Nasional

Sambut Kampanye Pemilu 2024, Universitas Paramadina Canangkan Literasi Media Berbasis Politik

Oleh : very - Minggu, 26/11/2023 20:31 WIB

Universitas Paramadina mengadakan diskusi publik mengenai “Strategi Komunikasi Politik : Menangkal Disinformasi dan Ujaran Kebencian Dalam Pemilu 2024”, di Jakarta, Sabtu (25/11). (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Universitas Paramadina mengadakan diskusi publik mengenai “Strategi Komunikasi Politik : Menangkal Disinformasi dan Ujaran Kebencian Dalam Pemilu 2024”, di Jakarta, Sabtu (25/11).

Forum diskusi tersebut bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang strategi komunikasi dalam menangkal disinformasi, dan ujaran kebencian pada pemilu 2024 mendatang. Forum yang diadakan di Aula Nurcholish Madjid tersebut bekerja sama dengan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Komisi Pemilihan Umum (KPU), serta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan dihadiri oleh ratusan mahasiswa Ilmu Komunikasi se-Jabodetabek.

Forum dibuka langsung oleh Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik Junaidi Rachbini, M.Sc., Ph.D dan Dekan Fakultas Falsafah dan Peradaban Dr. Tatok Djoko Sudiarto. Adapun para narasumber yaitu Erik Ardiyanto Dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Yulianto Sudrajat Komisioior KPU RI, Agung Indra Kepala Biro Hukum dan Humas Bawaslu RI dan Tulus Santoso Komisioner KPI Pusat.

Prof Dr Didik mengatakan, seminar tersebut sangat penting karena para narasumber yaitu dari KPU, Bawaslu, KPI memberi infomasi tentang cara menangkal disinformasi yang kiranya tidak cukup dengan himbauan.

“Seperti korupsi, tidak cukup hanya dikendalikan oleh KPK, Kejaksaan dan Kepolisian karena terbukti korupsi saat ini malah semakin marak. Dikontrolpun agaknya sudah sangat sulit,” ujarnya.

Karena itu, katanya, dalam menghadapi Pemilu, ada satu hal penting yang harus dilakukan yakni bagaimana KPU dan Bawaslu juga menggunakan instrument teknologi.

“Manfaatkan AI dan big data untuk memantau disinformasi. Sebagai contoh, dari transaksi belanja online atau transaksi kartu kredit. Siapa yang bisa mengkorupsi kartu kredit, kecuali satu atau beberapa orang yang sangat canggih dan bisa memanipulasi teknologi. Tetapi dengan hadirnya teknologi, maka penyimpangan bisa dipersempit,” ucapnya.

Menurutnya, satu keuntungan Universitas Paramadina adalah karena lokasi universitas itu berada di tengah-tengah Ibu Kota Jakarta. Karena itu, bisa dengan mudah mengundang komisioner KPU, KPK, KPI dan juga Bawaslu.

“Diharapkan seminar ini bisa memberikan nuansa yang lebih kepada para mahasiswa S1 ataupun Paska Sarjana Universitas Paramadina,” ujarnya.

Dalam forum tersebut Komisioner KPU RI Yulianto Sudarajat mendorong mahasiswa untuk berpatisipasi aktif dalam pemilu serentak pada 2024 mendatang.

Yulianto merefleksikan tentang ujaran kebencian dan hoax yang terjadi pada pemilu 2019. “Saya memiliki catatan dalam pemilu sebelumnya, jadi saya berharap ke depannya pemilu bisa berjalan lebih dewasa,” ujar Yulianto seperti dikutip dari siaran pers Humas Universitas Paramadina.

Dia menjelaskan bahwa dalam pemilu serentak 2024, KPU memiliki visi untuk mewujudkan pemilu yang adil untuk mensejahterakan rakyat dan menyatukan anak bangsa.

Menurutnya segmentasi konstituen di Indonesia hari ini mayoritas anak muda, sehingga peran pemilih muda menjadi sangat signifikan dalam pemilu yang dapat menentukan postur pemilihan nasional. Literasi media menjadi alat refleksi dan alat baca anak muda ketika melakukan kegiatan di media sosial.

Agung Indra Kepala Biro Hukum dan Humas Bawaslu RI memaparkan tentang cara mewujudkan media sosial yang humanis.

Menurutnya minimnya literasi digital serta kurangnya pengetahuan hukum yang didapat merupakan faktor yang menyebabkan penyebaran disinfomasi dan hate speech.

“Demi meminimalisir adanya pelanggaran dalam berkampanye atau berpendapat, maka BAWASLU mengawasi sosial media agar tidak adanya penyebaran hoax dan penyebaran SARA,” ungkap Agung.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa Bawaslu juga berkolaborasi dengan Kemenkominfo untuk mengawasi website-website yang dianggap melanggar undang-undang serta bekerja sama dengan masyarakat untuk menangani disinformasi dalam pemilu.

Tulus Santoso Komisioner KPI Pusat memaparkan tentang peran KPI dalam Pemilu. Ia menjelaskan bahwa Literasi Media merupakan cara menggunakan pemikiran nalar kritis dalam mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan memproduksi untuk tujuan tertentu.

Menurutnya, saat ini tv dan radio jauh lebih bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya meskipun terkait dengan afiliasi politik. 

Dia juga menjabarkan tentang Peraturan Perundang-undangan dan Pedoman pelaksanaan pemilu dan penyiaran di Indonesia. Menurutnya, terdapat tiga upaya KPI dalam menangkal hoax pada pemilu 2024 yakni pengawasan isi siaran, literasi pemilu sehat dalam penyiaran serta koordinasi dengan gugus tugas.

 

Ciptakan Meritokrasi Bukan dengan Menerabas Peraturan

Sementara itu, Erik Ardiyanto Dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina menjabarkan lebih mendalam tentang strategi Komunikasi Politik untuk menangkal disinformasi dan ujaran kebencian.

Menurutnya berbicara terkait demokrasi dan kepemiluan harus bisa menciptakan meritokrasi yaitu setiap anak bangsa dari mana asalnya dan latar latar belakangnya berhak memilih dan dipilih dalam kontestasi tanpa adanya privilese atau hak istimewa.  

Hal tersebut, katanya, harus dilakukan dengan mengikuti peraturan yang berlaku bukan sebaliknya menerabas perturan yang berlaku untuk berkuasa.

Disisi lain, kebebasan berbicara, berpendapat dan berserikat juga diatur didalamnya memungkinkan anak bangsa bisa mengekpresikan dirinya tanpa adanya intervensi.

“Karena strategi komunikasi politik hidup dalam alam demokrasi yang sejatinya harus bisa menjadi alat penerang agar kebijakan - kebijakan pemerintah dapat dipahami di masyarakat tetapi disaaat yang bersamaan dia bisa menjadi kritik ketika ada penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah karena dia juga berfungsi sebagai alat pembebasan,” ujarnya.

Menurutnya, pada dasarnya disinformasi dan ujaran kebencian nyaris tak terhindarkan, terutama di musim pemilu seperti sekarang ini.

“Adalah tugas masyarakat sebagai pelaku, pengawas dan regulator politik serta media untuk bahu-membahu membentuk iklim komunikasi yang baik agar tercipta pemilu dan peradaban yang arif dan bijaksana. Sebab, pada dasarnya media, pelaku politik, dan masyarakat nyaris tidak dapat dipisahkan. Masing-masing dari elemen tersebut akan saling mempengaruhi satu sama lain, dan pengaruh yang paling baik adalah literasi, meliterasi, dan terliterasi,” pungkasnya. ***

 

Artikel Terkait