Oleh: Abdul Mukti Ro’uf*)
INDONEWS.ID - Di media ini (26/9/23) saya menulis artikel, “Membaca Peluang Mahfud MD” untuk dipasangkan dengan Ganjar Pranowo di antara bakal bacawapres yang terekam dalam radar koalisi PDIP, PPP, Hanura, dan Perindo, Rabu, 18/10/23,
Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri resmi berserta partai pengusung resmi mengumumkan Prof. Dr. Mahfud MD sebagai cawapres Ganjar Pranowo yang pada hari ini (19/10/23) resmi didaftarkan di KPU.
Hingga artikel ini ditulis, hanya Prabowo Subianto yang belum mendeklarasikan pasangannya. Artinya, sejak pendaftaran capres-cawapres dibuka pada 19/10/23 hingga 25/11/23, konstalasi politik capres-cawapres mulai menunjukkan kepastiannya. Aneka silaturahmi politik mulai dibatasi ruang.
Hasil keputusan MK tentang batas usia capres-cawapres semakin jelas mengarah pada peluang Gibran Rakabuming Raka untuk dipinang sebagai cawapres Prabowo Subianto. Kedekatan PSI dan dukungan Projo ke koalisi Indonesia Maju adalah indikator paling jelas untuk menjelaskan relasi Jokowi kepada koalisi Indonesia Maju.
Menghitung Modal Elektoral Mahfud MD
Ditetapkannya Mahfud MD sebagai cawapres Ganjar Pranowo jelas akan mengubah konstalasi politik. Mahfud diyakini oleh Megawati Soekarno Putri dan para partai pengusungnya sebagai sosok ideal dengan kebutuhan Indonesia hari ini dan ke depan untuk mendampingi Ganjar Pranowo.
Narasi paling kuat yang bisa dilekatkan pada sosok Mahfud MD adalah supermasi hukum untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Dalam logika hukum yang dibacakan Mahfud, “tidak mungkin ada kesejahteraan tanpa pertumbuhan ekonomi, dan tidak ada pertumbuhan ekonomi tanpa investasi, dan tidak mungkin ada investasi tanpa kepastian hukum yang adil”.
Mahfud seolah hendak memastikan dengan seluruh ilmu, pengalaman, integritas, dan keberaniannya dapat berkontribusi signifikan dalam menguatkan persepsi publik bahwa pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD sebagai pasangan ideal.
Tetapi, pasangan ideal seringkali belum menunjukkan fakta keterpilihan di tingkat masyarakat pemilih. Banyak faktor yang kompleks untuk mengukur tingkat keterpilihan pasangan capres-cawapres. Untuk kebutuhan itu, memotret Mahfud dari sudut pandang jejaring pemilih perlu diprediksi.
Ada tiga sudut pandang yang bisa digunakan untuk memotret Mahfud MD. Pertama, Jaringan Nahdliyin. Gerbong pemilih NU terutama di Jawa Timur, wabil khusus, Pulau Madura adalah satu-satunya basis pemilih Mahfud yang utama.
H Rawi, tokoh Madura dan Ketua IKAMA, yang sebelumnya pendukung berat pasangan AMIN, karena putera Madura Mahfud MD menjadi cawapres, ia langsung menyatakan dukungan ke Ganjar Pranowo. Komunitas “Madura-NU” tidak hanya di Pulau Madura, tetapi tersebar di seluruh Indonesia.
Selain jaringan Nahdliyin yang berstempel “Madura”, warga NU baik di struktural maupun kultural bisa lebih rasional untuk lebih dekat ke sosok Mahfud MD. Memang, berulang kali PBNU tidak akan masuk dalam urusan dukung-mendukung capres-cawapres.
Tetapi publik mengerti bahwa sosok Mahfud lebih identik dengan “PKB GusDur” dimana Yenny Wahid berada paling depan dalam “rivalitas”nya dengan PKB Muhaimin Iskandar. Dan publik juga mengerti bagaimana relasi Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf dengan keluarga GusDur.
Sehingga dapat dikatakan bahwa secara psikologis (jelas atau samar-samar), kekuatan pemilih NU bisa terserap secara siginifikan kepada Mahfud MD.
Namun demikian perlu diingat pelajaran tentang tidak terpilihnya pasangan Megawati-Hasyim Muzadi pada pilpres 2004. Betapa suara Nahdliyin relatif cair dalam konsolidasi politik elektoral. Jika karakter dasar pemilih Nahdliyin “yang cair” itu tidak berubah, maka diperlukan upaya ekstra untuk meyakinkan pemilih Nahdliyin. Kelompok Gusdurian (jika diasumsikan berada dalam barisan ini) yang secara jumlah tidak terlalu siginfikan dapat berperan lebih kreatif dalam mengkampanyekan pasangan Ganjar-Mahfud.
Kedua, barisan HMI-KAHMI. Mahfud MD juga identik dengan Himpunan Mahasiswa Islam dan Keluarga Alumni HMI. Kekuatan ini dapat dikapitalisasi sebagai kekuatan lain.
Jaringan HMI sejauh ini dapat diandalkan sebagai kekuatan efektif di banyak “pertarungan politik” nasional. Jaringan ini juga tidak hanya hidup di organisasinya. Tetapi banyak hidup di birokrasi dan simpul profesional lainnya.
Ketiga, pemilih rasional perkotaan. Modal pemilih Mahfud lainnya adalah mereka yang selama ini peduli dengan issu anti-korupsi dan masyarakat kota yang mendambakan pemerintahan yang bersih. Karakter pemilih ini melintasi batas agama, suku, ras geografis, usia, dan profesi.
Tiga argumen asumtif modal elektoral ini perlu didalami melalui pendekatan survei dan kerja-kerja lapangan secara terintegrasi untuk mengukur “kekuatan elektoral” Mahfud MD selain “kekuatan personal” yang telah dimilikinya.
Kapitalisasi Mahfud MD
Sekali lagi, kekuatan Mahfud MD terletak pada kekuatan personalnya sebagai sosok yang lengkap dalam lanskap karir politiknya: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tetapi memiliki kelemahan dalam jaringan pemilihnya.
Tiga modal elektoral itu menjadi pekerjaan rumah untuk dapat dikonsolidasikan secara terukur-kuantitatif.
Maka, “menjual” Mahfud MD kepada pemilik suara hendaklah berbasis kekuatan dan fakta yang dimilikinya: berpengalaman, berpengetahuan, bersih, berani, dan berintegritas. Modal ini jauh lebih terukur dan faktual dibanding misalnya sosok yang merakyat. Dengan mengkapitalisasi personal branding ya diasumsikan dapat menebalkan perolehan angka di basis-basis elektoralnya.
*) Dr. Abdul Mukti Ro’uf, MA adalah dosen dan pemerhati dibidang filsafat, contemporary Islamic Thought, dan social-keagamaan. Banyak menulis buku dan artikel ilmiah yang tersebar di berbagai jurnal.