Nasional

SMRC: 68 Persen Publik Percaya Jokowi Sedang Membangun Politik Dinasti

Oleh : very - Kamis, 16/11/2023 15:09 WIB

Demonstrasi penolakan terhadap politik dinasti. (Foto: Ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID – Sebanyak 68 persen dari masyarakat  yang mengetahui atau mendengar bahwa Presiden Joko Widodo hendak membangun politik dinasti menyatakan percaya bahwa Jokowi sedang membangun politik dinasti.

Dari masyarakat yang tahu itu juga, sebesar 75 persen menyatakan tidak suka Presiden Jokowi membangun politik dinasti.

Demikian hasil survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 29 Oktober – 5 November 2023. Hasil survei ini disampaikan pendiri SMRC, Prof. Saiful Mujani, dalam program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode “Sentimen Publik atas Dinasti Jokowi” di kanal Youtube SMRC TV pada Kamis, 16 November 2023.

Video utuh presentasi Prof. Saiful bisa disimak di sini: https://youtu.be/h4nOQqOZCuE

“Apakah Ibu/Bapak tahu atau pernah mendengar pendapat yang menyebut bahwa presiden Jokowi sedang membangun politik dinasti, anaknya, Gibran Rakabuming menjadi Wali Kota Surakarta, menantunya, Bobby Nasution, menjadi Wali Kota Medan, dan anak bungsunya, Kaesang Pangarep, diangkat menjadi Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) tanpa berjuang panjang dari bawah partai tersebut?” 37 persen menyatakan atau menjawab “tahu” dan 63 persen menjawab “tidak tahu.”

Saiful mendefinisikan politik dinasti adalah kekuasaan yang diperoleh melalui atau karena ikatan darah. Politik dinasti adalah kekuasaan yang turun-temurun, seperti dari ayah ke anak. Dalam hubungan ini, ada pihak yang ingin mendapatkan kekuasaan dan di pihak lain ada yang sedang berkuasa.

Menurut Saiful, politik dinasti tidak terjadi jika tidak ada pihak yang sedang berkuasa. Seseorang bisa menjadi pejabat publik seperti gubernur dan bupati, dikatakan punya karakteristik dinasti apabila ia memeroleh kekuasaan atau jabatan tersebut terkait dengan pihak yang sedang berkuasa, di mana pihak yang sedang berkuasa itu memiliki hubungan darah dengan yang sedang mencari kekuasaan tersebut.

Dalam demokrasi, lanjut Saiful, pejabat eksekutif seperti presiden, gubernur, dan bupati memang dipilih oleh rakyat. Memang berbeda antara politik dinasti dalam sistem kerajaan dan sistem demokrasi. Dalam sistem kerajaan, tidak ada pemilihan terhadap orang yang mau mendapatkan jabatan tersebut, tapi ditunjuk oleh sang raja. Sementara dalam demokrasi, seseorang menjadi pejabat publik harus melalui pemilihan umum.

Karena itu, dalam demokrasi, di mana seseorang menduduki jabatan melalui pemilihan umum bisa masuk dalam praktik politik dinasti apabila dalam prosesnya ada unsur hubungan darah antara yang sedang berkuasa dengan yang sedang mencari jabatan tersebut.

Saiful mencontohkan kasus Gibran yang merupakan anak presiden yang sedang berkuasa, dan dia mau maju sebagai calon wali kota Solo.

Saiful menceritakan pengakuan Ketua PDI Perjuangan Solo, bahwa Jokowi sendiri yang datang menemuinya dan menceritakan Gibran berminat menjadi calon wali kota Solo. Jokowi ketika itu sudah dalam posisi sebagai presiden.

Menurut Saiful, jika ketika itu Jokowi adalah seorang pengusaha mebel, ceritanya mungkin akan lain. Tapi yang menemui ketua DPD PDI Perjuangan ini adalah seorang presiden.

Ketua PDI Perjuangan Solo itu menyatakan bahwa mereka sudah memutuskan siapa yang akan menjadi calon walikota melalui prosedur yang sudah berjalan. Namun demikian, dalam sistem atau aturan PDI Perjuangan, ketua umum partai memiliki hak prerogatif. Karena itu, kalau ketua umum menolak keputusan yang sudah dibuat DPC, dan menerima Gibran sebagai calon, maka ia bisa menjadi calon.

Faktanya adalah bahwa Gibran kemudian menjadi calon wali kota dari PDI-Perjuangan.

Hal ini menunjukan, menurut Saiful, Gibran memiliki nilai politik yang sangat tinggi di Solo. Bahkan untuk bersaing menjadi wali kota pun, dia nyaris tidak memiliki lawan. Hampir tidak ada yang berani melawan Gibran di Solo. Lawan yang akhirnya maju pun tidak mendapatkan suara berarti.

“Di Solo, Gibran mengalami proses pemilihan umum. Itu adalah wilayah demokrasi. Tapi bagaimana dia memasuki wilayah demokrasi tersebut, ada unsur yang sangat khas dinasti, yakni ada pihak yang memiliki hubungan darah dengan Gibran dan dia sedang berkuasa, dalam hal ini presiden Republik Indonesia,” jelas Saiful seperti dikutip dari siaran pers.

Karena itu, menurut Saiful, dalam demokrasi, politik dinasti bisa terjadi. Bahwa apakah orang akan memilih atau tidak, itu sangat bergantung pada bagaimana sikap masyarakat. Namun sikap itu bukan sesuatu yang netral, melainkan bisa diciptakan melalui kampanye, sosialisasi, dan semacamnya.

“Kampanye atau sosialisasi membutuhkan sumberdaya, dan salah satu sumberdaya adalah posisi sedang berkuasa. Seorang presiden, misalnya, memiliki kekuasaan yang sangat tinggi, bahkan melampaui atau di atas tentara yang memiliki senjata. Kekuasaan seorang presiden sangat besar. Karena itu, dalam politik dinasti di mana kerabat atau anak presiden ikut dalam pemilihan, ada potensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power,” jelasnya.

Karena itu dalam sebuah sistem yang baik seharusnya politik dinasti ini dihindari.

Saiful mengingatkan bahwa politik bukan permainan antar-malaikat. Politik adalah permainan antar-manusia yang memiliki keinginan dan nafsu berkuasa.

 

Mengapa Harus Gibran?

Pertanyaannya, menurut Saiful, adalah mengapa harus Gibran? Kalau alasannya adalah untuk keberlanjutan pembangunan, banyak orang selain Gibran yang memiliki kemampuan untuk itu.

Saiful mencontohkan figure seperti Nadiem Makarim. Selain muda, menurut Saiful, Nadiem sukses sebagai pengusaha di dunia digital kemudian menjadi menteri. Pasti banyak anak-anak muda lainnya. Tapi fakta Nadiem bukan anak presiden.

Saiful menyebut bahwa sejumlah kasus seperti di Amerika Serikat antara George Bush dan Bush junior tidak bisa disebut dinasti karena Bush junior menjadi calon presiden setelah ayahnya tidak lagi menjabat sebagai presiden.

Demikian pun dengan Hillary Clinton yang maju sebagai calon presiden juga terjadi setelah suaminya, Bill Clinton, tidak lagi menjabat. Bongbong Marcos di Filipina juga demikian, dia maju sebagai calon presiden jauh setelah ayahnya tidak lagi menjabat, dan bahkan sudah lama meninggal.

Kasus-kasus tersebut tidak bisa dijadikan contoh politi dinasti karena tidak memenuhi unsur pertalian darah dengan yang sedang ada di dalam kekuasaan, dan tertutup kemungkinan menyalahgunaan kekuasaan karena memang tidak sedang berkuasa.

Data-data survei opini publik digunakan dengan populasi seluruh warga negara Indonesia yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Sampel sebanyak 2400 responden dipilih secara acak (stratified multistage random sampling) dari populasi tersebut.  Response rate (responden yang dapat diwawancarai secara valid) sebesar 1939 atau 81%. Sebanyak 1939 responden ini yang dianalisis.

Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar ± 2,3% pada tingkat kepercayaan 95% (asumsi simple random sampling). Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Waktu wawancara lapangan 29 Oktober – 5 November 2023. ***

Artikel Terkait