Nasional

Terjadi Dekadensi Luar Biasa, Upaya Jokowi untuk Menjerumuskan Demokrasi Telah Tercium

Oleh : very - Selasa, 31/10/2023 11:45 WIB

Budayawan yang juga politikus PDI Perjuangan, Eros Djarot dalam Diskusi Publik dengan tema “Ancaman Matinya Demokrasi Indonesia” di Universitas Paramadina, Senin (30/10/2023). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Kehendak kebudayaan bangsa Indonesia ditentukan oleh UUD 1945. Reformasi kepemimpinan merupakan harapan bagi solusi terhadap semua masalah yang dialami oleh bangsa ini.

Namun, ternyata yang terjadi merupakan kelanjutan dari masalah tersebut. Karena itu, ke depan diprediksi akan terjadi masalah yang lebih besar lagi.

Hal itu terjadi lantaran pendekatan yang diharapkan dijalankan berdasarkan UUD 1945, ternyata dalam perjalanannya malah semakin jauh dari cita-cita bangsa dan negara ini.

Hal itu disampaikan oleh budayawan yang juga politikus PDI Perjuangan, Eros Djarot dalam Diskusi Publik dengan tema “Ancaman Matinya Demokrasi Indonesia” di Universitas Paramadina, Senin (30/10/2023). Diskusi tersebut diselenggarakan secara hybrid yang dihadiri peserta yang terdiri dari mahasiswa, dosen, aktivis, ekonom, dan masyarakat umum.

"Saat pertama kali masuk pemerintahan setelah orde baru, kita masih bisa membangun berbagai hal, seperti jalan tol, dan lainnya. Bayaran yang diberikan pemerintah sesuai yang ditawarkan, bisa berupa batubara, sehingga berbagai kesempatan terbuka dengan sangat luasnya, BUMN masih punya tangan. Hari ini kita gak bisa, dari satu sisi terjadi dekadensi luar biasa," katanya seperti dikutip dari siaran pers Humas Universitas Paramadina, Jakarta.

Eros Djarot melihat, presiden baru yang mendatang, akan sibuk dengan IKN mengurusi penyesuaian, sinkronisasi, pola komunikasi, adaptasi, dan lain sebagainya. Ia tidak akan membiarkan orang untuk merusak puluhan juta ras-nya sendiri. Padahal, kemenangan rakyat Indonesia itu merupakan tujuan bersama.

“Kepura-puraan sering dijadikan sesuatu yang sakral, dan itu sebetulnya penuh kebohongan, karena yang nyatanya tidak pernah disentuh,” imbuhnya.

Karena itu, Eros Djarot mengatakan, hal itu masih menyisahkan sebuah harapan besar bagi masyarakat Indonesia. Harapan itu berada di tangan kaum intelektual, yaitu untuk melawan kebijakan salah agar sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia.

Sekjen Serikat Mahasiswa (SEMA) Universitas Paramadina, Afiq Naufal  mengatakan, demokrasi bekerja melalui 2 sisi.

Sisi pertama yaitu “value of femocracy” atau nilai-nilai demokrasi. Sisi kedua adalah “rule of the law” atau hukum dalam negara. Demokrasi adalah metodologi untuk menyeimbangkan kedua hal tersebut.

"Sayangnya sejak awal pemerintahan Jokowi gejala untuk menjerumuskan demokrasi telah tercium. Legislatif yang didominasi partai Jokowi dan partai pengusungnya  mereduksi asas check and balance. DPR tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai pengawas dari eksekutif, malah melegitimasi seluruh hajat dari eksekutif," ujarnya.

Mega proyek yang dibangun pro-kapital juga tanpa mempertimbangkan kajian akademis secara komprehensif maupun pelembagaan audit. Sebut saja pembangunan IKN, PSN, dijalankan dengan sangat sporadis. Bahkan seringkali mengorbankan hak asasi rakyat kecil demi oligarki.

"Paling dekat kita lihat Ketua MK Anwar Usman, ipar Jokowi atau paman dari Gibran, memuluskan jalur sutra politik dinasti. Memuluskan kembalinya kematian demokrasi melalui nepotisme. Padahal dengan sangat jelas konstitusi kita mengecam hal tersebut," pungkasnya. ***

Artikel Terkait