argumen untuk menjelaskan relasi PKB dan PKS memerlukan energi lebih terutama untuk meyakinkan grass root di masing-masing basis massanya. Belakangan banyak muncul narasi tentang “ketidakmungkinaan” terjadi harmoni dalam waktu dekat antara massa PKS dan PKB karena alasan kesejarahan dan banyak issu publik dan kebangsaan dimnaa keduanya sering berseberangan.

 

PKB-PKS: Dua Kutub yang Berbeda

Secara akademik, dua partai ini lahir dari “kelompok agama” yang memiliki historisitas yang berbeda. PKB merupakan wadah aspirasi politik warga Nahdliyin yang memiliki rentang kesejarahan panjang dan dipayungi oleh doktrin politik ahl Sunnah wal Jama’ah al-Nahdliyah.

Sementara PKS merupakan partai dengan ideologi Islam yang diwarisi dari gerakan reformasi Islam di Mesir melalui gerakan Ikhwan al-Muslimin yang sering dikatagorikan sebagai “politik kaum Islamis” dengan mengusung syariat Islam sebagai core issues dalam bernegara.

Secara doktrin politik, PKB dekat dengan narasi deformalisasi syariah dalam bernegara, sementara PKS lebih dekat dengan formalisasi syariah. Bahkan, dalam batas-batas tertentu, PKS sering diidentikkan dengan paham keagamaan wahabisme yang secara diametral bertabrakan dengan paham ahl Sunnah wa al-Jamaah al-Nahdliyah yang dipegangii oleh PKB.

Sudut pandang keagamaan yang relatif berbeda ini, mau tidak mau akan menjadi kendala psikologis (phsicological barrier) diantara keduanya terutama di tingkat akar rumput yang fanatik. Persepsi ini tidak mudah diubah karena alasan kebutuhan elektoral. Tetapi cukup mempengaruhi terhadap persepsi elektoral.

Jika narasi keagamaan tidak dapat dikelola dengan baik akan merugikan pemilih (terutama warga Nahdliyin) yang merasa ‘terganggu” dengan keberadaan PKS di tengah PKB. Dan atau sebaliknya dengan PKS yang merasa jauh dengan PKB.

 

Jejak yang Belum Jauh

Fenomena sosial-politik sejak Pilkada DKI 2017 dan Aksi Bela Islam yang berjilid-jilid hingga jelang Pilpres 2019 jelas menggambarkan posisi PKS dan PKB terutama bagi warganya dengan latar belakang keagamaan yang berbeda. Lautan manusia yang berkumpul di Monas jelas menggambarkan moblisisasi “suara Islamis” dimana PKS menjadi at home di dalamnya.

Sementara PKB yang berbasiskan warga NU, bukan menjadi bagian dari barisan “suara Islamis” yang dekat dengan ormas eks HTI dan FPI. Dalam konteks Pilkada DKI, jelas bahwa Anies Baswedan yang kini berpasangan dengan Gus Imin masih dilekatkan dengan label “politik identitas” dengan seluruh atribusi dan kontroversi di dalamnya.

Meskipun demikian, Surya Paloh dengan mesin Nasdemnya terus berjuang untuk melepaskan labelisasi Anies dari atribusi politik identitas ke narasi inklusifitas dan pluralitas. Memang tidak mudah untuk melepaskan identifikasi politik seseorang apalagi di tengah jagat media yang tanpa kontrol.

Sehingga, pertemuan dua partai ini terkesan hanya untuk melengkapi trheshold 20 persen dan memastikan Anies untuk bisa berlayar di pilpres 2024. Pasangan ini juga sekaligus menyelamatkan nama besar Surya Paloh sebagai barisan dari para King Maker dan menandingi king maker-king maker lainnya.

Dari sisi PKB, cita-cita partai politik untuk mengusung ketua umumnya menjadi capres-cawapres bisa tercapai. Koalisi dengan pasangan AMIN itu tentu mau menang. Untuk bisa menang ada parameter yang rasional dan objektif. Diantaranya adalah hasil survei, kekuatan jaringan, kekuatan logistik dan selebihnya menunggu ketetapan takdir.

 

PKB-PKS: Mengukur Potensi Elektoral

Sekarang, lupakanlah sebentar perbedaan ideologi partai. Karena memang, basis koalisi bukan diasaskan pada persamaan ideologi. Tetapi lebih bermotif bagaimana menang dan karena itu menjadi pragmatis.

Perbedaan doktrin dan langgam politik bisa ditepis dulu sambil memusatkan pada upaya konsolidasi suara di masing-masing basis pemilihnya. Sebagai partai kader, PKS kuat di Jawa Barat, DKI, dan Banten.

Harus diakui bahwa PKS terasosiasi sangat kuat dengan capres Anies Baswedan. Elektabilitas Anies Baswedan disumbang 18% oleh kader PKS. Pemilu 2019, PKS berhasil mengumpulkan suara sebanyak 11.493.663 (8,21 persen). Jika asumsinya tidak bergeser jauh, pasangan AMIN akan dapat limpahan suara antara 8-10 persen. PKB meraih suara 13.570.097 (9,69 persen), Nasdem 12.661.792 (9,05 persen).

Diantara tiga anggota partai koalisi itu, hanya PKS yang lebih bisa memastikan linieritas dari pemilih partai ke pemilih presiden. Sementara pemilih PKB terutama di Jawa Timur masih sangat cair untuk ke tiga pasangan capres-cawapres. Begitu juga dengan Partai Nasdem. Maka, hitung-hitungan perolehan suara harus dimulai dari angka yang sudah ada dan dari temuan terbaru dari beberapa lembaga survei.

Jika mengacu pada logika pemilih partai sama dengan pemilih presiden (dan itu tidak mungkin), maka perhitungan yang merujuk pada tahun 2019, pasangan ini hanya akan akan meraih suara maksimal 28-30 persen. Prediksi angka ini masih cukup relevan jika berkaca pada angka-angka elektabilitas capres-cawapres AMIN. Prediksi suara ini belum bisa menandingi (setidaknya berdasarkan angka-angka survei terbaru) dua pasang lainnya. Sehingga koalisi ini baru akan menemukan relevansinya di putaran kedua.

Tetapi sekali lagi, dalam politik selalu memiliki kejutan-kejutannya sendiri. Siapa tau, pasangan ini memiliki strategi untuk menang di luar dari kalkulasi rasional dan objektif. Semua bisa menjadi mungkin. Tetapi dalam pendekatan saintifik, kemungkinan itu tetap harus dilandasi oleh teori dan kaidah yang menghantarkan pada probabilitas (kemungkinan besar benar). Tanpa itu, politik akan masuk pada arena mitos tanpa nalar.

*) Dr. Abdul Mukti Ro’uf, MA adalah dosen dan pemerhati dibidang filsafat, contemporary Islamic Thought, dan social-keagamaan. Banyak menulis buku dan artikel ilmiah yang tersebar di berbagai jurnal.

Artikel Terkait